NATO Menurut Perspektif Putin
- 
					  Presiden Rusia, Vladimir Putin 
Seiring dengan berlanjutnya tensi dan friksi antara Rusia dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), Presiden Rusia, Vladimir Putin saat mengkritik organisasi ini menyebut NATO sebagai alat politik luar negeri Amerika Serikat.
Dalam perspektif Putin, di organisasi ini tidak ada negara-negara yang memiliki perjanjian bersama, namun NATO sekedar terdiri dari negara-negara yang berafiliasi dengan Amerika Serikat. Seperti yang ia yakini bahwa penolakan negara anggota NATO terhadap tekanan negara kuat seperti Amerika sebagai pemimpin aliansi ini, sangat sulit.
Sikap Putin terkait NATO mengindikasikan pandangan Rusia terhadap esensi pakta Barat ini. Sejatinya petinggi Rusia berpikir bahwa mengingat pengaruh luas AS terhadap NATO dan pemanfaaan organisasi ini sebagai alat Washington memajukan kebijakan luar negerinya, maka tidak banyak harapan dari organisasi ini.
Contoh nyata dari masalah ini dapat disaksikan dari represi Presiden AS, Donald Trump untuk menambah bujet dan anggaran militer anggota NATO serta menambah saham mereka dalam membiayai organisasi ini. Hal ini tentu saja berujung pada sikap menyerah anggota Eropa NATO dan bangsa negara kuat seperti Jerman meski ada penentangan di dalam negeri, pada akhirnya menuruti permintaan Trump.
Di sisi lain, aksi dan sikap NATO termasuk menerima partisipasi organisasi ini di koalisi internasional anti Daesh yang kali ini diminta oleh AS, mengindikasikan bahwa Washington dalam prakteknya mampu mendiktekan keinginannya kepada NATO beserta anggotanya. Selain itu, eskalasi konfrontasi NATO dengan Rusia di Eropa timur yang kali ini demi kebijakan luar negeri AS mengontrol Moskow merupakan bukti lain dari esensi NATO sebagai alat Washington.
Dengan demikian petinggi Moskow menyimpulkan bahwa menghadapi NATO sebagai sebuah organisasi militer independen dan berupaya menerapkan hubungan seimbang sepertinya tidak realistis. Hal ini dapat dicermati dari perubahan mendasar Rusia dalam menyikapi NATO.
Pasca tumbangnya Uni Soviet dan munculnya Rusia sebagai negara pengganti, Rusia banyak melakukan upaya untuk menjalin hubungan baik dengan Barat. Salah satu contohnya dalah upaya membentuk Dewan Rusia-NATO di bidang pertahanan dan keamanan. Dewan ini terbentuk tahun 2002 dan sidang terakhir dewan ini pada Juni 2014. Sejak saat itu hingga 2016, dialog antara Rusia dan NATO karena friksi keduanya terkait krisis Ukraina dihentikan. Meski ada dua pertemuan dewan ini di tahun 2016, namun hasilnya tidak mampu memulihkan hubungan Rusia dan NATO.
Kini statemen Putin dapat dicermati bahwa sepertinya Rusia telah pesimis terkait hasil perundingannya dengan NATO dan pada dasarnya organisasi ini tidak memiliki independensi dalam bertiindak. Di sisi lain, Rusia kini menganggap memiliki permusuhan dengan Barat di dua sektor, militer, keamanan dan ekonomi serta perdagangan. Namun kini yang dianggap penting bagi Moskow adalah aksi NATO di pertabasan barat negara ini yang semakin meningkat. Tentu saja langkah iin merupakan tindakan provokatif dan menurut Kremlin ditujukan untuk mencaplok Rusia.
Pendekatan permusuhan NATO dengan menambah pasukannya di Eropa timur dan berlanjutnya upaya maju ke arat timur mendorong Rusia mencantumkan NATO dalam doktrin pertahanannya sebagai sebuah ancaman keamanan nasional. Pejabat Moskow meyakini bahwa permusuhan Barat terhadap Rusia bukan sebuah fenomena yang cepat hilang, namun sama halnya dengan sebuah strategi permanen yang dikejar oleh NATO dan Amerika.
Contoh terbaru dari pendekatan permusuhan ini adalah penyelenggaraan manuver delapan negara NATO di dekat perbatasan barat Rusia pada 3 Juni sebagai latihan gerak cepat dan kolektif menghadapi ancaman potensial. (MF)
 
						 
						