Ketika PM Inggris Mengritik Keputusan AS Soal Afghanistan
https://parstoday.ir/id/news/world-i102972-ketika_pm_inggris_mengritik_keputusan_as_soal_afghanistan
Bersamaan dengan kemajuan yang dicapai Taliban di Afghanistan dan meningkatnya kekhawatiran tentang nasib negara itu, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson setelah berakhirnya rapat kabinet keamanan (COBRA) pada hari Jumat (13/08/2021) menilai situasi saat ini di Afghanistan sangat buruk dan menjelaskan bahwa perubahan saat ini akibat dari keputusan pemerintah Biden untuk menarik pasukan NATO.
(last modified 2025-09-24T10:07:51+00:00 )
Aug 15, 2021 08:04 Asia/Jakarta

Bersamaan dengan kemajuan yang dicapai Taliban di Afghanistan dan meningkatnya kekhawatiran tentang nasib negara itu, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson setelah berakhirnya rapat kabinet keamanan (COBRA) pada hari Jumat (13/08/2021) menilai situasi saat ini di Afghanistan sangat buruk dan menjelaskan bahwa perubahan saat ini akibat dari keputusan pemerintah Biden untuk menarik pasukan NATO.

Ini adalah pertama kalinya seorang pejabat senior Inggris, sekutu strategis Amerika Serikat, secara terbuka mengkritik pendekatan pemerintahan Biden ke Afghanistan, dan menyalahkannya atas ketidaknormalan saat ini.

Perdana Menteri Inggris Boris Johnson

Bertentangan dengan sikap awalnya bahwa pasukan AS harus tetap di Afghanistan, Presiden AS Joe Biden mengeluarkan pidato pada 8 Juli 2021, yang memerintahkan segera dan bahkan terkesan tergesa-gesa penarikan pasukan AS dari Afghanistan untuk memecahkan kebuntuan AS di Afghanistan.

Ketergesaan Biden untuk menarik pasukan AS dari Afghanistan sangat mirip dengan apa yang terjadi ketika pasukan AS menarik diri dari Vietnam. Sekalipun demikian, tindakan AS ini, seperti pendudukan Afghanistan selama 20 tahun, semua dilakukan tanpa mempertimbangkan konsekuensinya.

Taliban memulai operasi luas di berbagai daerah Afghanistan. Semua itu dikarenakan kebuntuan dalam negosiasi antara Taliban dan pemerintah Afghanistan di bawah Perjanjian Doha. Penarikan cepat dan bahkan lebih awal pasukan AS dan NATO memberikan kesempatan bagi Taliban untuk mengambil keuntungan dari moral yang lemah dari tentara Afghanistan. Selain itu, penarikan tergesa-gesa pasukan AS menciptakan kekacauan di negara ini.

Lebih dari 70 persen Afghanistan sekarang berada di tangan Taliban, dan ada laporan yang mengkhawatirkan tentang jatuhnya Kabul dalam beberapa waktu ke depan. Beberapa media Afghanistan juga telah melaporkan, Menteri Pertahanan dan Menteri Luar Negeri AS menekan Presiden Ashraf Ghani dan menuntut pengunduran dirinya.

Ini adalah pertama kalinya seorang pejabat senior Inggris, sekutu strategis Amerika Serikat, secara terbuka mengkritik pendekatan pemerintahan Biden ke Afghanistan, dan menyalahkannya atas ketidaknormalan saat ini.

Namun, yang tidak dapat disangkal adalah peran Biden dalam mempercepat situasi bencana saat ini. Tentara Afghanistan, yang Amerika klaim telah menghabiskan miliaran dolar untuk pelatihan dan perlengkapan, sebenarnya telah runtuh secara psikologis. Oleh karenanya, mereka telah menyerah kepada Taliban di banyak provinsi.

Sekarang, dengan mencermati pengalaman Biden mengurusi Afghanistan, bahkan sekutu AS skeptis terhadap komitmen Washington untuk mendukungnya. Faktanya, Biden menolaknya ketika pemerintah Afghanistan membutuhkan bantuan militer AS dan NATO. Ini telah menimbulkan keraguan tentang validitas kata-kata dan komitmen pemerintah Biden.

"Ketika Biden mengatakan Amerika Serikat akan kembali, banyak yang akan mengatakan ya, Amerika Serikat kembali ke negaranya," kata Francis Heisberg, seorang analis pertahanan.

Sejatinya, kemajuan pesat Taliban di Afghanistan datang pada saat banyak orang di Eropa dan Asia berharap Presiden AS Joe Biden memainkan kehadiran AS yang menentukan dalam urusan internasional, terutama ketika Cina dan Rusia berusaha kembali untuk memperluas pengaruh mereka. Penarikan AS dari Afghanistan kini telah menimbulkan keraguan serius.

Amerika Serikat dan Taliban

"Disintegrasi cepat Afghanistan telah menciptakan ketidakpuasan terhadap kredibilitas AS dan memperumit luka mantan Presiden Donald Trump selama masa kepresidenannya, yang mengarah pada pandangan bahwa AS mendukung sekutunya secara terbatas," kata pakar politik Steven Erlanger.

Tentu saja, ini tidak hanya berlaku untuk Amerika Serikat, tetapi juga untuk pemerintahan Boris Johnson. Banyak anggota Parlemen Inggris menentang keputusan pemerintah Inggris untuk menarik pasukan dari Afghanistan dan percaya bahwa pemerintah London telah meninggalkan Kabul sendirian.