Menelisik Pemain Asing dalam Peristiwa di Sudan
https://parstoday.ir/id/news/world-i179370-menelisik_pemain_asing_dalam_peristiwa_di_sudan
Pars Today - Jatuhnya kota Al-Fasher, kejahatan Pasukan Dukungan Cepat, dan peran negara asing telah mengubah situasi di Sudan menjadi krisis yang kompleks dan berlapis-lapis.
(last modified 2025-11-01T13:51:45+00:00 )
Nov 01, 2025 19:48 Asia/Jakarta
  • Suasana di Sudan
    Suasana di Sudan

Pars Today - Jatuhnya kota Al-Fasher, kejahatan Pasukan Dukungan Cepat, dan peran negara asing telah mengubah situasi di Sudan menjadi krisis yang kompleks dan berlapis-lapis.

Menurut laporan Mehr, Sudan, negara yang luas di Tanduk Afrika yang dipisahkan oleh Sungai Nil Biru dan Sungai Nil Putih, telah mengalami krisis kemanusiaan dan politik yang mendalam dalam beberapa tahun terakhir.

Sejak April 2023, konflik antara pasukan tentara Sudan yang dipimpin oleh Abdel Fattah Al-Burhan dan milisi Pasukan Dukungan Cepat (RSF) yang dipimpin oleh Mohamed Hamdan Dagao (Hemedti) telah meningkat menjadi perang saudara skala penuh. Konflik ini telah menewaskan lebih dari 20.000 orang, mengungsi ke 13 juta orang, dan membutuhkan bantuan kemanusiaan bagi 30 juta orang.

Jatuhnya  Al-Fasher, ibu kota negara bagian Darfur Utara, pada 26 Oktober 2025, tidak hanya mengubah keseimbangan militer tetapi juga menimbulkan kekhawatiran akan terulangnya genosida tahun 2000-an.

Krisis Sudan saat ini bukan sekadar konflik internal, melainkan hasil dari kombinasi campur tangan asing, persaingan suku, dan warisan sejarah. Uni Emirat Arab telah dituduh mendukung Pasukan Dukungan Cepat (RSF), dan tekanan internasional terhadap Khartoum semakin memperumit masalah kedaulatan nasional.

Akar Perang dan Penyebarannya ke Darfur

Perang di Sudan dipicu oleh perpecahan internal dan persaingan elit militer. Setelah jatuhnya Omar Al-Bashir pada tahun 2019, Burhan dan Hemedti yang sebelumnya bersekutu berselisih mengenai pembagian kekuasaan dan sumber daya. Pasukan RSF, yang berakar pada milisi Darfur Janjaweed dan memiliki sejarah kekerasan penindasan etnis, pertama kali menyerang Khartoum dan kemudian menyebar ke wilayah barat negara itu.

Darfur, yang menyaksikan genosida pada tahun 2000-an yang menewaskan lebih dari 300.000 orang, sekali lagi menjadi pusat kekerasan. Al-Fasher, sebuah kota berpenduduk sekitar 800.000 orang, dikepung oleh Pasukan Dukungan Cepat selama 18 bulan. Jatuhnya kota tersebut pada Oktober 2025 bukan hanya kekalahan militer, tetapi juga pertanda memburuknya situasi kemanusiaan.

Tercatat adanya serangan malam hari di permukiman, penculikan perempuan dan anak-anak, serta penghancuran rumah-rumah. Banyak penduduk terpaksa mengungsi sejauh 70 kilometer ke kota Tawila, di mana mereka menyaksikan pembunuhan warga sipil dan penguburan massal.

Kejahatan Perang dan Pembersihan Etnis

Jatuhnya Al-Fasher merupakan simbol pelanggaran hak asasi manusia yang meluas. Dalam tiga hari pertama saja, lebih dari 1.500 warga sipil, sebagian besar dari kelompok etnis Masalit, terbunuh dan menjadi sasaran pembersihan etnis. Enam staf medis diculik dan tebusan besar diminta untuk pembebasan mereka, yang sangat merusak sistem kesehatan. Rumah sakit dijadikan sasaran militer dan peralatan medis dijarah.

Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia telah mendokumentasikan eksekusi massal, pemerkosaan sistematis terhadap perempuan, dan tindakan kekerasan suku. Tindakan-tindakan ini telah memperburuk ketegangan etnis dan menciptakan krisis kemanusiaan yang parah. Pemerintah Sudan telah menggambarkan tindakan ini sebagai "teroris" dan mendukung tentara melawan milisi Pasukan Dukungan Cepat.

Peran Dukungan Asing

Peran UEA dalam mendukung Pasukan Dukungan Cepat sangat menonjol. Berbagai laporan menunjukkan bahwa negara ini telah menyediakan peralatan militer, termasuk kendaraan lapis baja dan senjata ringan, kepada milisi-milisi ini. Para analis mengaitkan dukungan ini dengan eksploitasi ekonomi, kendali atas tambang emas di Darfur, dan akses ke pelabuhan Suakin. Dukungan asing ini tidak hanya memperpanjang perang, tetapi juga memicu perdebatan tentang tanggung jawab internasional atas kejahatan perang.

