Raisi: Iran Tidak akan Mundur dari Posisinya yang Sah dan Logis
(last modified Thu, 14 Jul 2022 13:02:35 GMT )
Jul 14, 2022 20:02 Asia/Jakarta

Presiden Republik Islam Iran Sayid Ebrahim Raisi mengatakan, kita telah menunjukkan bahwa kita tidak akan mundur dari posisi yang sah dan logis terkait dengan perjanjian nukir JCPOA.

"Anda telah mengalami bahwa Anda tidak bisa berbicara dengan Iran dengan bahasa paksaan, dan intimidasi. Berapa kali Anda ingin mengalami hal itu? Iran tidak akan menyerah pada paksaan dan intimidasi, dan jangan pernah berbicara dengan Republik Islam Iran dengan bahasa dan literatur paksaan dan intimidasi," tegas Raisi ketika menanggapi klaim terbaru Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden mengenai perundingan nuklir dan perjanjian nuklir JCPOA, Rabu (13/7/2022).

Pernyataan Presiden Iran itu disampaikan bersamaan dengan kunjungan Biden ke kawasan. Biden tiba di Palestina pendudukan (Israel) pada hari Rabu dan dijadwalkan akan berkunjung ke Arab Saudi setelah bertemu dengan para pejabat rezim Zionis Israel dan Pemimpin Otororitas Palestina.

Raisi menambahkan, para pejabat AS mengatakan bahwa Iran harus kembali ke JCPOA, padahal Republik Islam tidak pernah menarik diri dari perjanjian nuklir ini dan Amerika lah yang melanggar JCPOA.

Sebelumnya, Biden mempublikasikan catatan untuk the Washington Post bahwa selama Iran tidak kembali ke perjanjian nuklir JCPOA, maka tekanan ekonomi dan diplomatik AS akan berlanjut.

Pemutarbalikan fakta yang dilakukan oleh pejabat Gedung Putih dilakukan ketika Iran tidak pernah menarik diri dari perjanjian nuklir JCPOA, tetapi AS, pada masa pemerintahan Donal Trump, secara sepihak menarik diri dari perjanjian ini pada 8 Mei 2018.

Meskipun banyak kritikan atas pendekanan Trump tersebut, namun pemerintahan Biden secara praktis melanjutkan kebijakan Trump itu dan memberlakukan serta melanjutkan tekanan maksimum terhadap Iran.

Penggunaan sanksi yang berkelanjutan terhadap Iran, penciptaan hambatan terus-menerus oleh AS dalam perundingan, dan tuntutan di luar JCPOA menunjukkan bahwa para pejabat Washington masih mengikuti kebijakan yang gagal dari pemerintah sebelumnya di negara ini. (RA)