Transformasi Asia Barat 22 Agustus 2020
-
Israel-UEA
Transformasi Asia Barat selama sepekan terakhir diwarnai sejumlah isu penting di antaranya perkembangan normalisasi hubungan Uni Emirat Arab (UEA) dan Israel.
Selain itu masih banyak isu lainnya seperti proses peradilan kasus teror Rafik Hariri, mantan perdana menteri Lebanon, kunjungan PM Irak ke Washington dan isu Palestina.
Terkait perkembangan normalisasi hubungan UEA dan Israel ada sejumlah informasi seperti:
Ketua Mossad Bertemu Penasihat Keamanan Nasional UEA
Berbagai sumber media mengkonfirmasi pertemuan Ketua Dinas Intelijen Israel (Mossad) dan penasihat keamanan nasional Uni Emirat Arab (UEA).
Reuters melaporkan, Yossi Cohen yang berkunjung ke Emirat Selasa (18/8/2020) bertemu dengan Sheikh Tahnoun bin Zayed Al Nahyan di Abu Dhabi.
Presiden AS Donald Trump Kamis (13/8/2020) mengkonfirmasi kesepakatan antara UEA dan rezim Zionis Israel terkait normalisasi penuh hubungan kedua pihak.
Masih menurut sumber ini, Cohen termasuk tokoh yang memiliki peran besar bagi terbentuknya hubungan antara Emirat dan Israel serta peresmiannya.
Langkah normalisasi hubungan UEA dengan Israel menuai kecaman luas dari berbagai negara Islam dan faksi muqawama Palestina.
Letjen Dhahi Khalfan: Israel Harus Jadi Anggota Liga Arab !
Mantan wakil kepala kepolisian kota Dubai, Uni Emirat Arab yang dikenal dengan propagandanya untuk menormalisasi hubungan dengan rezim Zionis Israel, mendesak keanggotaan Israel di Liga Arab, dan lembaga itu harus berubah nama menjadi Persatuan Negara-negara Timur Tengah.
Fars News (19/8/2020) melaporkan, Letjen Dhahi Khalfan mendesak bangsa-bangsa Arab untuk memulihkan hubungan dengan Israel, dan menegaskan bahwa ibu kota negara-negara Arab selalu menjadi ibu kota Israel.
Dalam wawancara dengan sebuah stasiun televisi berbahasa Ibrani, Khalfan mendesak pemulihan hubungan dengan Israel di level masyarakat. Menurutnya, orang-orang Israel bukan orang asing, mereka adalah putra-putra tanah Arab, pemulihan hubungan resmi dengan sendirinya tanpa hubungan masyarakat, tidak bermakna.
Seperti ditulis Al Khaleej Online, Dhahi Khalfan menjelaskan, ibu kota Israel bukan hanya Tel Aviv, seluruh ibu kota negara Arab adalah ibu kota Israel.
Sebelumnya Khalfan mengaku tidak mengetahui penandatanganan kesepakatan UEA-Israel, sejam setelahnya ia baru mengetahui. Menurutnya normalisasi hubungan dengan Israel menguntungkan keamanan kawasan.
Netanyahu: Kesepakatan dengan UEA, Perkuat Keamanan Kami
Perdana Menteri rezim Zionis Israel mengklaim kesepakatan Abu Dhabi dan Tel Aviv akan memperkuat keamanan Israel.
Benjamin Netanyahu Rabu (19/8/2020) di akun Twitternya menulis, Emirat berminat menanam investasi di Israel.
Ia menilai investasi Uni Emirat Arab di bumi pendudukan sebagai peluang yang memberi keuntungan besar bagi Tel Aviv.
Amerika Serikat, Israel dan Uni Emirat Arab (UEA) Kamis (13/8/2020) seraya merilis statemen bersama menyatakn, Abu Dhabi dan Tel Aviv secara resmi memulai hubungan di antara mereka.
Kesepakatan Israel dan Emirat ini menuai gelombang protes dan kritikan luas dari berbagai faksi Palestina, negara kawasan dan sejumlah tokoh politik dunia.
Pejabat UEA: Masalah Palestina Sebab Kemunduran Kami
Deputi Menteri Luar Negeri Uni Emirat Arab menjustifikasi kesepakatan normalisasi hubungan negaranya dengan rezim Zionis Israel dan mengklaim, masalah Palestina menyebabkan kemunduran Abu Dhabi.
