Pertemuan Para Pemimpin Arab di Riyadh
Para pemimpin negara-negara anggota Dewan Kerja Sama Teluk Persia (P-GCC) bertemu di Riyadh, ibu kota Arab Saudi pada hari Selasa (14/12/2021).
Ada beberapa poin yang patut dicermati dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Riyadh. Pertama, para pemimpin tiga negara Oman, Kuwait, dan Uni Emirat Arab (UEA) tidak menghadiri pertemuan itu.
Karena Presiden UEA Sheikh Khalifa bin Zayed Al Nahyan sudah lama tidak tampil di depan publik, kepemimpinan negara itu secara praktis dijalankan oleh Sheikh Mohammed bin Zayed Al Nahyan. Raja Oman dan Emir Kuwait juga memilih absen dalam KTT Riyadh.
Dulu, para pejabat tinggi Qatar termasuk Perdana Menteri Sheikh Hamad bin Jassim secara eksplisit mengatakan bahwa P-GCC telah menjadi sebuah organisasi yang runtuh. Meski Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani mengikuti pertemuan di Riyadh, namun tidak begitu penting bagi Doha apakah mereka berstatus anggota atau bukan di organisasi Arab ini.
Para anggota memiliki persepsi masing-masing dalam memandang P-GCC, dan bagi sebagian negara anggota, lembaga itu telah kehilangan fungsinya.
Kedua, Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman dan pemerintah Riyadh membutuhkan perhelatan itu, tetapi para penguasa Saudi tidak mencapai tujuannya karena dua pemimpin P-GCC memutuskan absen.
Bin Salman melakukan banyak upaya untuk menegaskan posisi Saudi di tengah para pemimpin Arab dan juga meningkatkan kredibilitasnya sebelum secara resmi menduduki takhta kerajaan.
Ia telah berkunjung ke lima negara anggota P-GCC untuk mengundang para pemimpin Arab ke Riyadh. Namun, pertemuan itu sepertinya tidak sesuai dengan harapan Bin Salman.
Ketiga, KTT Riyadh merupakan sidang pertama P-GCC setelah para anggotanya memutuskan berdamai dengan Qatar. Para anggota diharapkan mengambil kebijakan dan sikap yang lebih tepat dibandingkan dengan masa lalu sehingga perselisihan internal dapat dikurangi.
Sayangnya, pertemuan itu hanya untuk mengulangi klaim-klaim usang tentang Iran dan memamerkan kekompakan anggota di kancah politik dan keamanan. Pada sidang Juni 2017, para anggota P-GCC juga tidak bersikap satu suara tentang Iran. Jadi, kekompakan politik dan keamanan ini tidak akan berarti jika perselisihan internal belum terselesaikan.
Perselisihan itu secara khusus terlihat dalam kasus Bahrain. Pada 2011, Arab Saudi, UEA, dan Kuwait mengirim pasukan ke Bahrain untuk menumpas demonstran, tetapi Oman dan Qatar menolak tindakan itu.
Saat ini, hubungan yang bersahabat juga tidak terlihat di antara negara-negara anggota P-GCC, terutama antara Qatar dan Bahrain. Oleh karena itu, kekompakan politik dan keamanan dalam situasi sekarang lebih mirip seperti slogan.
Realitas P-GCC saat ini adalah bahwa organisasi ini, dari satu sisi, telah menjadi panggung Arab Saudi untuk menunjukkan kredibilitas dan bobot politiknya, dan dari sisi lain, ia merupakan lembaga seremonial bagi sebagian anggotanya, terutama Qatar, Oman, dan Kuwait, yang tidak menemukan keuntungan di dalamnya. (RM)