Mencermati Akar dan Dampak Epidemi Kebencian di AS
(last modified Mon, 16 May 2022 10:30:52 GMT )
May 16, 2022 17:30 Asia/Jakarta
  • Penembakan di Amerika Serikat
    Penembakan di Amerika Serikat

"Amerika Serikat menyaksikan epidemi kebencian akhir-akhir ini," kata Wakil Presiden AS Kamala Harris setelah pembantaian mengerikan di sebuah supermarket di Buffalo, New York.

Namun sejarah 240 tahun Amerika Serikat menunjukkan bahwa negara itu selalu terlibat dalam epidemi kebencian, dan itu tidak terjadi hanya di "hari-hari ini". Kebencian kulit putih terhadap orang kulit hitam, kebencian orang kulit hitam terhadap orang kulit putih, kebencian orang kulit putih dan kulit hitam terhadap orang Indian, dan sebaliknya, kebencian orang Indian terhadap orang kulit putih dan kulit hitam.

Kasus penembakan di daerah Buffalo, New York

Baru-baru ini, dengan meningkatnya populasi warga keturunan Amerika Latin di Amerika Serikat, kebencian rasial segitiga telah meluas dan mencapai dimensi keempat.

Sekalipun demikian, epidemi kebencian di Amerika Serikat tidak hanya rasial, tetapi juga konflik ideologis telah memperburuk situasi di negara itu. Pendukung aghostik melawan ateis, pengikut Protestan melawan Katolik dan orang Kristen melawan umat Islam.

Namun, kesenjangan yang semakin lebar antara orang miskin dan orang kaya di Amerika Serikat telah memperburuk kebencian rasial dan agama.

Kita sedang berbicara tentang satu masyarakat di mana satu orang saja dapat memiliki kekayaan lebih dari $250 miliar dan kekayaan 400 orang Amerika setara dengan 150 juta orang Amerika lainnya, 40 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan dan kelangsungan hidup mereka bergantung pada bantuan pemerintah.

Dalam keadaan seperti itu, masing-masing pusat konflik rasial, budaya, dan ideologis memiliki puluhan dan ratusan institusi, lembaga, dan wadah pemikir untuk berteori tentang kebencian satu sama lain dan memompanya ke masyarakat dengan menggunakan cara penyampaian pesan yang paling canggih.

Semua ini terjadi di negara di mana warganya memiliki akses yang lebih mudah ke senjata paling lengkap dan mematikan daripada membeli buku.

Untuk alasan ini, mereka yang tidak puas dengan situasi mereka, ras mereka, kelas sosial mereka, atau bahkan negara mereka, membeli senapan mesin dan membantai orang, tidak peduli bahwa manusia, anak kecil di sekolah atau jemaah di gereja, sinagog atau masjid.

"Amerika Serikat menyaksikan epidemi kebencian akhir-akhir ini," kata Wakil Presiden AS Kamala Harris setelah pembantaian mengerikan di sebuah supermarket di Buffalo, New York.

Bahkan korban bisa saja orang yang lewat dan tertembak di satu sudut kota. Seperti yang terjadi di depan supermarket di lingkungan yang didominasi kulit hitam di Buffalo, New York pada hari Minggu, 15 Mei.

Ketika itu seorang remaja berusia 18 tahun menyalakan kamera videonya untuk siaran langsung di jejaring sosial dan ia membunuh 10 orang tak bersalah lalu akhirnya menyerah diri kepada polisi.

Menurut laporan media, remaja tersebut mengukir nama seorang wanita kulit putih yang terbunuh tahun lalu dalam kerusuhan di Kenosha, Wisconsin, di pistolnya dan menulis "ini adalah balas dendammu" di sebelahnya.

Para pendukung supremasi kulit putih AS melihat kerusuhan rasial setelah pembunuhan mengerikan terhadap George Floyd, warga  kulit hitam oleh seorang petugas polisi kulit putih pada tahun 2020 sebagai tanda penghancuran identitas AS, di mana mereka harus mengangkat senjata untuk mencegahnya.

Tentu saja, sikap ekstremis dan kekerasan dari kelompok rasis supremasi kulit putih ini telah menyebabkan reaksi kekerasan dari beberapa kelompok anti-fasis seperti Antifa.

Dengan kata lain, Amerika Serikat sedang memasuki babak baru dalam siklus kekerasan rasial, di mana kekerasan oleh satu kelompok berujung pada kekerasan yang dilakukan oleh kelompok lain. Sebuah proses yang digambarkan wakil presiden AS sebagai "epidemi kebencian" di negara itu.

Image Caption

Dengan melihat kenyataan ini, pemerintah AS dan lembaga penegak hukum sendiri justru sering memperburuk konflik sosial yang parah di negara ini. Lembaga-lembaga ini sering kali mengobarkan api dengan perilaku dan ucapan mereka.

Beberapa pemikir Amerika bahkan telah memperingatkan bahwa jika tidak ada solusi yang ditemukan untuk dilema saat ini, Amerika Serikat dapat menghadapi perang saudara kedua, yang bisa lebih menghancurkan daripada yang pertama pada pertengahan abad kesembilan belas.(sl)

Tags