Situs Arab 48 (21/8/2020) melaporkan, Omar Saif Ghobash dalam wawancara dengan surat kabar Israel mengatakan, kemajuan Israel di bidang teknologi mendorong UEA bergerak ke arah kesepakatan dengan Tel Aviv.
Ghobash menambahkan, masalah Palestina yang hanya merupakan konflik internal di antara warga Palestina sendiri, menyebabkan kemunduran UEA, kami tidak ingin terjebak dalam masalah dalam negeri warga Palestina.
Pasca kesepakatan normalisasi hubungan dengan Israel, UEA akan membuka kedutaan besar Israel di Abu Dhabi. Selain itu UEA juga berniat membeli jet tempur canggih Amerika Serikat, F-35.
Sementara itu, terkait perkembangan pengadilan kasus teror Rafik Hariri ada sejumlah informasi sebagai berikut:
Saad Hariri: Sebagai Keluarga, Saya Terima Keputusan Pengadilan
Mantan perdana menteri Lebanon, Saad Hariri saat merespon keputusan Pengadilan Khusus untuk Lebanon (STL) di Den Haag mengatakan, sebagai anggota keluarga Saya menerima keputusan ini.
Saad Hariri Selasa (18/8/2020) di statemennya mengungkapkan, vonis yang dirilis tidak seperti yang kami harapkan, namun Kami rela dengan keputusan ini.
Hassan Diab, perdana menteri urusan pemerintah Lebanon juga berharap bahwa keputusan ini dapat memperkuat stabilitas dan keadilan seperti yang diinginkan "Rafik Hariri" sehingga Lebanon dapat keluar dari krisis dengan persatuan nasional.
Pengadilan khusus berkas teror Hariri Selasa seraya mengumumkan bahwa teror Rafiq Hariri sebuah aksi terorisme dengan motif politik menyatakan, tidak ada bukti yang menunjukkan pemimpin Hizbullah dan Suriah terlibat di aksi teror tersebut.
Jaksa pengadilan juga menekankan, tidak ada bukti yang menunjukkan intervensi sekjen Hizbullah di aksi teror ini dan Sayid Hasan Nasrullah serta Rafik Hariri memiliki hubungan yang baik.
Rafik Hariri, mantan perdana menteri Lebanon tewas pada Februari 2005 akibat ledakan di Beirut bersama 21 orang lainnya.
Putusan pengadilan Rafik Al-Hariri; Kekalahan Besar Bagi Lawan Hizbullah
Pengadilan internasional khusus untuk kasus teror mantan Perdana Menteri Lebanon Rafik al-Hariri mengumumkan putusannya setelah 11 tahun dan menyangkal keterlibatan Suriah dan Hizbullah Lebanon dalam aksi teror itu.
Teror Rafik al-Hariri terjadi pada 14 Februari 2005. Mantan Perdana Menteri Lebanon tewas bersama 21 orang lainnya dalam aksi terori tersebut. Sementara lawan internal dan eksternal Hizbullah Lebanon menuduh Suriah dan Hizbullah terlibat dalam pembunuhan tersebut, baik Hizbullah dan Suriah berulang kali membantah terlibat dalam kejahatan tersebut.
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk pertama kalinya membentuk pengadilan internasional di Den Haag, Belanda, untuk mengadili operasi teroris. Pengadilan Khusus Internasional untuk Pembunuhan Rafik al-Hariri dibuat pada tahun 2009. Karena itu, putusan yang dikeluarkan pengadilan pada 18 Agustus dikeluarkan setelah 11 tahun penyidikan. Secara formal, pengadilan bertindak dengan mendengarkan telepon sebelum teror al-Hariri, berbicara dengan 297 saksi dalam kasus tersebut, dan menyusun dokumen sebanyak 2.600 halaman, yang menunjukkan langkah-langkah komprehensif dari awal hingga dikeluarkannya putusan pengadilan.
Dari segi hasil persidangan, putusan ini penting dalam dua hal.
Alasan pertama pentingnya adalah bahwa, meskipun ada klaim dan tuduhan tidak berdasar awal, penyelidikan pengadilan selama 11 tahun membuktikan legitimasi Hizbullah. Putusan pengadilan tidak hanya membebaskan Hizbullah dari keterlibatan dalam pembunuhan itu, tetapi juga membebaskan empat anggotanya. Selain itu, Hakim David Re dari Pengadilan Kriminal Internasional khusus teror Hariri menyatakan, "Sayid Hassan Nasrallah dan Rafik al-Hariri memiliki hubungan yang baik." Ini menunjukkan bahwa pengadilan bahkan fokus pada detailnya.
