Seperti Apa Rasisme Yahudi Zionis Menghancurkan Israel dari Dalam?
(last modified Mon, 19 May 2025 13:44:24 GMT )
May 19, 2025 20:44 Asia/Jakarta
  • Seperti Apa Rasisme Yahudi Zionis Menghancurkan Israel dari Dalam?

Pars Today – Untuk diketahui, di Israel, Zionisme, terbagi menjadi dua realitas politik dengan dua pandangan yang saling bertolak belakang.

Abed Abu Shehadeh, analis politik Middle East Eye, MEE, dalam artikelnya mengulas proses perpecahan dan keretakan nyata serta serius di dalam masyarakat dan penguasa Rezim Zionis.
 
Ia menyoroti kemunculan dan konsolidasi sebuah sayap kanan ekstrem kuat di Rezim Israel, serta larinya kelas menengah kaya yang sebagian besar warga Tel Aviv, akibat dominasi pemikiran dan metode-metode haus perang gerakan Mesianik, dan menganggapnya sebagai ancaman eksistensial terbesar bagi Israel.
 
Kelas menengah ini, sekarang suara protes dan kritiknya keluar dari mulut orang-orang semacam Dan Halutz, Jenderal Angkatan Udara Israel, Moshe Yaalon, mantan Deputi Perdana Menteri Israel, serta Dan Meridor, mantan Menteri Intelijen dan Energi Atom Israel.
 
Netanyahu dan ben Gvir

 

Meskipun demikian Shehade, menegaskan bahwa protes-protes yang muncul dari orang-orang semacam ini sama sekali tidak berpengaruh bagi PM Israel Benjamin Netanyahu, dan sekutunya, karena mereka sampai sekarang tidak mengakui penderitaan dan siksaan berat yang ditanggung rakyat Palestina.
 
Kelompok itu hanya berduka atas Israel, yang di dalamnya mereka bisa hidup dengan gembira dan senang tanpa terlalu memperhatikan berita-berita tentang perang dan ancaman-ancaman keamanan mendalam seperti yang ada sekarang.
 
Kelompok penentang PM Rezim Zionis mengkhawatirkan kondisi ketika semakin banyak ekstrem kanan Mesianik yang menguasai pemerintahan, maka kelas menengah Israel, akan memilih untuk keluar dari Wilayah pendudukan.
 
Meir Kahane dan pendukungnya

 

Ketika PM Israel Benjamin Netanyahu, awal April 2025 kembali dari Washington, rival politiknya, mantan Menteri Perang Benny Gantz, menggulirkan kampanye menyerang Iran. Kampanye itu digulirkan di tengah kekacauan sosial di Israel, akibat perang berkepanjangan di Gaza, dan bertambahnya beban pasukan cadangan usang Israel.
 
Pada saat yang sama oposisi parlemen berusaha mengakhiri keunggulan Netanyahu, dan menolak menerima ilusi “kemenangan total”. Mereka meyakini serangan ke Iran, akan menyebabkan munculnya bahaya kekacauan di seluruh kawasan Asia Barat.
 
Di sisi lain operasi militer Rezim Zionis, di dalam wilayah Suriah, akan menyebabkan kebingungan strategis semakin dalam, dan mendorong rezim ini ke sebuah kubangan baru.
 
Langkah-langkah agresif tersebut telah mengungkap pembatasan-pembatasan kekuatan militer Israel, sementara sebuah pertempuran yang lebih sengit di bawah permukaan sedang memanas. Krisis identitas pemerintah Tel Aviv, dan pemerintah yang disebut Yudea dan Samaria, nama Israel, untuk Tepi Barat yang diduduki.
 

 

Perpecahan internal ini terlihat terus membesar. Seorang pejabat intelijen dalam negeri Israel, Shin Bet, baru-baru ini ditangkap karena membocorkan rahasia ke seorang menteri pemerintah, dan wartawan dalam sebuah pelanggaran protokol keamanan luar biasa.
 
Bahkan yang lebih mengejutkan adalah Menteri Keuangan Bezalel Smotrich, menolak hadir dalam rapat Kabinet Perang minggu ini, karena Direktur Shin Bet, Ronen Bar, hadir dalam pertemuan itu. 
 
Pada saat yang sama Shin Bet, sedang menyelidiki bocornya informasi keamanan dari Kantor PM Israel, dan infiltrasi para aktivis Kahanis, pengikut Rabi ekstrem Meir Kahane (1930-1990), dan anggota Partai Otzma Yehudit, afiliasi Kahane yang sangat rasis, dan pengukung pemikiran Mesianik, di tubuh kepolisian Israel.
 
