Ingin Minyak Murah, PM Inggris Kunjungi Arab Saudi
Seiring dengan berlanjutnya perang Rusia dan Ukraina, dan harga minyak dan data energi global naik, Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson berkunjung ke Arab Saudi untuk berunding mengenai suplai minyak.
Kunjungan ini digelar ketika harga bahan bakar di SPBU Inggris mencapai angka tertinggi dan lebih dari 1,60 Pounds perliter untuk bensin dan solar mencapai 1,70 Pounds perliter. Menteri Kesehatan Inggris, Sajid Javid terkait hal ini mengatakan, Johnson harus berkunjung ke Arab Saudi untuk berunding, karena kami setelah serangan Rusia ke Ukraina membutuhkan minyak yang lebih murah.
Baru-baru ini harga minyak mencapai angka tertingi dalam 14 tahun terakhir. Harga minyak Brent perbarel mendekati 140 dolar. Sementara itu, sejak awal tahun ini, harga minyak di pasar dunia naik 60 persen dan ini disusul dengan kenaikan harga seluruh barang.
Kunjungan Johnson ke Arab Saudi digelar ketika Riyadh baru-baru ini mengeksekusi 81 orang termasuk tujuh warga Yaman dan seorang warga Suriah dengan tuduhan melakukan aktivitas terorisme dan seluruh kejahatan lain termasuk memiliki keyakinan sesat. Ini merupakan eksekusi massal terbesar di Arab Saudi selama beberapa dekade terakhir. Eksekusi ini dilakukan terhadap pemuda yang menggunakan hal legalnya untuk mengungkapkan pendapat dan keyakinannya. Oleh karena itu, eksekusi massal ini memicu respon dan kemarahan para aktivis HAM dan lembaga internasional.
Komisioner Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (HAM) Michelle Bachelet seraya mengecam eksekusi 81 orang di Arab Saudi, menyebut proses peradilan orang-orang tersebut tidak adil dan mengatakan, hukuman mati dilakukan terhadap mereka sementara syarat-syarat pengadilan tidak terpenuhi, dan beberapa dari mereka yang dieksekusi di Arab Saudi bahkan tidak dapat memperoleh jaminan pengadilan yang adil dan merata.
Sejatinya Inggris dan Amerika Serikat serta sekutu Eropanya bukan saja tidak mengecam pelanggaran nyata Arab Saudi terhadap HAM, bahkan berencana memperluas hubungan dan bahkan memberi konsesi kepada negara ini. Padahal negara-negara ini dengan slogan kerasnya mengaku sebagai pembela Hak Asasi Manusia (HAM). Sekaitan dengan ini, menteri kesehatan Inggris mengakui, London mengetahui pelanggaran HAM di Arab Saudi, tapi negara ini merupakan salah satu produsen minyak terbesar dunia.
Perkiraan menunjukkan bahwa Arab Saudi memiliki kapasitas surplus sekitar dua juta barel per hari, dan negara-negara Barat berniat menggunakannya sebagai senjata dalam perang ekonomi dengan Rusia.
Negara-negara Barat di krisis seperti perang Yaman dan pembunuhan Jamal Kashogi juga telah menunjukkan bahwa mereka hanya mempertimbangkan kepentingan mereka sendiri dan bahwa penghormatan terhadap hak asasi manusia tidak lebih dari sebuah slogan bagi mereka. Sama seperti Inggris dan sekutunya yang tidak menghentikan penjualan senjata ke Arab Saudi dalam beberapa tahun terakhir karena perang di Yaman, mereka sekarang mengajukan diri lagi untuk memperluas hubungan dengan Arab Saudi.
Ned Price, juru bicara Kementerian Luar Negeri Amerika juga menolak untuk mengutuk eksekusi yang dilakukan oleh Arab Saudi sebagai kelanjutan dari kebijakan ganda Washington, terlepas dari kenyataan bahwa pemerintahan Biden telah mengklaim memperioritaskan hak asasi manusia.
Prediksi menunjukkan, jika perang dan sanksi minyak serta gas Rusia berlanjut, negara-negara produsen minyak dan gas dalam waktu dekat tidak dapat menutupi kekurangan yang ada di pasar. Oleh karena itu, harga minyak yang mencapai 200 dolar perbarel tidak jauh dari prediksi. Dengan demikian, sepertinya negara-negara Barat seraya mengabaikan seluruh kejahatan Arab Saudi terus mengejar kepentingannya dan mengontrol harga minyak. (MF)