Alasan kedua pentingnya pengadilan adalah pembebasan Suriah dari keterlibatan dalam kejahatan ini, yang secara eksplisit dinyatakan dalam putusan tersebut. Sementara itu, arus pro-Barat di Lebanon dan di tingkat regional memberikan banyak tekanan pada Suriah terkait teror Rafik al-Hariri, sehingga Suriah menarik sekitar 14.000 tentara dari Lebanon di bawah tekanan ini. "Politisi Lebanon harus meminta maaf kepada pemerintah Suriah dan warga negara ini atas tuduhan palsu tersebut," kata Ahmad al-Kuzbari, seorang anggota parlemen Suriah, mengenai keputusan itu.
Putusan ini, bagaimanapun, juga memiliki dua poin ambigu yang perlu diklarifikasi.
Pertama, Hakim David Re secara eksplisit menyatakan bahwa teror al-Hariri adalah aksi teroris yang dilakukan untuk kepentingan politik. Namun, tidak jelas siapa, kelompok apa, atau bahkan aktor asing, yang mengejar tujuan politik mereka di Lebanon atau bahkan kawasan Asia Barat melalui pembunuhan Rafik al-Hariri, yang menjabat sebagai Perdana Menteri Lebanon selama 10 tahun. Rafik al-Hariri adalah Perdana Menteri Lebanon dari tahun 1992 hingga 1998, serta dari tahun 2000 hingga 2004.
Poin ambigu lainnya adalah mengapa pengadilan hanya mempertimbangkan tuduhan terhadap anggota Hizbullah Lebanon dalam kasus tersebut dan menolak untuk mempertimbangkan permintaan Hizbullah untuk menyelidiki kemungkinan peran rezim Zionis dalam teror tersebut. Hizbullah Lebanon, sementara menyangkal tuduhan terhadap dirinya dalam teror tersebut, memberikan bukti bahwa rezim Zionis terlibat dalam aksi teror tersebut, tetapi tuduhan ini tidak pernah diselidiki di pengadilan.
Semenetara poin terakhir, terlepas dari penolakan keterlibatan Hizbullah dalam teror Rafik al-Hariri, pihak oposisi terus mempertahankan ofensifnya terhadap Hizbullah dengan melakukan manuver dengan nama "Salim Ayyash", sementara hakim Pengadilan Internasional Teror Rafik al-Hariri menyatakan, "Teks dari kontak yang diselidiki mengarah pada penemuan kelompok di balik pembunuhan itu." Tujuannya adalah untuk melanjutkan serangan terhadap situasi saat ini di Lebanon dan menggunakannya untuk membentuk pemerintahan tanpa partisipasi Hizbullah.
Mencermati Dampak Kunjungan al-Kadhimi ke AS
Kunjungan Perdana Menteri Irak Mustafa al-Kadhimi ke Amerika Serikat dan pertemuannya dengan Presiden Donald Trump digelar ketika ada kontradiksi antara apa yang diklaim dan fakta.
Donald Trump Maret 2017 di Gedung Putih menjadi tuan rumah Haider al-Abadi, mantan PM Irak. Ketika al-Kadhimi berkunjung ke Washington dan bertemu dengan Trump, presiden AS ini sebelumnya menolak menerima Adel Abdul Mahdi, mantan PM Irak di Amerika.
Abdul Mahdi tahun 2019 dijadwalkan berkunjung ke Washington, namun tanggal kunjungannya tiga kali di perpanjang dan pada akhirnya kunjungan ini batal karena Abdul Mahdi selama kunjungan mendadak presiden Amerika akhir Desember 2018 ke Irak tidak bersedia menemuinya di pangkalan militer Ain al-Asad.
Keamanan dan ekonomi merupakan dua agenda utama kunjungan al-Kadhimi dan pertemuannya dengan presiden AS. Ia berkunjung ke AS di saat salah satu tuntutan penting dan serius mayoritas faksi politik dan rakyat Irak adalah penarikan pasukan Amerika dari negara ini. Tuntutan ini juga merupakan salah satu keputusan parlemen Irak.
Bagaimanapun juga ancaman terhadap militer dan bahkan kedubes Amerika di Irak juga terus meningkat di tahun 2020. Baik Trump maupun al-Kadhimi menyadari kondisi rentan pasukan Amerika di Irak. Dengan demikian ada kontradiksi nyata antara kebijakan yang diumumkan dan dipraktekkan presiden AS dan perdana menteri Irak di bidang keamanan.
