Apakah Trump akan Membawa AS Menuju Kediktatoran?
-
Presiden AS Donald Trump
Pars Today - Dalam beberapa bulan terakhir, kekhawatiran tentang perilaku diktator Presiden AS Donald Trump, terutama di masa jabatan keduanya, telah meningkat tajam.
Kekhawatiran yang semakin meningkat tentang perilaku diktator Presiden AS Donald Trump tidak hanya tercermin di kalangan politisi Demokrat, tetapi juga di kalangan banyak politisi Republik moderat, pakar politik, dan aktivis hak asasi manusia, dan telah memicu perdebatan luas tentang kesehatan demokrasi Amerika.
Menurut laporan Pars Today, kekhawatiran ini berakar pada perilaku dan tindakan Trump, yang menurut banyak orang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dasar demokrasi ala Amerika dan independensi lembaga pemerintah, serta dapat menyebabkan melemahnya fondasi demokrasi di Amerika Serikat.
Salah satu contoh terpenting dari kekhawatiran ini adalah reaksi Trump terhadap hasil pemilihan umum presiden 2020 dan penolakannya yang terus-menerus dan terbuka terhadap keasliannya. Meskipun semua lembaga resmi, termasuk pengadilan dan Departemen Kehakiman, telah mengonfirmasi keabsahan pemilu, dan bahkan Mahkamah Agung AS tidak menemukan bukti kecurangan yang diajukan Trump, ia tetap merilis pesan dan pernyataan yang tidak berdasar, mengklaim bahwa pemilu telah diubah melalui kecurangan yang meluas demi kemenangan rival Demokratnya, Joe Biden.
Pendekatan ini menyebabkan suasana politik Amerika menjadi sangat tegang, dan akhirnya, pada 6 Januari 2021, sekelompok pendukungnya menyerang Gedung Capitol, yang dianggap sebagai salah satu halaman tergelap dalam sejarah politik Amerika setelah Perang Sipil.
Perhatian lain yang mengkhawatirkan adalah perlakuan bermusuhan Trump terhadap media. Trump telah memberikan tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya kepada media-media kritis dan berulang kali menyebut mereka "musuh rakyat" dan penyebar "berita palsu".
Bahasa kasar dan belum pernah terjadi sebelumnya ini, yang jarang terlihat dari presiden-presiden sebelumnya, tidak hanya melemahkan kredibilitas media independen di Amerika, tetapi juga menciptakan suasana ketakutan dan sensor diri di kalangan jurnalis.
Trump telah berulang kali menyerang jurnalis dan media kritis di kampanye politiknya, serta melancarkan serangan verbal yang sengit di media sosial, menuduh mereka menyebarkan informasi palsu dan berlebihan. Kontroversi seputar kebebasan media, kebebasan berbicara, dan peran media sosial dipandang sebagai bagian dari krisis yang lebih mendalam dalam demokrasi ala Amerika.
Salah satu aspek paling mengkhawatirkan dari perilaku diktator Trump adalah campur tangan langsung dan tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap lembaga peradilan, terutama Departemen Kehakiman AS.
Contoh nyata dari tekanan ini adalah langkah Trump untuk menghasut Departemen Kehakiman agar mengajukan tuntutan hukum terhadap lawan-lawan politiknya. Khususnya, beberapa hari yang lalu, Trump, dalam sebuah unggahan di platform Truth Social, mengecam keras penundaan penuntutan Senator Demokrat California, Adam Schiff, dan Jaksa Agung New York, Letitia James, yang keduanya merupakan kritikus kerasnya.
Intervensi publik semacam ini terhadap kinerja lembaga peradilan, yang seharusnya bertindak independen, telah menimbulkan kekhawatiran serius tentang melemahnya prinsip pemisahan kekuasaan dan independensi hakim di Amerika Serikat.
Trump juga, dalam sebuah langkah kontroversial, memecat Eric Siebert, Jaksa Agung untuk Distrik Timur Virginia, yang terlibat dalam kasus investigasi terkait dua lawan politik presiden dari Partai Republik. Penggantian Siebert dengan penasihat Gedung Putih Lindsey Halligan, yang dikenal sebagai loyalis Trump, banyak diberitakan dan ditafsirkan sebagai contoh tekanan politik terhadap Departemen Kehakiman.
Dalam unggahannya di Truth Social, Trump juga menyatakan bahwa Jaksa Agung Pam Bondi membutuhkan "jaksa agung yang tangguh" untuk membuat perubahan. Sikap ini menunjukkan upaya berkelanjutan Trump untuk memusatkan kekuasaan di tangannya sendiri dan melemahkan lembaga-lembaga independen.
Tentu saja, reaksi terhadap perilaku ini sangat luas dan beragam. Banyak pemimpin Partai Demokrat, pakar hukum, dan bahkan beberapa anggota Partai Republik moderat telah memperingatkan tentang tren ini dan menganggapnya sebagai ancaman serius bagi kesehatan demokrasi Amerika.
Organisasi hak asasi manusia internasional, media global terkemuka, dan analis politik juga mengecam upaya-upaya untuk melemahkan lembaga-lembaga independen dan menekankan perlunya mempertahankan pemisahan kekuasaan dan menghormati kebebasan sipil di Amerika Serikat.
Di Amerika Serikat, setelah peristiwa 6 Januari dan tekanan Trump terhadap lembaga peradilan dan media, beberapa tokoh Republik terkemuka menjauhkan diri darinya dan menyerukan penghormatan terhadap prinsip-prinsip demokrasi. Sebaliknya, beberapa pendukung setia Trump terus mendukungnya dan memandang tindakannya sebagai perlawanan terhadap "Deep State" dan konspirasi politik.
Secara keseluruhan, perilaku diktator Donald Trump selama masa jabatan keduanya, terutama dalam berurusan dengan media dan tekanan ilegal serta tidak lazim terhadap lembaga peradilan, telah menyebabkan banyak orang memiliki kekhawatiran serius tentang masa depan demokrasi Amerika.(sl)