AS Mengaku Siap Memulai Perundingan Penarikan Tentaranya dari Irak
Giliran Drone Muqawama Irak Serang Pelabuhan Ashdod, Israel Seorang pejabat AS yang menolak disebutkan identitasnya menyatakan bahwa Washington dalam sebuah surat yang diserahkan oleh Dubesnya di Baghdad, Alina L. Romanowski kepada Menlu Irak, Fuad Husein, menyatakan kesiapannya untuk memulai perundingan guna mengakhiri kehadiran militer AS dan sekutunya di Irak.
Sementara ketika protes di Irak terhadap kehadiran 2.500 tentara Amerika yang ditempatkan di negara itu semakin meningkat, Menteri Luar Negeri Irak mengumumkan bahwa surat dari duta besar Amerika di Baghdad akan ditinjau oleh Perdana Menteri Mohammad Shia al-Sudani dan pejabat terkait. Seorang pejabat Amerika yang enggan disebutkan namanya juga menyatakan bahwa persoalan ini bukanlah persoalan baru dan sudah ada pembicaraan mengenai hal tersebut antara pejabat kedua negara Irak dan Amerika Serikat. Ia mengatakan, pembicaraan ini telah dimulai sejak beberapa bulan lalu. Lebih lanjut ia menambahkan, Amerika Serikat selama perundingan juga akan membela hak penuhnya untuk membela diri.
Hal yang paradoksnya adalah bahwa Washington mengumumkan beberapa hari yang lalu, pada tanggal 16 Januari, di tengah serangan terhadap pangkalan Amerika di Irak dan Suriah, bahwa mereka bermaksud mengirim 1.500 tentara baru dari Garda Nasional New Jersey ke Irak dan Suriah dengan alasan apa yang disebutnya sebagai perang melawan kelompok teroris Daesh (ISIS).
Pihak berwenang Irak telah berulang kali menuntut penarikan pasukan Amerika dari negara tersebut. Diantaranya, Mohammad Shia Al-Sudani, Perdana Menteri Irak, pada awal Januari 2024 kembali menuntut penarikan segera pasukan Amerika dari Irak.
Setelah pembunuhan brutal terhadap Syahid Soleimani, komandan Pasukan Quds Korps Pengawal Revolusi Islam Iran (IRGC), dan Abu Mahdi al-Muhandis, wakil Pasukan Hashd al-Shaabi, dan rekan-rekan mereka di bandara Baghdad pada 3 Januari 2020, parlemen Irak melakukan pemungutan suara pada tanggal 5 Januari untuk menarik pasukan koalisi anti-ISIS, termasuk pasukan Amerika, dari Irak. Namun, Amerika Serikat, dalam posisi ilegal, bersikeras untuk tetap mempertahankan kehadiran militernya di Irak. Terakhir, karena tekanan politik di dalam negeri Irak, Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, dan Perdana Menteri Irak saat itu, Mustafa Al-Kadhimi, dalam perjanjian yang dicapai pada pertengahan musim panas 2021, berkomitmen bahwa misi tempur pasukan pimpinan AS di Irak akan berakhir sebelum akhir tahun 2021.
Pada tahun terakhir masa kepresidenan Donald Trump pada tahun 2020, Amerika Serikat mengurangi jumlah tentara yang ditempatkan di Irak menjadi 2.500. Misi pasukan Amerika di Irak rupanya telah berakhir pada 31 Desember 2021. Namun, Amerika tetap memiliki kehadiran militer di negara ini dengan nama lain dan memiliki beberapa pangkalan militer seperti pangkalan Ain al-Asad di provinsi Anbar dan pangkalan Harir di provinsi Erbil.
Meskipun ada persetujuan dari Parlemen Irak, yang menuntut penarikan pasukan Amerika dari negaranya, Washington masih mempertahankan kehadiran militer di Irak dengan dalih tindakan penasehatan dan pelatihan. Masalah ini mendapat reaksi tajam dari masyarakat Irak dan respons keras mereka, serta terjadi serangan pesawat tak berawak dan rudal terhadap pangkalan Amerika di Irak dan Suriah yang semakin intensif, khususnya sejak serangan udara dan darat Israel ke Gaza menyusul operasi Badai al-Aqsa pada 7 Oktober.
Alasan terjadinya serangan-serangan tersebut, yang telah dilakukan berkali-kali terhadap pangkalan-pangkalan Amerika di Irak dan Suriah dalam bentuk serangan roket, rudal dan drone, adalah peran Amerika Serikat yang secara terbuka mendukung Tel Aviv secara politik dan dengan senjata serta penggunaan amunisi yang dikirim Washington untuk membunuh rakyat tertindas di Gaza. Muqawama Irak, sejalan dengan keinginan rakyat Irak, ingin mengakhiri kehadiran militer Amerika di negara ini secepatnya.
Tentu saja, Washington telah melakukan beberapa serangan terhadap kelompok perlawanan Irak sebagai tanggapan atas tindakan tersebut. Setelah serangan terbaru oleh pesawat Amerika di dua markas Hashd al-Shaabi, yang menyebabkan dua anggotanya syahid, pemerintah Irak, dalam sebuah pernyataan seraya mengutuk serangan ini, mengumumkan akan menuntut Washington sebagai bentuk dukungan atas kedaulatan Irak di tingkat internasional. Penasihat Keamanan Nasional Irak Qasim al-Araji seraya mengutuk serangan tentara AS terhadap markas besar Hashd al-Shaabi menilai hal tersebut sebagai pelanggaran nyata terhadap kedaulatan negaranya.
Persoalan pentingnya adalah bahwa klaim Amerika mengenai niatnya untuk menarik diri dari Irak ditanggapi dengan keraguan oleh kelompok perlawanan Irak. Dalam hal ini, bersamaan dengan pembicaraan antara Amerika Serikat dan Irak untuk mengakhiri kehadiran militer di negara tersebut, Kataib Hizbullah Irak, seraya menyabut klaim Washington menipu, mengumumkan kelanjutan serangan terhadap penjajah hingga penarikan total mereka dari Irak. Dalam pesannya kepada penjajah Amerika, Hizbullah Irak memperingatkan bahwa "serangan terhadap penjajah Amerika akan terus berlanjut sampai militer negara ini ditarik sepenuhnya dari Irak." (MF)