Mengapa Upaya AS Gagal Menekan Rusia Melalui Cina dan India?
https://parstoday.ir/id/news/world-i175242
Pars Today - Kebijakan Donald Trump untuk menerapkan sanksi sekunder dan upayanya menggunakan Cina dan India sebagai alat untuk menekan Rusia telah gagal.
(last modified 2025-08-04T08:09:58+00:00 )
Aug 04, 2025 16:00 Asia/Jakarta
  • Kepala negara Rusia, India dan Cina
    Kepala negara Rusia, India dan Cina

Pars Today - Kebijakan Donald Trump untuk menerapkan sanksi sekunder dan upayanya menggunakan Cina dan India sebagai alat untuk menekan Rusia telah gagal.

Menurut laporan Pars Today, Leonid Slutsky, Ketua Komite Urusan Internasional Duma Rusia menulis di kanal Telegramnya, Upaya Euro-Atlantik untuk menjadikan Beijing dan New Delhi sebagai 'alat tekanan' terhadap Moskow melalui penerapan sanksi dan tarif sekunder pasti akan gagal. Kini, mustahil bagi mayoritas global untuk mengikuti aturan minoritas Barat. Ini akan menjadi kontradiksi yang nyata.

Pejabat parlemen Rusia ini mengingatkan bahwa India dan Cina telah secara tegas menolak tekanan AS.

Merujuk pada fakta bahwa era dunia unipolar dan pengaruh Barat yang meluas telah berakhir, Slutsky menambahkan, Baik Cina maupun India tidak bersedia membayar 'upeti' kepada para pengklaim hegemoni global dan mengorbankan kemerdekaan serta kedaulatan mereka demi 'keistimewaan Amerika'.

Menteri Luar Negeri India Subrahmanyam Jaishankar menekankan bahwa hubungan dengan Rusia memiliki nilai independennya sendiri dan tidak boleh dinilai dari perspektif negara ketiga. Beijing juga secara konsisten menentang campur tangan asing dalam hubungan ekonominya dengan Moskow dan menekankan perlunya mengembangkan hubungan dengan Rusia.

Presiden AS Donald Trump baru-baru ini mengumumkan tarif 25 persen untuk India, dengan klaim bahwa New Delhi akan dikenai sanksi atas hubungan damainya dengan Rusia dan impor produk energinya.

Trump menulis, Mereka selalu membeli sebagian besar peralatan militer mereka dari Rusia dan, bersama dengan Cina, merupakan pembeli energi Rusia terbesar.

Meskipun Donald Trump mengancam akan mengenakan tarif dan sanksi sekunder, para pejabat pemerintah India telah menekankan bahwa negaranya akan terus membeli minyak dari Rusia.

"Kami mengambil keputusan semata-mata berdasarkan harga minyak di pasar internasional dan bergantung pada kondisi global saat itu," ujar Juru Bicara Kementerian Luar Negeri India, Randhir Jaiswal, pada hari Sabtu, ketika ditanya apakah kilang-kilang minyak India telah berhenti membeli minyak Rusia.

Rusia memasok lebih dari sepertiga minyak impor India, menjadikannya importir produk energi Rusia terbesar kedua setelah Cina.

Terkait hal ini, New York Times melaporkan dengan mengutip sumber terpercaya bahwa meskipun ada ancaman sanksi dari Donald Trump, para pejabat India akan tetap membeli minyak dari Rusia.

Berdasarkan informasi ini, dua pejabat senior pemerintah India mengumumkan bahwa kebijakan negara terhadap Rusia tidak berubah. Salah satu dari mereka menekankan bahwa pemerintah belum memberikan instruksi apa pun kepada perusahaan minyak untuk mengurangi impor minyak dari Rusia.

Media lokal melaporkan bahwa kilang-kilang minyak India beroperasi dengan kapasitas maksimum dan perusahaan-perusahaan minyak besar India sedang bernegosiasi untuk membeli minyak Rusia dalam jumlah besar pada bulan September. Namun, dalam beberapa hari terakhir, kilang-kilang minyak India telah membeli dua kargo minyak Rusia dengan diskon yang lebih tinggi dari biasanya, sehingga kapasitas kilang-kilang minyak India saat ini telah terisi penuh.

Menurut para ahli, Rusia telah menjadi pemasok minyak terbesar India dan pembatalan kontrak secara tiba-tiba praktis tidak mungkin terjadi.

New York Times mencatat bahwa ancaman Trump mungkin merupakan bagian dari taktik negosiasi di tengah upaya India dan Amerika Serikat untuk mencapai kesepakatan perdagangan bilateral. Trump mengumumkan pada hari Jumat bahwa ia bermaksud memaksa India untuk berhenti membeli minyak dari Rusia. Menurutnya, India akan berhenti mengimpor minyak Rusia agar dapat mencapai kesepakatan dagang dengan Amerika Serikat.

Selain itu, di tengah ketegangan perdagangan antara Washington dan New Delhi yang disebabkan oleh tarif dan tekanan untuk tidak membeli minyak Rusia, Stephen Miller, Wakil KepalaSstaf Gedung Putih dan salah satu ajudan Donald Trump yang paling berpengaruh, menuduh India pada hari Minggu secara efektif membiayai perang Rusia di Ukraina dengan membeli minyak dari Moskow, setelah Washington meningkatkan tekanan pada New Delhi untuk berhenti membeli minyak Rusia.

