Pemanasan Global dan Perang Ukraina; Dua Faktor Kerawanan Pangan Global
(last modified Wed, 26 Jul 2023 10:22:49 GMT )
Jul 26, 2023 17:22 Asia/Jakarta
  • Pemanasan global
    Pemanasan global

Rola Dashti, Sekretaris Eksekutif Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia Barat (ESCWA) dalam sidang pangan PBB di kota Roma mengatakan, jutaan orang di kawasan menghadapi beragam krisis konflik, perubahan iklim dan ekonomi yang disertai dengan kerawanan pangan.

Menurut pejabat PBB ini, di Yaman terdapat 17 juta orang menderita kerawanan pangan akut karena konflik bersenjata yang bekepanjangan dan kendala ekonomi.

Sementara di Sudan, dengan latar belakang kekerasan dan inflasi yang tinggi, dampak buruk banjir telah membuat 19 juta orang berjuang menghadapi kerawanan pangan.

Dari statemen pejabat PBB ini dipahami bahwa kerawanan pangan disebabkan oleh dua fenomena penting, perubahan iklim dan perang yang saling mempengaruhi.

Kerawanan pangan adalah akses terbatas dan tidak jelas terhadap makanan yang cukup dan sehat. Menurut definisi Bank Dunia, keamanan pangan akan terealisasi ketika seluruh masyarakat di semua waktu memiliki akses cukup ke makanan untuk hidup yang sehat. Hal ini memiliki tiga pilar, keberadaan makanan, akses ke makanan dan mendapat makanan secara berkesinambungan.

Oleh karena itu, dalam bidang ketahanan pangan, kuantitas dan kualitas pangan sesuai sumber daya produksi, keberadaan sistem dan jaringan suplai dan distribusi dari aspek akses, serta perhatian serius terhadap dimensi ekonomi, lingkungan dan masyarakat secara berkelanjutan dianggap poros kunci.

Salah satu faktor berpengaruh bagi peningkatan kerawanan pangan di dunia adalah pemanasan global dan dampak dari perubahan iklim.

Perubahan iklim adalah penyebab paling penting dari perubahan pola cuaca di seluruh dunia, dan menurut banyak ilmuwan, ini adalah krisis terbesar yang dihadapi umat manusia sepanjang sejarah.

Perubahan iklim di dunia dimulai sejak industrialisasi negara-negara besar di dunia. Dari periode yang sama hingga sekarang, banyak habitat alam yang mengalami beberapa perubahan.

Masyarakat rentan, yang sebagian besar bergantung pada pertanian, perikanan, dan peternakan, namun memiliki dampak paling kecil terhadap perubahan iklim, adalah yang paling terpengaruh oleh dampak perubahan iklim yang merusak.

Setiap akibat dari perubahan iklim seperti kekeringan dan gelombang panas serta peningkatan suhu rata-rata mempengaruhi berkurangnya sumber pertumbuhan gabah dan lamanya musim tanam tanaman.

Perubahan iklim sebagai salah satu risiko serius mengancam pembangunan berkelanjutan dalam berbagai dimensi lingkungan, kesehatan manusia, ketahanan pangan, dan kegiatan ekonomi.

Dengan menghangatnya udara dan perubahan pola curah hujan, ada kemungkinan pasokan pangan dunia akan berkurang 10 persen pada tahun 2030 dan lebih dari 20 persen pada tahun 2050.

Perubahan iklim memiliki efek yang berbeda di berbagai wilayah di dunia. Beberapa tempat menjadi lebih hangat dan mengalami lebih banyak curah hujan, sementara yang lain mengalami kekeringan.

Efek perubahan iklim terhadap pasokan pangan global menjadi perhatian umum seluruh dunia, karena kekurangan pangan dan kenaikan harganya akan menyebabkan krisis kemanusiaan dan kekhawatiran akan keamanan nasional negara-negara. Isu terkait perubahan iklim dan ketahanan pangan memiliki banyak segi dan melampaui batas negara.

Secara umum, hubungan antara pasokan pangan dan perubahan iklim bergantung pada waktu dan jenis serta ketahanan masing-masing daerah dalam menghadapi dampaknya. Semakin cepat perubahannya, semakin besar kerusakan ketahanan pangan.

Mempertimbangkan efek merusak dari pemanasan global, diharapkan upaya global untuk mengatasi peningkatan gas rumah kaca akan berlanjut dengan lebih serius dan komitmen yang diterima di Konferensi Paris untuk menangani pemanasan global akan berlanjut dengan lebih cepat.

Namun sayangnya, dalam beberapa tahun terakhir, penerapan kebijakan militeristik di dunia yang dipimpin oleh pemerintah Barat, termasuk Amerika Serikat, yang disertai dengan peningkatan anggaran militer negara-negara tersebut, menyebabkan upaya terkait gas rumah kaca menjadi terhambat dikesampingkan, dan dengan dimulainya perang Ukraina, penggunaan energi fosil, termasuk batu bara, di negara-negara Barat akan menjadi agenda lagi.

Selain meningkatkan anggaran militer di dunia dan di antara kekuatan yang terlibat, perang di Ukraina juga memiliki dampak destruktif yang luas terhadap lingkungan.

Asap beracun, sungai tercemar, tanah beracun, pohon yang berubah menjadi batang arang, cagar alam yang dipenuhi lubang abu dan reruntuhan; Ini semua adalah kerugian lingkungan yang disebabkan oleh perang Rusia dengan Ukraina. (MF)