Mengapa AS Menyensor Dokumen Kasus Predator Jeffrey Epstein?
https://parstoday.ir/id/news/world-i182680-mengapa_as_menyensor_dokumen_kasus_predator_jeffrey_epstein
Penyensoran luas terhadap dokumen-dokumen kasus jaringan kejahatan seksual Jeffrey Epstein oleh Departemen Kehakiman Amerika Serikat telah menambah keraguan publik terhadap penanganan kasus ini dan memicu perdebatan baru mengenai transparansi serta kebebasan informasi di negara tersebut.
(last modified 2025-12-25T09:46:02+00:00 )
Des 21, 2025 18:00 Asia/Jakarta
  • Mengapa AS Menyensor Dokumen Kasus Predator Jeffrey Epstein?

Penyensoran luas terhadap dokumen-dokumen kasus jaringan kejahatan seksual Jeffrey Epstein oleh Departemen Kehakiman Amerika Serikat telah menambah keraguan publik terhadap penanganan kasus ini dan memicu perdebatan baru mengenai transparansi serta kebebasan informasi di negara tersebut.

Tehran, Parstoday- Departemen Kehakiman Amerika Serikat pada 19 Desember 2025 merilis gelombang pertama dokumen yang berkaitan dengan penyelidikan terhadap Jeffrey Epstein, seorang investor yang telah divonis bersalah atas kejahatan seksual.

Publikasi ini dilakukan berdasarkan Undang-Undang Transparansi Berkas Epstein (Epstein Files Transparency Act) yang disahkan oleh Kongres Amerika Serikat pada November 2025. Undang-undang tersebut mewajibkan Departemen Kehakiman untuk mempublikasikan seluruh dokumen yang tidak diklasifikasikan, termasuk bahan penyelidikan FBI, dokumen pengadilan, dan korespondensi terkait—secara terbuka dan dapat ditelusuri paling lambat 19 Desember.

Namun, rilis awal tersebut hanya mencakup lebih dari 13 ribu berkas, ribuan halaman dokumen, dan ratusan foto, yang sebagian besar telah disensor secara luas. Wakil Jaksa Agung Todd Blanche menyatakan bahwa ratusan ribu dokumen tambahan akan dirilis dalam beberapa pekan ke depan, sebuah pernyataan yang dinilai bertentangan dengan tenggat waktu hukum yang telah ditetapkan.

Dokumen yang dirilis mencakup foto-foto baru Epstein bersama sejumlah tokoh terkenal, seperti Bill Clinton (di sebuah pemandian air panas atau di tepi kolam renang dengan wajah-wajah yang disensor), Michael Jackson, Richard Branson, Chris Tucker, Mick Jagger, dan lainnya. Selain itu, terdapat laporan kepolisian Palm Beach tahun 2005, kartu penerbangan, serta sejumlah dokumen pengadilan.

Meski demikian, tidak ditemukan daftar klien baru ataupun pengungkapan besar terkait para kaki tangan Epstein yang sebelumnya tidak diketahui. Banyak dokumen yang dirilis juga merupakan materi yang telah lebih dahulu dipublikasikan. Nama Donald Trump, Presiden Amerika Serikat, hanya jarang disebut dalam dokumen-dokumen terbaru tersebut, dan beberapa berkas—termasuk foto-foto yang berkaitan dengan Trump—bahkan dihapus setelah rilis awal. Langkah ini memicu kecurigaan adanya upaya penutupan fakta oleh Departemen Kehakiman di bawah pemerintahan Trump.

Penyensoran luas menjadi salah satu poin utama kritik. Departemen Kehakiman mengklaim bahwa penghitaman besar-besaran dilakukan untuk melindungi privasi lebih dari 1.200 korban yang telah diidentifikasi. Sebagai contoh, sebuah dokumen setebal 119 halaman dari dewan juri besar New York sepenuhnya dihitamkan, sementara banyak berkas lain dengan panjang lebih dari 100 halaman juga disembunyikan secara total. Wajah individu dalam foto—bahkan yang bukan korban—nama, detail sensitif, hingga seluruh halaman dokumen, disensor.

Para pengkritik, termasuk anggota Kongres Ro Khanna dari Partai Demokrat dan Thomas Massie dari Partai Republik—keduanya penulis utama undang-undang transparansi tersebut—menilai penyensoran ini berlebihan dan bertentangan dengan ketentuan hukum yang melarang penghapusan informasi berdasarkan “sensitivitas politik”.

Penghilangan atau ketidaklengkapan sejumlah dokumen juga memicu perdebatan mengenai upaya perlindungan terhadap tokoh-tokoh berpengaruh. Para korban, seperti Marina Lasorda, menyebut tindakan ini sebagai “tamparan bagi para penyintas” dan menilai bahwa penyensoran tersebut menghambat terwujudnya keadilan.

Dampak dari publikasi parsial ini bersifat luas dan berlapis. Dari sisi politik, anggota Kongres Khanna dan Massie mengancam akan menyusun rancangan pemakzulan terhadap Jaksa Agung Pam Bondi, serta memperingatkan kemungkinan penggunaan mekanisme “penghinaan terhadap Kongres” (contempt of Congress). Ancaman lintas partai ini mencerminkan perpecahan internal di Partai Republik, mengingat Trump sebelumnya menjanjikan transparansi penuh dalam kasus Epstein, namun rilis dokumen yang tidak lengkap justru memicu kemarahan, termasuk dari kalangan pendukungnya sendiri.

Secara sosial, kemarahan para korban dan aktivis meningkat, sementara kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan semakin menurun. Kondisi ini turut memperkuat teori-teori konspirasi mengenai adanya upaya melindungi individu-individu berkuasa dan berpengaruh.

Pada akhirnya, peristiwa ini berpotensi memicu penyelidikan baru oleh Kongres, gugatan hukum dari para korban, serta memengaruhi kebijakan di masa depan. Publikasi parsial dokumen kasus Epstein tidak hanya menunda keadilan bagi para korban, tetapi juga memperdalam krisis kepercayaan terhadap pemerintah Amerika Serikat. Selama dokumen-dokumen tersebut tidak dirilis secara lengkap dan tanpa penyensoran berlebihan, jaringan korupsi kompleks Epstein dan keterkaitannya dengan tokoh-tokoh berpengaruh di Amerika Serikat akan terus menjadi sumber kontroversi dan keraguan publik.