Mengapa Negara-Negara Industri Dukung Berlanjutnya Perang di Ukraina ?
Negara-negara industri maju yang tergabung dalam kelompok Tujuh (G7) menekankan kelanjutan perang di Ukraina dan tekanan sanksi terhadap Rusia.
Para menteri luar negeri G7 hari Senin, (17/4/2023) mengeluarkan pernyataan bersama yang menekankan kelanjutan dukungan finansial dan pengiriman senjata ke Ukraina, serta kelanjutan sanksi terhadap Rusia.
Para menteri luar negeri dari Amerika Serikat, Jepang, Inggris, Kanada, Prancis, Jerman, dan Italia dalam pertemuan tiga hari yang berlangsung di wilayah Karuizawa di Jepang menempatkan masalah perang Ukraina sebagai salah satu agenda utamanya.
Setelah pembicaraan putaran pertama, para peserta mengeluarkan pernyataan mengenai perang di Ukraina melawan Rusia yang sejalan dengan kebijakan Amerika Serikat. Negara-negara anggota Kelompok Tujuh dalam pernyataan mereka menekankan bahwa para peserta pertemuan Jepang telah sepakat untuk memperkuat kerja sama mengatasi penghindaran sanksi dan memerangi penjualan senjata ke Rusia oleh pihak ketiga.
Pernyataan bersama tujuh negara industri maju pada pertemuan di Jepang menunjukkan kebijakan perang Barat di Ukraina. Pada saat yang sama, pemerintah Ukraina yang dihasut oleh AS dan sekutunya, menempatkan perang yang tidak seimbang melawan etnis Rusia yang tinggal di dua provinsi Ukraina dalam agendanya.
Serangan militer Ukraina di provinsi Donetsk dan Luhansk yang dianggap sebagai salah satu provinsi terpadat di Ukraina dan sebagian besar berisi warga etnis Rusia di Ukraina menjadi salah satu serangan militer sepihak terburuk terhadap warga sipil.
Setelah dimulainya konflik di Ukraina, Iran dan Cina menyatakan bahwa tindakan provokatif Barat, termasuk perluasan NATO ke perbatasan Rusia, sebagai alasan utama dimulainya perang di Ukraina.
Sejak runtuhnya Uni Soviet, negara-negara Barat dengan dukungan politisi bonekanya di Ukraina menghancurkan semua infrastruktur negara ini, Faktanya, Ukraina sedang berubah dari negara industri menjadi ekonomi pertanian murni.
Pemerintah Barat, yang membantu menghancurkan negara ini dengan bantuan presiden Ukraina, tidak memiliki kemungkinan untuk membangun kembali dan merekonstruksi Ukraina. Sedangkan negara-negara kawasan, khususnya Rusia, memiliki kemungkinan untuk membangun kembali dan memperbaiki situasi ekonomi Ukraina.
Dalam konteks ini, laporan terdokumentasi dari para ahli Barat memberikan data menarik. Sebagai contoh, para ahli dari Kamar Dagang dan Industri Jerman dalam sebuah laporan tahun lalu mengungkapkan, "Ukraina, yang bergantung pada impor gas Rusia yang murah sebelum perang, sekarang berjuang dengan banyak kesulitan. Pada saat yang sama, Amerika menggunakan sumber daya energinya dan Prancis memiliki akses yang cukup ke tenaga nuklir".
Dengan tinjauan singkat atas fakta-fakta ini, tidak diragukan lagi bahwa penerapan kebijakan agresif oleh para pejabat Gedung Putih, selain melemahkan Rusia, juga menyebabkan tekanan Barat terhadap Uni Eropa, bahkan Jepang. Negara-negara Eropa dan Jepang sangat membutuhkan impor energi fosil. Sementara Amerika memiliki sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya.
Mempertimbangkan adopsi kebijakan Amerika dengan dalih ekspansi NATO, tampaknya para politisi Gedung Putih telah mendengar alarm kehancuran negara adidaya Barat tersebut. Oleh karena itu, mereka berusaha mencapai tujuan egoisnya di kawasan strategis dunia ini dengan menjegal Rusia dan Cina.(PH)