Jun 03, 2024 16:23 Asia/Jakarta
  • Imam Khomeini ra
    Imam Khomeini ra

Para filsuf politik kuno Barat percaya bahwa “siapa yang harus memerintah” itu penting. Mereka membuat daftar berbagai keutamaan bagi penguasa dan percaya bahwa meskipun ada keutamaan ini pada penguasa, rakyat akan mencapai utopia melalui proses manusiawi. Tentu saja, teori ini tidak pernah diwujudkan dalam praktik, dan pemerintahan seperti itu tidak pernah didirikan di Barat.

Para filsuf politik baru Barat yang merumuskan struktur modernisme juga percaya “Bagaimana memerintah” itu penting. Dalam menentukan metode ini, mereka telah berteori tentang cara menghasilkan kekuasaan dan kekayaan serta mendistribusikannya. Akhir dari struktur politik ini dapat dilihat di Barat saat ini, dan para filsuf politik Barat melaporkan tahap-tahap terakhir dari kemundurannya.

Imam Khomeini, sebagai ahli teori politik, dengan bersandar pada ajaran dan landasan pemikiran Islam dan hikmah Syiah, memperkenalkan perpaduan kedua bentuk tersebut sebagai cara yang optimal, “siapa yang harus memerintah” dan “bagaimana seharusnya memerintah”, di mana keduanya menjadi dasar pemikiran tentang rancangan dan realisasi pemerintahan ilahi.

Para filsuf politik lama dan baru di Barat tidak menuntut pembentukan pemerintahan menurut teori mereka dan hanya menjadi pemikir dalam dunia opini. Namun dengan berani dapat dikatakan bahwa Imam Khomeini adalah filosof politik pertama di dunia Islam dan pada dasarnya di dunia filsafat politik yang berhasil duduk pada posisi pendiri selain berteori dan mengoperasionalkan teorinya di dunia di luar dari opini murni.

Fikih dan Perintah Ilahi dalam teori politik Imam Khomeini

Fikih dan perintah Ilahi mendapat tempat dalam teori politik Imam ra ketika beliau mengatakan:

“Fikih adalah teori realistis dan sempurna untuk mengatur manusia mulai dari buaian hingga liang lahat.”

Dalam siklus dan proses pemerintahan, Imam ra memberikan perhatian khusus pada kedudukan fikih, baik dalam pengambilan kebijakan maupun penyusunan strategi, regulasi dan fasilitasi. Menurutnya, tidak ada kebuntuan dalam penyelenggaraan sistem yang berbasis fikih.

Dalam banyak pesan dan pidatonya, terutama dalam wasiat politiknya yang bijak, Imam telah menekankan bahayanya melampaui fikih dan perintah Ilahi, dan menggunakan pola pemerintahan yang bersumber dari filosofi Barat.

Imam Khamenei, penerus Imam Khomeini, juga mengatakan dalam pesannya pada pembukaan sidang keenam Dewan Ahli Kepemimpinan, Dalam sistem Islam, pemerintahan adalah manusiawi dan tujuannya adalah ilahi. Tentu saja manusiawi ini tidak berarti sekularisme yang dihasilkan dalam sistem pemikiran Barat.

Manusiawi didasarkan pada sains dan bukan keyakinan dan asumsi ilmiah semu.

Misalnya, seorang filsuf politik Barat pada abad ke-19 mengemukakan filsafat yang disebut Marxisme, yang diklaimnya ilmiah, sedangkan fasisme dan liberalisme, saingan pemikiran ini, sama-sama diklaim ilmiah.

Pada akhir abad ke-20, dan setelah banyak bencana yang ditimbulkan oleh para pengklaim ilmu pengetahuan ini terhadap umat manusia, para filsuf politik besar Barat menyatakan bahwa ketiga aliran tersebut telah menyesatkan umat manusia di padang gurun kebodohan, dan oleh karena itu pencapaian mereka tidak dapat dianggap sebagai pemerintahan manusia berdasarkan ilmu pengetahuan.

Demokrasi relijius Iran, yang fondasi awalnya diperkuat oleh Imam Khomeini dengan referendum Republik Islam dan referendum konstitusi, dan yang diwujudkan dengan pemilihan umum pemimpin lembaga tinggi negara melalui suara rakyat, merupakan fenomena baru dalam pemerintahan manusia dan sebuah kebijakan yang bijaksana. inovasi dalam kelanjutan jalan para nabi dan wali ilahi.

Imam Khomeini dengan gagah berani mengusulkan model ilahi ini pada akhir abad ke-20 dan rakyat Iran dengan berani menyambut dan mendukungnya.

Demokrasi agama berarti hadirnya ilmu pengetahuan, ulama, dan orang-orang bijak, yang berkomitmen dan pemikir, berpengalaman dan terampil dalam berbagai lapisan pemerintahan dengan hak suara rakyat dan pilihan rakyat untuk menggerakkan masyarakat menuju tujuan luhur Allah dan mewujudkan keadilan yang merupakan perintah utama Al-Qur’an bagi masyarakat.

Dengan kata lain, demokrasi agama berarti integrasi penguasa yang adil dengan model pemerintahan yang adil.(sl)

Tags