Situasi Kemanusiaan dan Statistik Kritis

Krisis kemanusiaan Sudan meluas. PBB melaporkan bahwa 30 juta orang membutuhkan bantuan kemanusiaan, 25 juta orang mengalami kelaparan akut, dan 13 juta orang telah mengungsi. Banyak dari mereka yang mengungsi telah mencari perlindungan di negara-negara tetangga seperti Chad, Mesir, dan Etiopia.

Di Darfur, lebih dari 250.000 orang hidup dalam pengepungan dan kekurangan akses terhadap makanan, obat-obatan, dan keamanan. Pemutusan jalur bantuan oleh Pasukan Dukungan Cepat telah menyebabkan penggunaan kelaparan sebagai senjata perang. Laporan menunjukkan pembersihan demografi dan pergeseran demografi di Darfur, yang dapat berdampak jangka panjang terhadap stabilitas sosial dan etnis di kawasan tersebut.

Aktor Domestik dalam Krisis

Dua aktor utama dalam konflik ini adalah tentara Sudan dan Pasukan Dukungan Cepat, tetapi terdapat juga lapisan yang lebih kompleks. Tentara Sudan, yang dipimpin oleh Al-Burhan, aktif di wilayah timur dan selatan negara ini dan menekankan pentingnya menjaga martabat nasional.

Pasukan Dukungan Cepat, dengan dukungan asing, menguasai wilayah barat. Kelompok-kelompok Islam dan komite rakyat lokal memainkan peran penting dalam membela warga sipil dan mencatat kejahatan. Koalisi sipil-militer seperti Al-Taqadum dapat menjadi penentu dalam fase pascakonflik, tetapi kohesi dan koordinasi internal mereka masih rapuh. Komite lokal, dengan sumber daya yang terbatas, sangat penting sebagai satu-satunya pasukan perlindungan sipil.

Tanggapan Internasional

Tanggapan global memang tertunda tetapi signifikan. Perserikatan Bangsa-Bangsa, Uni Afrika, dan Uni Eropa telah mengutuk kekerasan tersebut. AS telah menjatuhkan sanksi kepada para komandan Pasukan Dukungan Cepat dan Sekretaris Jenderal PBB telah menyerukan penghentian pengiriman senjata. Negara-negara berpengaruh di kawasan tersebut telah mencoba menengahi antara tentara dan Pasukan Dukungan Cepat. Di tingkat akar rumput, kampanye dan demonstrasi internasional telah meningkatkan tekanan terhadap negara-negara pendukung milisi dan komunitas internasional. Namun, pemberian bantuan masih hanya memenuhi sebagian kecil dari kebutuhan nyata dan situasi kemanusiaan masih kritis.

Prospek Perdamaian

Perdamaian di Sudan mungkin tercapai, tetapi rapuh. Ada tiga jalur utama:

1. Militer-keamanan: termasuk gencatan senjata, integrasi Pasukan Dukungan Cepat ke dalam militer dan pemerintahan transisi.

2. Politik-sipil: termasuk dialog nasional, pembentukan pemerintahan transisi, dan penyelenggaraan pemilu.

3. Manusia-sosial: termasuk rekonsiliasi nasional, rekonstruksi, dan penegakan keadilan sosial.

Syarat keberhasilan jalur-jalur ini meliputi pengakuan bersama, netralisasi campur tangan eksternal, partisipasi kekuatan non-politik, dan penegakan keadilan untuk mencegah pembalasan. Pemerintah Sudan dapat memperoleh kembali legitimasinya dengan memperkuat struktur internal dan membentuk parlemen transisi, tetapi tantangannya tetap besar: perpecahan di militer, ekses Pasukan Dukungan Cepat, dan tekanan eksternal menimbulkan ancaman serius bagi stabilitas.

Kesimpulan

Jatuhnya Fasher, kejahatan Pasukan Dukungan Cepat, dan peran negara asing telah mengubah situasi di Sudan menjadi krisis yang kompleks dan berlapis-lapis. Namun, perlawanan rakyat, dukungan bagi militer, dan upaya internasional untuk membangun perdamaian dapat membuka jalan bagi rekonstruksi dan stabilitas.

Masa depan Sudan hanya mungkin terwujud melalui rekonsiliasi nasional, keadilan, dan intervensi asing yang terbatas.

Di balik layar, UEA telah menjadi pemasok utama pasukan tanggap cepat bagi milisi, yang memicu konflik dengan menyelundupkan emas dan mengirimkan senjata canggih.

Amerika Serikat, terlepas dari klaim netralitasnya, secara tidak langsung menyediakan logistik bagi pasukan ini melalui perusahaan keamanan swasta dan pangkalan militer di Tanduk Afrika, sementara Uni Eropa telah memainkan peran tidak langsung dengan tetap diam dan terus berdagang emas. Upaya diplomatik untuk gencatan senjata dan bantuan kemanusiaan, termasuk pembentukan Kuartet, sejauh ini masih terbatas.(sl)