Tantangan Utama Pemerintahan Taliban di Afghanistan
Para pejabat Taliban mulai bekerja setelah mengumumkan pemerintahan sementara di Afghanistan. Namun, penolakan di dalam negeri dan tingkat dunia membuat kelompok itu gagal mendapatkan dukungan yang cukup untuk memerintah.
Taliban telah mencoba menampilkan citra yang berbeda dari dua dekade lalu, yang dianggap sebagai langkah taktis untuk memperoleh pengakuan masyarakat internasional.
Di sisi lain, Taliban secara praktis menampilkan diri sebagai kelompok yang tidak siap mendengarkan suara oposisi. Taliban telah bertemu dengan beberapa mantan pejabat tinggi Afghanistan, termasuk mantan Presiden Hamid Karzai, untuk meredam suara protes.
Kubu oposisi telah menggelar beberapa pertemuan, termasuk di Mazar-i-Sharif sebagai upaya untuk mengumumkan eksistensinya dan memaksa Taliban menerima tuntutan mereka tentang pembentukan pemerintahan yang inklusif.
Selama memerintah, Karzai menyebut Taliban sebagai saudara untuk mencegah pertumpahan darah dan konflik. Saat ini, ia juga mengajak Taliban untuk membentuk pemerintahan yang inklusif sebagai cara memperkuat perdamaian dan stabilitas di Afghanistan.
Mantan pejabat Afghanistan, Fraidon Barakzai percaya bahwa Taliban harus belajar dari masa lalu dan tidak menerapkan aturan-aturan, yang telah menyebabkan mereka dikucilkan oleh komunitas internasional.
Ada persepsi di Afghanistan bahwa Taliban, yang merebut kekuasaan dengan paksa dan dalam sebuah kesepakatan dengan Amerika Serikat, tidak punya niat atau keinginan untuk berbagi kekuasaan dan tetap berusaha monopoli kekuasaan.
Munculnya perselisihan internal di tingkat elite Taliban juga membuktikan bahwa berbagai faksi pembentuk Taliban, termasuk kelompok Haqqani, juga bersaing untuk mendapatkan hak yang lebih besar.
Saat ini, salah satu tokoh yang belum mendapatkan bagian kekuasaan dalam kabinet Taliban adalah Gulbuddin Hekmatyar, Pemimpin Partai Islam Afghanistan (Hezb-e Islami). Ia telah diacuhkan oleh Taliban dengan menunjuknya sebagai imam Masjid Pul-e Khishti di Kabul.
Hekmatyar—yang tidak berani menentang Taliban—berusaha untuk memperoleh posisi tertentu dengan mendukung program-program Taliban, termasuk pembentukan pemerintahan yang tidak representatif. Namun, Taliban tetap menunjuknya untuk mengurusi masjid.
Menurut analis politik Afghanistan, Mohammad Arefi, Taliban tidak punya konsep yang jelas tentang makna inklusivitas. Mereka harus membuka ruang untuk kehadiran kelompok etnis lain dalam pemerintah. Masalah ini tidak semata-mata dilihat dari kacamata politik, tetapi perlu pendekatan politik-etnis.
Saran Hamid Karzai kepada Taliban untuk membentuk pemerintahan yang inklusif serta menghormati hak-hak semua etnis dan agama di Afghanistan, dapat menjadi penyambung lidah kubu oposisi, yang telah menyampaikan pandangan mereka lewat berbagai cara.
Pemerintahan yang inklusif dianggap dapat memperkuat perdamaian dan keamanan di Afghanistan serta mendorong masyarakat internasional untuk memberikan pengakuan, dan menyalurkan bantuan yang diperlukan. (RM)