Membaca Ulang Kejahatan Barat
Pembantaian Bud Dajo; Bukti Kebrutalan AS di Filipina
-
Pembantaian Bud Dajo
Pars Today - Pembantaian Bud Dajo pada Maret 1906 adalah salah satu peristiwa paling berdarah dalam sejarah kolonialisme Amerika Serikat di Filipina.
Pembantaian Bud Dajo terjadi antara tanggal 5 dan 8 Maret 1906, di pulau Jolo di Filipina selatan, di mana pasukan Amerika membantai ratusan orang Muslim Moro, termasuk wanita dan anak-anak, di pulau Jolo.
Pembantaian ini dikenal sebagai salah satu babak tergelap dalam sejarah kolonialisme Amerika dan salah satu tragedi kemanusiaan terbesar dalam perjalanan ekspansionisme AS, dan memiliki konsekuensi mendalam bagi hubungan AS dengan rakyat Filipina.
Pembantaian Bud Dajo terjadi selama pemberontakan Moro melawan pemerintahan Amerika. Setelah pembatalan Perjanjian Bates pada tahun 1904, orang-orang Muslim Moro sekali lagi memulai perlawanan mereka terhadap kehadiran Amerika.
Menanggapi tekanan dan desas-desus bahwa Amerika Serikat bermaksud untuk memusnahkan mereka, ratusan pria, wanita, dan anak-anak Moro berlindung di puncak gunung berapi Bud Dajo yang tidak aktif. Tempat itu dianggap suci secara religius dan budaya bagi mereka dan dianggap sebagai tempat perlindungan alami dari serangan.
Pada ketinggian lebih dari dua ribu kaki dan tertutup hutan lebat, Bud Dajo hanya dapat diakses melalui tiga jalur sempit. Ciri khas ini menjadikannya posisi pertahanan yang kuat. Pasukan Amerika, yang dipimpin oleh Jenderal Leonard Wood dan Kolonel Joseph Duncan, memulai pengepungan dan penyerangan terhadap tempat perlindungan tersebut dengan sekitar 750 tentara. Sebaliknya, lebih dari seribu orang Moro berada di dalam kawah gunung berapi. Banyak dari mereka hanya bersenjata dengan senjata primitif seperti tombak dan pedang, dan banyak dari mereka adalah warga sipil.
Pada hari-hari awal, upaya untuk bernegosiasi dengan para pemimpin lokal tidak berhasil. Kemudian, pasukan Amerika menyerang posisi Moro dengan artileri dan senapan mesin. Perlawanan sangat sengit tetapi tidak merata. Akhirnya, setelah beberapa hari pertempuran, pasukan Amerika berhasil merebut puncak itu.
Selama tiga hari tiga malam, tangisan ketakutan anak-anak tenggelam dalam deru bola meriam dan tembakan senapan mesin, dan air mata para ibu yang memeluk tubuh anak-anak mereka bercampur dengan darah. Apa yang terjadi di ketinggian itu bukanlah pertempuran. Itu adalah perburuan tanpa ampun terhadap orang-orang yang telah jatuh ke dalam perangkap.
Ketika tembakan meriam dan senapan mesin berakhir dan tentara Amerika berdiri di samping tumpukan mayat untuk foto peringatan, kamera merekam bukan kemuliaan kemenangan tetapi rasa malu atas kejahatan yang keji. Gambar ini memecah keheningan yang berat di kawah gunung berapi dan membawa ke telinga dunia jeritan pembantaian yang bahkan mendorong penulis Amerika terkenal Mark Twain untuk menuduh pemerintah negaranya melakukan pembantaian brutal.
Jumlah korban tewas itu sendiri merupakan jeritan yang sunyi. Lebih dari 1.000 orang Moro, muda dan tua, tewas oleh pedang dalam waktu kurang dari empat hari. Dari jumlah itu, hanya enam yang selamat untuk menceritakan kisah neraka itu.
Darah mereka mengalir hingga hari ini dalam ingatan kolektif masyarakat Moro, dan luka Bud Dajo belum sembuh setelah lebih dari seabad. Sebaliknya, korban Amerika dilaporkan antara 15 dan 21 orang tewas dan sekitar 70 orang terluka. Perbedaan besar dalam jumlah korban ini membuat banyak orang menganggap peristiwa itu bukan pertempuran, melainkan pembantaian.
Reaksi terhadap pembantaian itu tersebar luas. Di Amerika Serikat, beberapa media dan tokoh seperti Mark Twain sangat mengecamnya. Twain menulis bahwa peristiwa itu tidak ada hubungannya dengan pertempuran dan sebenarnya adalah pembantaian orang-orang yang tidak berdaya.
Perbandingan dengan tragedi sejarah Amerika lainnya, seperti pembantaian penduduk asli Amerika dalam Pembantaian Wounded Knee tahun 1890 di Amerika Serikat dan pembantaian My Lai tahun 1968 di Vietnam, menunjukkan bahwa Bud Dajo bahkan lebih berdarah dalam hal korban. Lebih dari 99 persen dari mereka yang berada di kawah itu tewas, angka yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah militer Amerika.
Secara historis, pembantaian Bod Dajo memiliki konsekuensi yang mendalam.
Pertama, hal itu menunjukkan bahwa kebijakan Amerika di Filipina bukan hanya tentang "peradaban" tetapi tentang penggunaan kekerasan yang meluas untuk mengkonsolidasikan dominasi.
Kedua, hal itu memicu ketidakpercayaan yang mendalam antara masyarakat Muslim di Filipina selatan dan pemerintah pusat, ketidakpercayaan yang berlanjut hingga hari ini dalam bentuk pemberontakan dan kerusuhan.
Ketiga, hal itu tetap menjadi noda gelap dalam sejarah kekaisaran Amerika, meskipun kurang dikenal dalam ingatan publik Amerika dan seringkali dipinggirkan.
Terakhir, pembantaian Bud Dajo adalah contoh nyata kekerasan kolonial dan pengabaian hak asasi manusia dari orang-orang yang hanya mencari perlindungan dan kemerdekaan.
Insiden ini tidak hanya memengaruhi sejarah Filipina tetapi juga sejarah Amerika, dan merupakan pengingat bahwa Amerika Serikat, dalam jalur imperialisnya, telah melakukan kejahatan yang dampaknya akan tetap ada selama beberapa generasi.(sl)