Moshe Yaalon

 

Dinas-dinas intelijen terpecah. Polisi yang berada di bawah seorang Menteri Keamanan Internal sayap kanan Mesianik (Itamar Ben-Gvir) menolak untuk mengendalikan kekerasan imigran Yahudi di Tepi Barat. Sebaliknya Shin Bet, sejalan dengan sistem birokrasi pemerintah, dan kelompok penentang Netanyahu. Pertikaian ini nampak jelas dalam pemberitaan media-media Israel.
 
Akhirnya, Zionisme hari ini terbagi menjadi dua realitas politik dengan pandangan moral yang masing-masing berbeba, dan perbedaan ini sekarang telah mengakar di dalam pemerintah Rezim Zionis.
 
 
Dan Meridor

 

 
Suara-Suara Penentang
 
Protes terhadap Netanyahu dari dalam tubuh sayap kanan sudah dimulai. Mantan sekutu termasuk para pejabat senior seperti Moshe Yaalon, Dan Meridor, dan Dan Halutz, semuanya karena pandangan kerasnya sekarang menjadi pemimpin penentang dan protes sayap kanan.
 
Berbeda dengan oposisi Parlemen reaksioner, mereka tahu ancaman bukan hanya di perang tapi tersembunyi di dalam perubahaan sosial yang lebih luas, dan sudah dimulai oleh Netanyahu.
 
Yaalon yang pernah menjabat Kepala Staf Angkatan Bersenjata, dan komandan operasi mematikan di Tepi Barat yang diduduki, dalam sebuah wawancara radio mengatakan dirinya berharap Israel tidak mengirim tentara ke Gaza untuk membunuuh bayi, dan ini mengejutkan pemukim Zionis. Ia juga mengklaim bahwa Israel, melakukan pembersihan etnis di utara Gaza.
 
Dan Halutz

 

Meridor mantan Menteri Kehakiman Israel, saat ditanya media Israel terkait peningkatan rasisme dalam kebijakan rezim ini, dan mengingatkan pemirsa bahwa Israel pernah sekali melarang partai Meir Kahane, ikut pemilu karena program rasialismenya.
 
Dan Meridor, meminta Shin Bet, untuk menyelidiki langkah-langkah kekerasan dan mematikan yang dilakukan pemukim Zionis di Tepi Barat, dan pada saat yang sama mengakui bahwa realitas di masyarakat, penggabungan Gaza dan Tepi Barat, ke Israel, tidak mungkin dilakukan.
 
Sementara itu Dan Halutz, secara terang-terangan menentang perang Gaza, dan memperingatkan bahwa perang ini hanya akan meningkatkan kebencian, dan memperkuat musuh-musuh.
 

 

Dalam wawancara terbaru, Halutz, mengaku khawatir bahwa anak-anak dan cucunya mungkin mengambil keputusan meninggalkan selamanya Israel. Ia takut karena proyek rekayasa sosial Netanyahu akan mengganggu keseimbangan rapuh antara pendudukan, dan kehidupan liberal di Tel Aviv.
 
Para pejabat Zionis itu menyadari apa yang sampai sekarang diingkari oleh kelompok sayap kiri. Sayap kanan Zionis tidak hanya akan melanjutkan perang. Mereka bahkan sedang bersiap untuk mendominasi budaya. Di saat sayap kiri menolak usulan-usulan pengganti nyata, sayap kanan Mesianik telah membuka kesempatan untuk menyulut sebuah pertempuran ideologis jangka panjang yang dapat meredefinisikan identitas Israel.
 
Jika Israel, selama perang melawan Gaza, sukses di salah satu pekerjaan, maka pekerjaan itu adalah menjaga “kondisi normal” bagi orang-orang Israel, saat melakukan kekerasan genosida. Puluhan ribu orang Palestina, dan ribuan orang Lebanon terbunuh, sementara kehidupan orang Israel terus berlangsung tanpa henti.
 

 

Meski pun muncul gugatan terhadap genosida oleh Israel, di Den Haag, meluasnya protes-protes internasional, dan sanksi-sanksi ekonomi, tapi masyarakat Israel, tetap menjalani hidup mereka tanpa kekhawatiran sedikit pun.
 
