Delusi Timur Tengah di Ubun-Ubun Israel
Israel hidup dalam delusi bahwa Timur Tengah ada di ubun-ubunnya: digenggam, ditekan, dan bisa dikendalikan sesuka hati.
Oleh Purkon Hidayat
Pertemuan Benjamin Netanyahu dan Donald Trump di New York baru-baru ini memperlihatkan pola itu secara telanjang. Dua narasi besar keluar dari panggung mereka. Pertama, janji perdamaian bagi siapa pun yang ikut dalam orbit Amerika–Israel. Kedua, ancaman permusuhan dan serangan bagi siapa saja yang melawan atau menolak.
Gaza dijanjikan rekonstruksi dengan syarat tunduk pada rencana Trump, sementara Iran ditargetkan sebagai musuh berikutnya. Inilah politik standar ganda: perdamaian dijadikan barter loyalitas, perang dijadikan hukuman pembangkangan.
Lisensi Perang dari Washington
Israel berani karena punya lisensi global bernama Amerika Serikat. Sejak lama, Washington menjadi tameng permanen. Bantuan militer miliaran dolar, Iron Dome, teknologi intelijen, hingga veto di Dewan Keamanan PBB menjadikan Israel negara kebal hukum.
Setiap agresi yang seharusnya dikutuk, diubah narasinya menjadi “hak membela diri”. Setiap rencana sanksi, dibatalkan dengan veto. Dunia seolah dipaksa menerima aturan baru: hukum internasional berlaku bagi semua, kecuali Israel.
Hukum Tajam, Tapi Bukan untuk Israel
Kontrasnya jelas. Rusia menyerang Ukraina, dunia kompak menjatuhkan sanksi keras. Korea Utara meluncurkan rudal, embargo langsung diperketat.
Namun ketika Israel membombardir Gaza, menghantam Suriah, bahkan menyerang fasilitas nuklir Iran pada Juni lalu, dunia hanya mengeluarkan “pernyataan keprihatinan”.
Piagam PBB yang melarang agresi lintas batas seakan lumpuh. Di kepala Israel, hukum hanyalah instrumen politik: tajam ke lawan, tumpul ke diri sendiri.
Politik Ketakutan yang Menjerat Barat
Israel bukan hanya piawai menyulut perang, tetapi juga pandai mengendalikan persepsi. Setiap agresi dibungkus dengan narasi “ancaman eksistensial”. Barat, masih terjerat trauma Holocaust, memberi ruang toleransi luar biasa.
Netanyahu mengulang narasi itu di PBB:
“We face savage enemies who seek our annihilation, and we must defend ourselves against these savage murderers … If Iran should strike us, we will strike you. There is no place in Iran that the long arm of Israel cannot reach.”
(“Kami menghadapi musuh biadab yang ingin memusnahkan kami, dan kami harus membela diri dari para pembunuh biadab ini … Jika Iran menyerang kami, kami akan menyerang balik. Tidak ada tempat di Iran yang tak bisa dijangkau tangan panjang Israel.”)
Di kesempatan lain ia berkata:
“We are wiping out the terror regime of Hamas … That’s what any self-respecting government would do.”
(“Kami sedang melenyapkan rezim teror Hamas … Itulah yang akan dilakukan oleh pemerintahan mana pun yang menghormati dirinya sendiri.”)
Dengan retorika itu, Israel selalu tampil sebagai korban, meski faktanya justru agresor. Narasi korban abadi inilah yang menjadi tameng moral agresi.
Arab yang Terbelah, Israel yang Bebas
Ketidakberdayaan dunia Arab memperlebar jalan Israel. Alih-alih bersatu, negara-negara Arab justru terpecah. Ada yang menganggap Iran lebih berbahaya daripada Israel. Ada yang sibuk dengan krisis dalam negeri. Ada pula yang diam-diam menormalisasi hubungan dengan Tel Aviv.
Hasilnya, tidak ada blok tunggal yang benar-benar berani menahan Israel. Fragmentasi ini adalah bahan bakar bagi delusi Israel bahwa Timur Tengah ada di ubun-ubunnya.
Dunia sebagai Pasar, Bukan Penantang
Jangan lupakan faktor ekonomi dan teknologi. Israel bukan hanya penerima bantuan, tapi juga pemasok inovasi global: pertanian modern, keamanan siber, kecerdasan buatan, hingga industri militer.
Banyak negara memilih pragmatisme. Mereka mungkin mengecam keras di panggung PBB, tapi tetap berdagang di balik meja. Di ubun-ubun Israel, dunia adalah pasar yang siap dieksploitasi.
Imajinasi Netanyahu: David atau Goliath?
Narasi “David kecil melawan Goliath Arab” adalah mitos yang terus diulang. Padahal realitasnya jelas: Israel adalah Goliath kawasan, satu-satunya pemilik senjata nuklir di Timur Tengah, dengan aliansi Amerika di belakangnya.
Hak membela diri yang dikumandangkan berubah menjadi lisensi agresi. Israel melihat dirinya sebagai David, padahal bagi banyak bangsa, ia adalah Goliath yang menindas.
Konsekuensi Dunia yang Tak Mau
Dunia tak berdaya bukan karena tidak tahu, melainkan karena tidak mau. Tidak mau menantang veto Amerika. Tidak mau kehilangan mitra teknologi. Tidak mau berhadapan dengan tuduhan antisemit. Semua tahu, semua paham, tapi memilih menutup mata.
Akibatnya, dampak dari ketidakmauan itu melahirkan konsekuensi yang beranak-pinak:
1. Hukum internasional jadi bahan olok-olok. Kalau Israel bisa menyerang sesuka hati tanpa dihukum, kenapa negara lain tidak meniru? Dunia kembali pada hukum rimba: siapa kuat, dia yang benar.
2. Kebencian dan perlawanan makin meluas. Setiap bom yang jatuh di Gaza, setiap serangan ke Suriah atau Iran, menambah daftar luka. Kebencian terhadap Israel tidak mereda, justru semakin mengeras. Perlawanan lahir dari rasa dihina dan ditindas, bukan dari propaganda semata. Inilah api yang terus menyala, bahkan ketika dunia memilih diam.
3. Kawasan yang makin rapuh. Israel merasa bebas menyerang, Iran merasa harus membalas, proksi di Lebanon, Yaman, dan Irak siap ikut. Percikan kecil bisa membakar kawasan, menutup Selat Hormuz, dan mengguncang harga energi dunia.
4. Multipolarisme yang pincang. Rusia dan Cina menentang standar ganda Barat sebagai bukti kemunafikan. Barat kehilangan legitimasi moral, tapi dunia belum juga mendapatkan tatanan baru yang lebih adil. Kita hidup di ruang abu-abu, penuh retorika, minim keberanian.
Singkatnya, dunia memilih diam, tapi diam itu punya harga. Diam hari ini bisa berarti perang yang lebih besar besok. Diam dunia justru menguatkan delusi Israel bahwa Timur Tengah benar-benar ada di ubun-ubunnya.
Penutup
Delusi Israel menempatkan Timur Tengah di ubun-ubunnya: tunduk berarti damai, melawan berarti perang. Tetapi delusi tak bisa selamanya menggantikan kenyataan.
Semakin Israel menyerang tanpa konsekuensi, semakin runtuh legitimasi moralnya. Semakin hukum internasional dipermainkan, semakin rapuh tatanan dunia yang konon dibangun pasca Perang Dunia II.
Selama dunia terus memilih diam, Timur Tengah akan tetap menjadi panggung hukum rimba — dengan Israel hidup dalam delusinya, seolah seluruh kawasan berada di ubun-ubunnya.