Trump berjanji kepada al-Kadhimi akan menarik pasukan Amerika secara bertahap selama tiga tahun, namun ini sekedar klaim. Faktanya adalah Trump dan presiden Amerika sesudahnya, bahkan jika Trump gagal menang, akan bertahan dan berusaha tetap bercokol di Irak. Kontradiksi ini bahkan terlihat nyata di statemen dan pandangan kedua pihak. Misalnya di statemen bersama al-Kadhimi dan Trump disebutkan, “Kerja sama keamanan kami, membentuk sebuah dasar dan sendi-sendi untuk memperluas upaya kerja sama di sektor ekonomi, kemanusiaan, politik dan budaya.”
Pendekatan ini juga ditekankan di statemen eksklusif Gedung Putih, “Kerja sama keamanan juga upaya kedua negara untuk memperluas hubungan ekonomi, kemanusiaan, politik dan budaya.
Al-Kadhimi dan Trump seraya menekankan penarikan pasukan AS dari Irak selama tiga tahun mendatang, berusaha mencegah melemahkan posisi internal perdana menteri Irak serta mencegah meningkatnya represi rakyat serta faksi muqawama kepada dirinya. Meski demikian, faksi muqawama Irak di statemennya seraya mengkritik sikap al-Kadhimi terkait militer Amerika di pertemuan dengan Trump menyatakan, “Kami terkejut bahwa pertemuan al-Kadhimi dan Trump tidak mencakup agenda implementasi keputusan penarikan penuh militer Amerika.”
Di sektor ekonomi, apa yang disepakati kedua pihak tidak akan memperkuat posisi al-Kadhimi di dalam negeri. Prestasi terpenting ekonomi kunjungan ini adalah kesepakatan 8 miliar dolar untuk investasi di sektor energi di Irak di mana lima perusahaan Amerika akan menanam investasi mereka di sektor ini. Investasi ini sejatinya dimaksudkan untuk mengurangi impor listrik Irak dari Iran, ketimbang untuk memenuhi kebutuhan negara ini di bidang listrik.
Padahal saat ini perusahaan Amerika General Electric penguasa penuh listrik Irak dan memiliki kontrak di bidang ini, namun sampai saat ini Irak masih mengalami kekurangan besar di sektor listrik. Tak diragukan lagi, jika tidak ada dukungan dan bantuan Republik Islam Iran yang mengekspor listriknya ke Irak, maka kondisi negara ini akan sangat buruk dan tidak mampu memenuhi kebutuhan listriknya.
Mengingat kondisi ini, Hazim al-Janabi, salah satu pemimpin Front Penyelamatan dan Pembangunan Irak seraya memperingatkan potensi hasil sebaliknya dari kunjungan Mustafa al-Kadhimi ke AS mengatakan, “Kunjungan ini sebuah sandiwara dan tidak memiliki keuntungan apapun bagi bangsa Irak.”
AS Janjikan MBS Naik Tahta Jika Normalisasi dengan Israel Diumumkan
Pengungkap rahasia-rahasia kelurga Al Saud menyatakan, Amerika Serikat berjanji kepada Putra Mahkota Mohammad bin Salman (MBS) bahwa dirinya akan segera naik tahta setelah pengumuman resmi normalisasi hubungan Arab Saudi dengan Israel.
Menurut laporan IRIB, Mujtahid aktivis Twitter dan pengungkap rahasia Al Saud Senin (17/8/2020) mengungkapkan, AS menjanjikan tahta Saudi kepada MBS setelah pengumuman resmi hubungan dengan Tel Aviv dan akan membantu dirinya menyingkirkan Raja Salman.
Di akun Twitternya, Mujtahid menulis, Washington akan melakukan intervensi memaksa kubu oposisi MBS di keluarga kerajaan untuk berjanji setia kepada Mohammad bin Salman sebagai raja.
Menyusul upaya Presiden AS Donald Trump untuk mempermudah proses normalisasi hubungan antara Uni Emirat Arab (UEA) dan Israel, Kamis (13/8/2020) Abu Dhabi dan Tel Aviv mencapai kesepakatan terkait normalisasi penuh hubungan diplomatik.
Kesepakatan Israel dan UEA menuai gelombang protes dari berbagai faksi Palestina, negara kawasan dan sejumlah tokoh politik dunia. Hampir bisa dikatakan bahwa langkah Emirat ini sebuah pengkhianatan terhadap cita-cita bangsa Palestina.