Mengapa Perselisihan Keanggotaan Ukraina di UE Terus Berlanjut ?
Keanggotaan Ukraina di Uni Eropa telah menjadi titik perselisihan antara negara-negara anggota Uni Eropa. Sekitar setengah dari 27 negara dari blok ini menentang keanggotaan Ukraina. Karena melihat langkah tersebut menjadi subjek perubahan dalam perjanjian fundamental blok itu.
Sementara Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen dan Presiden Prancis Emmanuel Macron, negara terbesar kedua di Uni Eropa, telah setuju untuk mengizinkan Ukraina mencalonkan diri sebagai anggota Uni Eropa, 12 negara Eropa termasuk Polandia, Rumania, Finlandia, Denmark, Malta, Republik Ceko, Slovenia, Bulgaria, Kroasia, Estonia, Lituania, dan Latvia telah mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa mereka menentang upaya yang dianggap tidak baik untuk menerima anggota baru ke Uni Eropa.
Pernyataan dari negara-negara itu merujuk pada kinerja positif dan "terintegrasi" Eropa melawan COVID-19 atau perang Ukraina, dan mengatakan bahwa reformasi kelembagaan UE tidak boleh terburu-buru.
Negara-negara ini percaya bahwa kita sekarang memiliki Eropa yang efisien dan bahwa kita tidak boleh terburu-buru melakukan reformasi institusional.
Sikap penolakan itu diumumkan pada peringatan berakhirnya Perang Dunia II, yang dikenal sebagai Hari Kemenangan, menjelang pertemuan Uni Eropa.
Sementara itu, Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen menekankan bahwa dia mendukung perubahan perjanjian Eropa jika perlu.
Pada 28 Februari, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky meminta Uni Eropa untuk menyetujui keanggotaan langsungnya di blok itu melalui prosedur khusus.
Menanggapi permintaan ini, Parlemen Eropa pada 2 Maret 2022, dengan 637 suara mendukung, 13 menentang dan 26 abstain, menerima permohonan Ukraina untuk bergabung dengan Uni Eropa.
Penerimaan permintaan Ukraina oleh Parlemen Eropa tidak berarti keanggotaan Kiev dalam blok ini, tetapi pemungutan suara ini akan memulai proses keanggotan Ukraina di UE. Namun, Uni Eropa belum mengambil pandangan positif dari realisasi segera permintaan Zelensky.
Keanggotaan Ukraina di Uni Eropa telah menjadi titik perselisihan antara negara-negara anggota Uni Eropa. Sekitar setengah dari 27 negara dari blok ini menentang keanggotaan Ukraina. Karena melihat langkah tersebut menjadi subjek perubahan dalam perjanjian fundamental blok itu.
Sebelumnya, penolakan terang-terangan Jerman sebagai negara terpenting UE dan ekonomi terbesar di Eropa, serta Austria, telah menghancurkan harapan presiden Ukraina untuk segera menjadi anggota Uni Eropa.
Sekarang, dengan 12 negara Eropa menyatakan penentangan mereka terhadap keanggotaan langsung Ukraina di Uni Eropa, dapat dikatakan bahwa harapan Kiev dalam hal ini secara umum berubah menjadi kekecewaan.
Mungkin itu sebabnya beberapa negara Eropa, seperti Prancis, mencari solusi lain. Dalam pidatonya di Parlemen Eropa pada hari Senin (09/05/2022), Presiden Prancis Emmanuel Macron mengusulkan pembentukan blok baru negara-negara non-UE yang menganut nilai-nilai Eropa.
“Kita semua tahu betul bahwa proses mengizinkan Ukraina untuk bergabung dengan UE mungkin memakan waktu beberapa tahun dan mungkin beberapa dekade,” kata Macron, merujuk pada keanggotaan Ukraina di Uni Eropa.
Usulan Prancis ini mendapat respon positif dari Jerman. Kanselir Jerman Olaf Scholz menyambut baik usulan Macron untuk membentuk organisasi Eropa yang lebih luas yang akan mencakup negara-negara di luar Uni Eropa, termasuk Ukraina dan Inggris.
"Saya ingin memperjelas bahwa ini adalah proposal yang sangat penting. Saya senang mendengar tawaran yang kita diskusikan," kata Scholz.
Dengan demikian, mengingat kebuntuan saat ini atas keanggotaan Ukraina di Uni Eropa, tampaknya para pemimpin penting Eropa mencari solusi yang sama sekali berbeda. Mereka mengusulkan pembentukan blok Eropa dengan sifat politik dan berdasarkan nilai-nilai Eropa yang sama dan tidak memiliki masalah keanggotaan di UE.
Pada saat yang sama, mereka sekaligus dapat membentuk negara-negara Eropa dalam kerangka lembaga politik baru.(sl)