"Yang Trump tegaskan adalah bahwa tidak dapat diterima bagi India untuk terus membiayai perang ini dengan membeli minyak dari Rusia," katanya.

"Orang-orang akan terkejut mendengar bahwa India pada dasarnya setara dengan Cina dalam hal membeli minyak Rusia," ujar Miller. "Ini fakta yang mengejutkan."

Pernyataan Miller merupakan salah satu kritik terkeras pemerintahan Trump terhadap salah satu mitra utama Amerika di kawasan Indo-Pasifik.

Hal ini terjadi setelah Cina menolak seruan Washington untuk mengurangi atau menghentikan pembelian minyak Rusia selama perundingan dagang dengan Amerika Serikat. Para pejabat Cina telah menanggapi peringatan AS tentang kelanjutan pembelian minyak Rusia dan Iran yang dikenai sanksi, dengan mengatakan bahwa pembelian minyak itu didasarkan pada kebijakan domestik Beijing.

Menteri Keuangan AS Scott Bessent mengatakan di akhir perundingan perdagangan dua hari antara Washington dan Beijing di Stockholm bahwa ia telah memperingatkan para pejabat Cina tentang konsekuensi pembelian minyak Rusia dan Iran yang dikenai sanksi, dan bahwa Beijing telah merespons dengan tepat.

Bessent mengatakan dirinya telah menyampaikan ketidaksenangan Amerika kepada Beijing, dengan menyebutkan pembelian minyak Iran yang terus berlanjut dan penjualan teknologi dwiguna senilai lebih dari $15 miliar ke Rusia yang telah memperkuat mesin perang Moskow melawan Kiev.

Menteri Keuangan AS mengklaim bahwa sebuah RUU di Kongres akan memungkinkan Presiden Donald Trump untuk mengenakan tarif hingga 500 persen kepada negara-negara yang membeli minyak Rusia yang disanksi, sebuah RUU yang akan mendorong sekutu AS untuk mengambil tindakan serupa yang bertujuan untuk memotong pendapatan energi Rusia.

Pada hari Senin, 28 Juli, Trump memangkas batas waktu 50 hari Rusia untuk mencapai kesepakatan dengan Ukraina guna menyelesaikan perang, dan pada 29 Juli, ia mengatakan bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin hanya memiliki waktu 10 hari untuk mengakhiri konflik atau menghadapi tarif sekunder sebesar 100 persen terhadap pelanggan minyaknya.

"Saya pikir mereka yang membeli minyak Rusia yang dikenai sanksi harus mempersiapkan diri untuk tarif ini," kata Bessent.

Menurutnya, para pejabat Cina sebelumnya telah menekankan bahwa Beijing adalah negara independen dengan kebutuhan energi dan pembelian minyak akan didasarkan pada kebijakan domestiknya. Cina tetap menjadi pembeli minyak Rusia terbesar, dengan pembelian sekitar 2 juta barel per hari, diikuti oleh India dan Turki.

Moskow berupaya mengatasi sanksi Barat terhadap Rusia dengan memperkuat hubungannya dengan negara-negara sahabat, terutama Cina dan India. Mengingat sanksi Barat yang komprehensif yang mencakup hampir semua aspek ekonomi, perdagangan, keuangan, dan perbankan, Rusia telah meluncurkan upaya besar untuk memperluas hubungan dengan negara-negara Asia, terutama Cina dan India, yang keduanya dianggap sebagai negara dengan ekonomi yang sedang berkembang pesat di dunia. Sanksi Barat yang baru dan terkoordinasi terhadap Rusia bertujuan untuk menghancurkan Rusia dan ekonominya sepenuhnya.

Beijing dan New Delhi, tidak seperti blok Barat, abstain dari resolusi tentang perang di Ukraina di Dewan Keamanan dan Majelis Umum PBB, dengan demikian menunjukkan kesediaan mereka untuk mengambil sikap moderat dalam masalah ini.

Saat ini, terlepas dari tekanan Barat, India dan Cina ingin melanjutkan hubungan ekonomi, perdagangan, energi, serta militer dan persenjataan mereka dengan Rusia. Dalam hal ini, meskipun pejabat Barat berulang kali meminta Beijing dan New Delhi untuk meyakinkan kedua negara itu agar bergabung dalam kampanye sanksi Barat terhadap Rusia, tanggapan kedua negara terhadap permintaan ini negatif. Bahkan, kini, bertentangan dengan keinginan Barat, Cina dan India telah memperluas hubungan mereka dengan Rusia, terutama di sektor energi.

Akibat tekanan AS untuk memberlakukan pembatasan yang semakin ketat terhadap transaksi dengan Rusia, Cina dan India telah lama mencari metode lain untuk interaksi ekonomi dan perdagangan, bahkan kerja sama bilateral, termasuk penggunaan mata uang nasional, yaitu yuan, rupee, dan rubel.(sl)