No Kings: Ketika Amerika Menjadi Kereta Tanpa Rem
“Republik yang melupakan kebiasaannya memerintah diri sendiri, pada akhirnya akan mencari seorang raja untuk memerintahnya.” — Alexis de Tocqueville
Oleh: Purkon Hidayat
Pada hari Sabtu, jutaan orang di Amerika turun ke jalan dengan satu teriakan yang sama: “No Kings!” Di tangan mereka, poster-poster bergetar seperti roda besi di atas rel sejarah yang panjang. Dari New York hingga San Francisco, dari Texas sampai Chicago, gelombang manusia itu tampak seperti kereta besar yang melaju tanpa rem. Mereka penuh amarah, penuh kebingungan, dan penuh kenangan tentang demokrasi yang dulu dibanggakan.
Protes itu bukan sekadar penolakan terhadap Donald Trump. Tapi lebih dalam menjadi teriakan batin bangsa yang takut kehilangan jiwanya sendiri. Bangsa yang pernah berjanji menjadi rumah bagi kebebasan, tapi kini justru dicekam oleh bayangan pemujaan terhadap kekuasaan. Di bawah bendera “No Kings,” rakyat Amerika seolah sedang mencoba menghentikan laju sebuah mesin raksasa yang mereka sendiri bangun. Sebuah mesin yang dulunya menggerakkan demokrasi, tapi kini menggilas nilai-nilai yang menopangnya.
Tak ada yang menyangkal, Amerika masih kuat. Ekonominya berdenyut di jantung dunia, teknologinya mengatur ritme peradaban digital, dan militernya menebar bayangan di langit global. Namun, di balik gemuruh itu, ada suara-suara retak: rasa cemas, rasa marah, dan rasa kehilangan arah. Trump hanyalah wajah yang kebetulan duduk di kursi itu; gejalanya jauh lebih dalam yang lahir dari kesepian sosial, dari rasa ditinggalkan oleh elit, dari kerinduan akan kepastian di tengah dunia yang terus berubah.
Amerika, seperti kereta yang tak lagi tahu tujuannya, terus melaju di atas rel yang semakin curam. Kecepatannya mengagumkan, tapi arah perjalanannya mengundang ngeri.
Benar, Amerika belum runtuh. Institusinya masih bekerja, dolar masih menjadi jangkar dunia, dan universitasnya tetap menjadi magnet bagi otak-otak terbaik. Namun, pamor moralnya memudar. Dunia kini melihat Washington bukan sebagai mercusuar, melainkan pemain yang gaduh dan mudah tersinggung. Ia berbicara tentang demokrasi, tapi sering melanggarnya; ia menyerukan kebebasan, tapi mendukung tirani di tempat lain.
Dalam pandangan global, Amerika tampak seperti pemimpin yang kehilangan nada — masih berdiri di podium, tapi suaranya serak, dan pidatonya tak lagi menggugah. Kekuatan itu ada, tapi maknanya hilang.
Trump memang mengguncang dunia, tapi ia juga memantulkan wajah asli Amerika: kontradiktif, emosional, dan kadang penuh ilusi keagungan. Ia membuat banyak orang marah, tapi juga membuat jutaan lainnya merasa hidup kembali. Itulah daya tarik populisme — ia memberi arah, bahkan ketika arah itu salah.
Kini, protes No Kings mengingatkan dunia bahwa masih ada jiwa republik yang menolak tunduk. Bahwa di tengah sorak sorai para pengikut “raja baru,” masih ada suara yang berkata: Hentikan kereta ini sebelum terlambat. Mereka tahu, begitu mesin populisme kehilangan rem moralnya, tidak ada yang bisa menahan laju kehancuran — bukan pengadilan, bukan media, bahkan bukan sejarah.
Amerika kini berdiri di antara dua jurang: yang satu bernama kekuasaan, yang lain bernama kebangkrutan moral. Ia masih memimpin dunia, tapi tidak lagi menginspirasi dunia. Ia masih memegang kemudi global, tapi jalannya semakin zigzag di antara kepentingan dan kebingungan.
Mungkin saat ini bukan senjakala dominasi Amerika, tetapi pasti senjakala pamornya, redupnya pesona moral yang dulu membuat dunia percaya bahwa kekuatan bisa bersanding dengan kebajikan. Kini, yang tersisa adalah gemuruh mesin yang terus berlari: cepat, bising, dan tak tahu ke mana hendak berhenti.
Kereta itu masih berjalan, dan di dalamnya — di antara deru dan dentum besi — terdengar suara-suara rakyat berteriak: “No Kings! No Kings!” Tapi siapa yang mau mendengar ketika suara mesin kekuasaan sudah terlalu keras?
Barangkali benar, Trump bukanlah akhir Amerika. Tapi ia adalah cermin paling jujur tentang apa yang sedang terjadi padanya: negara yang masih berlari di atas rel kekuatannya, tapi semakin dekat ke tepi jurang moralnya.
Demokrasi di Amerika belum mati, tapi sedang kehilangan arah. Dan dunia, dengan napas tertahan, menyaksikan dari kejauhan: kereta besar bernama Amerika melaju kencang menuju senjakalanya sendiri, bukan karena lemah, tapi karena lupa bagaimana cara berhenti.(PH)