Perubahan Terbesar Strategi Militer Jepang Sejak Perang Dunia II
Pemerintah Jepang menyetujui strategi militer baru negara itu, di mana Cina diperkenalkan sebagai ancaman strategis terbesar.
Disebutkan bahwa dengan disetujuinya tiga dokumen strategi militer Jepang berarti ia menjadi perubahan terbesar dalam kebijakan militer negara ini setelah berakhirnya Perang Dunia II. Padahal konstitusi Jepang melarang pengiriman pasukan negara itu di luar perbatasan dan partisipasi dalam segala jenis operasi tempur.
Mempertimbangkan bahwa lebih dari 50% rakyat Jepang menentang perubahan konstitusi negara untuk memiliki tentara yang kuat dan berpartisipasi dalam misi lintas batas, pemerintah Jepang pada masa Perdana Menteri Shinzo Abe pada tahun 2016 mengeluarkan undang-undang yang akan mengizinkan negara ini untuk berpartisipasi dalam operasi lintas batas dalam kerangka yang disebut hak pertahanan kolektif, yang jelas merupakan kehadiran kamp militer Amerika.
Sharifipour, seorang pakar masalah internasional, mengatakan:
"Shinzo Abe, dengan segala reputasi baik yang dia miliki di antara rakyat Jepang, tidak dapat meyakinkan mereka untuk mengubah pasal-pasal konstitusi negara agar pemerintah Jepang memiliki tentara yang kuat. Pasalnya, masyarakat Jepang sangat mengkhawatirkan petualangan lintas batas pemerintah Tokyo, terutama Partai Demokrat Liberal yang berkuasa, yang memiliki ikatan sangat dalam dengan Amerika Serikat."
Salah satu rencana pemerintah Jepang untuk membenarkan memiliki militer yang kuat, yang melanggar konstitusi negara, adalah Chinaphobia setelah Korea Utara.
Dengan kata lain, pemerintah Tokyo berusaha menjadi aktor yang efektif sejalan dengan kebijakan Amerika, dan tidak ada alasan yang lebih baik daripada masalah Cina untuk membantu Partai Demokrat Liberal Jepang yang berkuasa di bidang ini, sehingga perubahan strategis di Jepang memberikan hak melakukan serangan langsung ke negara lain kepada pasukan bela diri negara ini.
Selain itu, dalam strategi militer baru Jepang, istilah serangan balik digunakan sebagai pengganti serangan pendahuluan, yang dapat menjadi sensitif tidak hanya di kalangan rakyat Jepang tetapi juga di antara negara-negara di kawasan.
Pemerintah Jepang menyetujui strategi militer baru negara itu, di mana Cina diperkenalkan sebagai ancaman strategis terbesar.
Tidak diragukan lagi, penerapan strategi semacam itu membutuhkan peningkatan anggaran militer, yang akan mencapai lebih dari 55,80 miliar dolar AS menurut usulan Perdana Menteri Fumio Kishida.
Dengan begitu, setelah Amerika Serikat dan Cina, Jepang akan menjadi negara ketiga dengan anggaran militer tertinggi di dunia.
Ali Khazaei, seorang pakar masalah regional, mengatakan:
"Rencana strategis yang ambisius dari pemerintah Jepang membebankan biaya yang besar pada perekonomian negara. Oleh karena itu, salah satu konsekuensi ekonomi dari pendekatan militer pemerintah Tokyo mungkin adalah pengurangan investasi Jepang di proyek ekonomi dan komersial lainnya dan bahkan di sektor domestik, termasuk masalah pensiunan dan urusan asuransi."
Untuk itu, masyarakat Jepang memprotes kenaikan anggaran militer negara tersebut dengan menggelar demonstrasi. Menurut rencana pemerintah Amerika, yang diterapkan pada masa kepresidenan Donald Trump, negara-negara termasuk Jepang dan Korea Selatan, yang menampung pasukan Amerika, harus membayar pasukan ini.
Sekitar 100.000 tentara Amerika ditempatkan di Jepang, terutama di Okinawa, yang membebankan biaya besar pada ekonomi Jepang, masalah yang membuat pemerintah negara ini sulit membayar biaya publik dalam beberapa tahun terakhir.
Oleh karena itu, dari sudut pandang masyarakat Jepang, perekonomian negara ini tidak mampu membebankan biaya militer baru, dan pada saat yang sama, rencana ambisius pemerintah Tokyo dapat berdampak negatif pada hubungan Jepang dengan tetangganya, terutama Cina.(sl)