Apakah Terpilihnya Mamdani Menandakan Kekecewaan Rakyat Amerika terhadap Sistem Kapitalisme?
Harian The Washington Post dalam analisis terbarunya berusaha menyerang Zohran Mamdani dengan menuduhnya sebagai sosialis, namun di balik tulisannya, tampak jelas bahwa baik sosialisme maupun kapitalisme tidak mampu menjadi penyembuh bagi manusia modern.
Tehran, Parstoday- Editorial The Washington Post berjudul “Zohran Mamdani Menanggalkan Topeng” tampak seperti peringatan terhadap bahaya “sosialisme perkotaan” di New York. Namun, secara implisit, artikel tersebut merupakan pengakuan atas krisis yang berakar di jantung kapitalisme Amerika.Apa yang disebut penulis sebagai “kemarahan kelas”, “seruan keadilan sosial”, dan “ketidakpercayaan terhadap pasar” bukanlah ancaman baru, melainkan hasil langsung dari kegagalan sistem ekonomi yang telah berlangsung selama puluhan tahun.
Pada artikel ini akan meninjau kembali tantangan sosial di Amerika Serikat yang menyebabkan warga New York beralih ke ide-ide sosialis.
1. Krisis Perumahan: Atap yang Runtuh di Atas Kepala Kelas Menengah
The Washington Post dengan nada khawatir mengkritik janji Mamdani untuk “membekukan harga sewa,” dan menulis bahwa “tingginya sewa disebabkan oleh terlalu banyaknya campur tangan pemerintah, bukan karena kekurangannya.”Namun kenyataannya, jutaan penyewa hidup di kota di mana rumah telah berubah menjadi komoditas spekulatif. Perusahaan investasi membeli gedung bukan untuk dihuni, melainkan untuk menaikkan harga.
Dalam kondisi seperti ini, ketika seorang politisi berbicara tentang “hak untuk memiliki tempat tinggal,” wajar jika ia mendapat dukungan jutaan suara. Kapitalisme di kota-kota seperti New York telah menjadikan rumah bukan tempat tinggal, melainkan alat akumulasi modal.
2. Ketimpangan Ekonomi: Dari “American Dream” ke Mimpi Buruk Sehari-hari
Artikel tersebut menuduh Mamdani menciptakan “musuh kelas” dan membagi masyarakat menjadi “penindas” dan “tertindas.”Namun kenyataannya, pembagian ini sudah lama dilakukan oleh sistem ekonomi itu sendiri.Perbedaan pendapatan antara para direktur perusahaan dan pekerja di Amerika kini mencapai lebih dari 300 kali lipat—bahkan The Guardian dalam artikel Juni 2022 menyebut angka itu mencapai 670 kali lipat.Sementara itu, upah riil kelas pekerja nyaris tak meningkat selama beberapa dekade.
Ketika rakyat berbicara tentang ketidakadilan ini, mereka dicap sebagai “populis.” Namun sesungguhnya, itu adalah jeritan dari mereka yang menyadari bahwa “mimpi Amerika” kini hanya milik kaum elite.
3. Pendidikan: Korban dari Politik dan Kepentingan
The Washington Post juga mengkritik rencana Mamdani untuk menghapus program “siswa berbakat,” dengan alasan ia “memihak serikat guru.”Namun masalah sebenarnya bukan siapa yang menang di sekolah, melainkan bahwa “sekolah telah kehilangan fungsinya.”Dalam sistem yang ketimpangan dimulai sejak lingkungan tempat tinggal, anak-anak miskin sudah kalah sejak hari pertama.Ketika pendidikan berubah menjadi barang mewah, pertanyaannya bukan lagi siapa yang berbakat, melainkan “siapa yang masih berhak bermimpi untuk maju?”
4. Ketidakamanan dan Tunawisma: Wajah Tersembunyi dari “Kebebasan”
Artikel tersebut menyatakan kekhawatiran terhadap kebijakan Mamdani untuk menyediakan layanan bagi tunawisma di kereta bawah tanah.Namun bukankah kekhawatiran ini hanya upaya menjaga tampilan palsu dari “ketertiban sosial”?Setiap malam, ribuan tunawisma tidur di stasiun bawah tanah New York—di jantung ibu kota keuangan dunia.Jika masyarakat sekaya itu tak mampu menyediakan tempat berlindung bagi yang paling lemah, pantaskah kita bertanya:“Mana yang lebih berbahaya: gagasan Mamdani atau realitas kapitalisme?”
5. Krisis Legitimasi: Runtuhnya Kepercayaan pada Pasar
The Washington Post sendiri mengakui bahwa Mamdani adalah kandidat wali kota pertama sejak 1969 yang berhasil memperoleh lebih dari satu juta suara.Angka ini bukan sekadar kemenangan elektoral, tetapi tanda dari keletihan mendalam rakyat terhadap sistem yang ada.Ketika para elit media menyebut kemenangan ini sebagai “perang kelas,” sesungguhnya mereka takut pada kembalinya politik ke kehidupan sehari-hari—takut bahwa rakyat mulai bertanya mengapa mereka harus menopang sistem ekonomi yang membuat mayoritas bekerja demi segelintir orang kaya.
Dua Jalan Buntu, Satu Luka yang Sama
The Washington Post berupaya mempertahankan pasar bebas dengan menggambarkan sosialisme sebagai ancaman, sementara Mamdani dengan idealismenya memandang kapitalisme sebagai musuh.Namun kebenaran mungkin terletak di antara keduanya.Kapitalisme, dengan kekejaman laba dan persaingan, telah mengosongkan martabat manusia;Sosialisme, dengan penekanan pada negara dan distribusi, sering kali mengorbankan individualitas.Keduanya, dalam bentuk yang berbeda, telah gagal melihat manusia sebagai tujuan dari sistem itu sendiri.
Mungkin saatnya kita melampaui semua “-isme” dan bertanya:Jika tujuan akhir ekonomi adalah kehidupan yang lebih manusiawi, mengapa semakin maju dunia, manusia justru makin terpinggirkan?
Dari New York hingga Wall Street, jawabannya tampak di jalan-jalan —di mana manusia, di bawah bayang-bayang pencakar langit modal,masih mencari atap untuk sekadar tidur.(PH)