Masalah utama bukanlah kebodohan, tapi kemampuan psikologis untuk melihat segala sesuatu dari perspektif yang berbeda. Sekali pun mudah mendapatkan informasi, tapi orang-orang Israel, tetap melanjutkan hidup normal mereka di tengah pembantaian anak-anak Gaza, bahkan ketika ledakan-ledakan Gaza dan Beirut, terdengar di seluruh kota.
 
Klaim “kami tidak tahu” sudah tidak ada lagi. Ribuan tentara Israel, merekam adegan perilaku mereka dalam perang, dan menyebarluaskannya. Mereka tahu, semuanya tahu. Masalah menakutkan di sini bukanlah kebodohan, tapi ketidakpedulian. Bahaya nyata dalam sebuah masyarakat yang mampu terlibat dalam genosida, tapi masih tetap menjaga kehidupan normal mereka, menjustifikasi kematian anak-anak bayi, dan sama sekali tidak mempertanyakannya.
 
 

 

 
Keseimbangan Terancam
 
Para mantan sekutu Netanyahu sekarang menyadari ancaman ini, ancaman terhadap keseimbangan yang pada suatu masa memberikan kesempatan kepada orang-orang Israel, untuk menikmati kesejahteraan, dan pada saat yang sama mendominasi masyarakat lain.
 
Keseimbangan di antara kenyamanan dan kontrol ini telah menciptakan sebuah dorongan umum untuk menjalankan tugas kemiliteran tanpa perlu lagi bertanya. Para tentara Israel, mungkin secara luar biasa kembali ke tiket-tiket kolam air panas, diskon-diskon olahraga, dan postingan-postingan Instagram terkait kehidupan mewah mereka.
 
Akan tetapi sayap kanan ekstrem Mesianik, Super-Zionis, lebih menginginkan ini. Visi mereka adalah sebuah masyarakat militer yang bertempur dalam sebuah perang agama dan luas tanpa batas. Sayap kanan Israel, mengabaikan keterbatasan kekuatan, dan secara ceroboh memprovokasi perang dengan negara-negara Arab tetangga, serta berusaha menciptakan perubahan budaya yang sebagian besar tentara Israel tidak siap untuk itu.
 

 

Di tengah keseimbangan ini, ada kelas menengah Israel, yang merupakan tulang punggung perekonomian rezim ini, dan sebagian besar tinggal di Tel Aviv. Lapisan masyarakat ini menolerir sebuah formula yaitu pendudukan di sana, gaya hidup liberal di sini. Tapi ketika mereka diam terutama setelah isolasi Gaza pada 2005, sayap kanan memulai proyek-proyek strategis untuk menciptakan akademi-akademi serta komunitas agama di kota-kota sekuler dan melakukan penetrasi perlahan di institusi-institusi pemerintahan.
 
Seiring berlalunya waktu, kekacauan Tepi Barat yang diduduki, memasuki kehidupan sosial Israel, meningkatkan eskalasi ketegangan-ketegangan budaya, dan mengubah identitas nasional. Salah satu kekhawatiran sekutu-sekutu lama Netanyahu adalah kelas menengah Tel Aviv, dengan kekayaan dan pergerakan mereka, dengan mudah dapat meninggalkan Israel. Peristiwa ini akan menghancurkan perekonomian Israel, dan citra liberal mereka akan sirna di luar negeri.
 

 

Mungkin tokoh-tokoh pemrotes itu sekarang bisa berbicara bebas karena tidak berusaha terpilih lagi atau kembali bertugas di militer. Ini membuka kesempatan kepada mereka untuk secara jujur berbicara tentang apa yang sebelumnya mereka lakukan. Mereka tahu telah membantu Netanyahu sehingga berkuasa, dan sekarang mereka harus hidup dengan akibat dari perbuatannya ini.
 
Akan tetapi mereka dalam protes-protesnya bahkan terjebak dalam perangkap yang lazim terjadi. Mereka sampai sekarang tidak menempatkan kemanusiaan orang-orang Palestina di pusat perhatian. Bagi mereka orang Palestina masih merupakan sebuah kisah sampingan. Selama hak Palestina untuk mendapatkan kemerdekaan dan kesetaraan tidak dianggap sebagai kompas moral, maka mereka bukanlah pengganti bagi objek-objek kritik yaitu Netanyahu dan sekutu-sekutu sayap kanannya. Mereka semata-mata hanya berduka untuk Israel yang dahulu mereka kenal.(HS)