KTT APEC Papua Nugini di Tengah Gejolak Ekonomi Global
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia-Pacific Economy Cooperation, APEC tahun ini dihelat di sebuah negara kepulauan di Asia Pasifik yaitu Papua Nugini.
Dalam pertemuan APEC yang akan berlangsung selama dua hari, Sabtu-Minggu, 17-18 November 2018 ini, 21 pejabat tinggi negara dunia akan hadir dan membahas tiga usulan Dewan Penasihat Bisnis APEC, ABAC termasuk menurunkan konflik dagang dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Usulan tersebut meliputi dukungan penyelesaian perseteruan dagang dengan bantuan Organisasi Perdagangan Dunia, WTO, perluasan kerja sama aktif dengan berbagai negara dan menambah anggaran pembangunan infrastruktur.
APEC berharap dengan kerja sama dari setiap anggota, permasalahan-permasalahan dan tantangan ekonomi global akan dapat diatasi.
KTT APEC di Papua Nugini, negara yang disebut-sebut sebagai anggota APEC dengan tingkat pertumbuhan ekonomi terendah ini, di satu sisi digelar setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump mengambil sejumlah kebijakan sepihak di sektor ekonomi dengan dalih mendukung perekonomian dan industri dalam negeri, di sisi lain keluarnya negara itu dari beberapa perjanjian ekonomi dan perdagangan penting internasional, sehingga kerja sama dan perjanjian internasional semacam ini diduga akan berhadapan dengan tantangan serius.
Kenyataannya, Presiden Amerika yang menarik diri dari sejumlah perjanjian internasional, bukan saja telah melemahkan perjanjian-perjanjian tersebut, bahkan memicu protes negara-negara dunia termasuk sekutu-sekutu Washington sendiri.
Direktur Pusat Studi Asia di The Heritage Foundation, Walter Lohman menuturkan, Donald Trump tidak terlalu menyakini prinsip kerja sama internasional atau multilateralisme dan ia menyerukan slogan pertama Amerika, akan tetapi untuk menjinakkan Korea Utara, ia terpaksa bekerjasama dengan APEC sehingga negara-negara Asia Timur lainnya mau bergabung dengannya.
Dengan demikian KTT APEC di Papua Nugini digelar di saat perubahan ekonomi global tengah merasakan pengalaman baru tanpa kehadiran Amerika di beberapa perjanjian internasional.
APEC yang beranggotakan 22 negara dan merupakan salah satu organisasi ekonomi terbesar di dunia, berdasarkan data tahun 2016 mendominasi sekitar 39 persen populasi dunia, 60 persen total Produk Domestik Bruto, PDB dan 47 persen perdagangan dunia.
Meski demikian dalam praktiknya, APEC dinilai masih belum mampu memenuhi harapan negara-negara anggota yang lemah seperti Vietnam, Filipina, Chile dan Peru untuk membantu meningkatkan pertumbuhan perekonomian mereka. Oleh karena itu sebagian pejabat negara tersebut meyakini bahwa APEC semata-mata hanyalah dalih untuk membuka kesempatan lebih luas bagi negara-negara adidaya agar dapat semakin bebas mengakses pasar negara-negara anggota.
Direktur Human Rights For All, Alison Battisson mengatakan, pemenjaraan para imigran gelap yang ingin mencapai Australia di Papua Nugini melanggar aturan internasional dan kemanusiaan. Dalam sebuah masyarakat modern, langkah-langkah semacam ini tidak bisa dibenarkan. Australia sebagai salah satu penandatangan konvensi imigran bertanggungjawab memberikan tempat tinggal kepada para imigran. Penolakan pemerintah Australia sebagai anggota APEC untuk menampung imigran, melanggar hak imigran gelap dan ini memalukan.
Oleh karena itu, sepertinya para imigran yang saat ini terpenjara di kamp-kamp pengungsi Papua Nugini berharap agar para pejabat tinggi negara peserta KTT APEC di negara itu memperhatikan nasib mereka. Tidak diragukan penyelenggaraan pertemuan internasional ini dapat mengungkap langkah pemerintah Australia terkait pemenjaraan para imigran di Papua Nugini dan pada saat yang sama dapat menunjukkan tingkat perhatian para pengklaim pembela hak asasi manusia yang turut hadir dalam KTT APEC kali ini. (HS)