9 Tahun Kebangkitan Rakyat Bahrain; Menelisik Tren Peningkatan Kekerasan Al Khalifah
(last modified Sat, 15 Feb 2020 01:41:53 GMT )
Feb 15, 2020 08:41 Asia/Jakarta

Tanggal 24 Februari 2020 bertepatan dengan peringatan tahun kesembilan kebangkitan rakyat Bahrain menentang rezim Al Khalifa dan itu berarti kebangkitan rakyat negara ini telah memasuki tahun kesepuluh.

Seperti kebanyakan negara Arab, rakyat Bahrain memulai protes mereka pada 2011 melawan kediktatoran negara kecil ini. Rezim Al Khalifa, yang memegang kekuasaan di Bahrain, sebenarnya bukan penduduk asli Bahrain dan merupakan keturunan Arab Saudi. Sistem pemerintahan Al Khalifa di Bahrain memiliki ciri khas seperti diskriminasi, ketidakadilan, perubahan demografis dan penindasan politik. Karakteristik ini telah menjadi penyebab utama protes berulang rakyat, termasuk pada 2011 terhadap Al Khalifa di Bahrain.

Seorang demonstran Bahrain

Ada dua perbedaan utama antara protes rakyat di Bahrain dan negara-negara Arab lainnya.

Perbedaan pertama adalah bahwa protes rakyat Bahrain awalnya damai karena mereka tidak berusaha untuk menggulingkan rezim Al Khalifa, tetapi berusaha untuk mereformasi negara dan sistem monarki konstitusional yang ada.

Perbedaan kedua adalah bahwa, berbeda dengan perkembangan di negara lain, apa yang terjadi di Bahrain adalah sebuah negara asing mengirim tentaranya ke negara ini untuk menumpas protes rakyat. Arab Saudi pada 14 Maret 2011, sebulan setelah protes rakyat dimulai, mengirim pasukannya ke Bahrain untuk membantu Al Khalifa.

Al Saud mengklaim bahwa pengiriman pasukannya dilakukan dalam kerangka proyek Perisai Jazirah Dewan Kerjasama Teluk Persia (P-GCC), yang sejatinya hanya bisa digunakan jika terjadi serangan asing. Invasi Saudi ke Bahrain, atas permintaan rezim Al Khalifa, menyebabkan perubahan dalam tuntutan rakyat Bahrain dari reformasi negara menjadi upaya penggulingan rezim.

Selain menumpas demonstrasi rakyat, Al Khalifa juga mengadopsi strategi kekerasan seperti menghapus kewarganegaraan penduduk asli yang kritis terhadap status quo. Sementara total 660 rakyat Bahrain yang dicabut kewarganegaraannya selama delapan tahun dari 2011 hingga awal 2019, rezim Al Khalifa mencabut kewarganegaraan 334 rakyat Bahrain hanya dalam enam bulan pertama 2019 saja, yang mengindikasikan telah ada peningkatan nyata kekerasan pada tahun kesembilan kebangkitan.

Menangkap, mengeluarkan hukuman seumur hidup dan bahkan hukuman mati adalah sejumlah tindakan yang dilakukan Al Khalifa terhadap para demonstran Bahrain. Negara kecil Bahrain itu memiliki lebih dari 5.000 tahanan politik yang menurut sebuah laporan oleh situs Bahrain Mirror, hanya dalam jarak waktu Januari-Mei 2019 pengadilan Bahrain menjatuhkan hukuman penjara bagi 141 orang. Al Khalij Centre yang berbasis di Australia juga menulis bahwa kewarganegaraan semua orang yang dijatuhi hukuman penjara seumur hidup pada tahun 2019 telah dicabut. Selama sembilan tahun terakhir, 26 kasus eksekusi mati telah dikeluarkan untuk aktivis politik dan warga Bahrain yang kritis, dimana 5 di antaranya telah dieksekusi.

Tahanan politik di Bahrain (ilustrasi)

Tapi yang terpenting, meskipun kekerasan Al Khalifa terhadap warga Bahrain telah meningkat dan penindasan penguasa semakin intens, terutama pada 2019, tetapi komunitas internasional, terutama kekuatan Barat, tetap diam. Kebungkaman ini paling dekat mencerminkan pandangan Graham Fuller, seorang sarjana Amerika terkemuka yang menyebut Muslim Bahrain adalah "Muslim yang Dilupakan."

Tags