5 Februari, Hari yang Mengingatkan Kebohongan Terbesar AS
(last modified Sun, 05 Feb 2023 14:54:46 GMT )
Feb 05, 2023 21:54 Asia/Jakarta
  • Pentagon.
    Pentagon.

20 tahun yang lalu, yaitu tanggal 5 Februari 2003, yang hari ini bertepatan dengan tangal 5 Februari 2023, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Colin Powell menunjukkan sebuah tabung penelitian yang berisi bakteri Bacillus anthracis dalam pertemuan Dewan Keamanan PBB.

Dia menyebut tabung tersebut sebagai argumen adanya senjata pemusnah massal di Irak yang menjadi landasan untuk menyerang negara ini. Faktanya sampai sekarang tidak terbukti, dan hari ini adalah peringatan 20 tahun kebohongan paling dahsyat yang tidak pernah dijawab oleh AS.  

Konsekuensi dari pertemuan Dewan Keamanan PBB tersebut adalah invasi dan pendudukan Irak oleh AS dan sekutunya, perubahan rezim politik negara ini, tewas dan terlukanya ratusan ribu orang, mengungsinya jutaan warga Irak, dan munculnya banyak kelompok teroris di kawasan Asia Barat. Sementara senjata pemusnah massal yang diklaim sebagai penyebab serangan ini dan menjadi alasan invasi AS ke Irak tidak pernah ditemukan.

Setelah serangan 11 September 2001, pemerintahan Bush menyerang Afghanistan pada Oktober 2001 dengan dalih memerangi terorisme, dan pada Maret 2003, Pentagon menyerang Irak dengan dalih memerangi senjata pemusnah massal.

Pendudukan militer atas Irak, yang dilakukan atas perintah Presiden AS George W. Bush, selain memakan banyak korban di kalangan rakyat Irak, juga menyebabkan kematian beberapa ribu tentara Amerika dan membebankan biaya besar pada ekonomi dan reputasi internasional negara itu.

George Bush melancarkan perang yang menghancurkan terhadap Irak sementara Badan Intelijen Pusat AS (CIA) dan badan-badan intelijen lainnya menyaksikan bahwa Gedung Putih berbohong secara luas untuk membenarkan serangannya terhadap negara yang tidak menyerang AS dan juga bukan ancaman untuk negara ini.

Setelah sekitar sembilan tahun, kelompok terakhir agresor Amerika meninggalkan Irak pada 15 Desember 2011. Invasi militer Amerika ke Irak menewaskan lebih dari 130.000 warga negara ini. Selain itu, 5000 pasukan koalisi tewas, yang sebagian besarnya adalah tentara Amerika. Pada saat yang sama, lebih dari 36.000 pasukan koalisi terluka, kebanyakan juga dari orang-orang Amerika.

Padahal ketika Bush menyerang Irak, dia mengklaim bahwa serangan itu dimulai untuk melucuti senjata pemusnah massal Irak dan membebaskan rakyatnya, dan agar dunia terbebas dari bahaya besar.

Bush dengan sembrono mengumumkan berakhirnya perang di Irak dan penggulingan rezim Baath. Sementara realitanya, perang yang dikobarkan Amerika di Irak praktis menjadi perang gesekan selama beberapa tahun, yang memakan korban ribuan jiwa dan melukai puluhan ribu orang.

Selain korban jiwa akibat perang Irak, perang ini juga menimbulkan kerugian finansial yang besar, sebagaimana diungkapkan oleh berbagai laporan yang diterbitkan think tank Amerika, termasuk Universitas Kennedy Harvard dalam laporannya tahun 2013.

Menurut laporan itu, perang di Irak dan Afghanistan adalah perang termahal dalam sejarah AS dan umumnya menelan biaya antara 4-6 triliun dolar, yang setara dengan 75 ribu dolar untuk setiap keluarga Amerika.

Biaya tersebut meliputi pelayanan medis jangka panjang dan santunan cacat fisik prajurit, optimalisasi peralatan militer serta biaya sosial dan ekonomi. Sebagian besar biaya jangka panjang lainnya dari perang ini terkait dengan penyelesaian utang triliunan dolar.

Selain biaya selangit ini, dana itu juga dihabiskan untuk mengganti peralatan militer yang digunakan dalam perang ini. Akhirnya, kondisi keuangan pemerintah federal AS berantakan, terutama dalam hal defisit anggaran dan utang. Sebagian besarnya, disebabkan oleh tindakan perang dari pemerintahan Bush dan Obama di Irak dan Afghanistan.

Poin pentingnya adalah bahwa tragedi dan musibah ini bagi rakyat Irak pada dasarnya didasarkan pada kebohongan besar, yaitu adanya senjata pemusnah massal di Irak.  Sementara laporan PBB mengindikasikan penghancuran senjata-senjata tersebut.

Menurut laporan Institut Internasional untuk Studi Strategis pada tahun 2002, sebagian besar senjata kimia dan biologi Irak dihancurkan sebelum invasi AS ke Irak pada Maret 2003, yang didaftarkan oleh inspektur senjata PBB Hans Blix. Setelah pendudukan Irak, inspeksi ekstensif oleh PBB tidak mengarah pada penemuan senjata pemusnah massal di negara yang dilanda perang ini.

Robert Draper dalam buku "Awal Perang: Bagaimana Pemerintahan Bush Melibatkan Amerika Serikat di Irak?" menulis, Irak tidak memiliki program nuklir atau gas beracun dan roket yang penuh dengan virus mematikan. Tim PBB menyelidiki selama beberapa bulan tetapi tidak menemukan senjata ilegal. (RA)