Menyimak Langkah Politik FATF terhadap Iran
Barat yang dipimpin Amerika Serikat sejak lama menerapkan kebijakan represi total terhadap Republik Islam Iran dengan tujuan memaksa Tehran mengubah prinsip dan kebijakannya sesuai dengan keinginan mereka.
Salah satu sisi terpenting dari pendekatan ini adalah penerapan represi finansial dan ekonomi terhadap Iran.
Sekaitan dengan ini, Gugus Tugas Aksi Keuangan (FATF) Jumat (21/02) mencantumkan Iran di list hitamnya. Koran Wall Street Journal sebelumnya melaporkan bahwa keputusan organisasi yang bermarkas di Paris ini bergabung dengan represi maksimum AS terhadap Iran diambil setelah ada persetujuan dari negara-negara Eropa.
FATF di statemennya seraya tersirat menyatakan bahwa langkah anti Iran dapat diubah dan Tehran setelah peratifikasian draf berkaitan dapat keluar dari list hitam. Salah satu diplomat Eropa terkait hal ini kepada Reuters mengatakan, pencantuman Iran di list hitam disusun sedemikian rupa supaya masih ada jalan tersisa bagi Tehran dan pintu tidak sepenuhnya tertutup bagi negara ini.
FATF dibentuk tahun 1989 di Paris atas keputusan para pemimpin kelompok G-7 dan dengan misi yang diklaim untuk memerangi praktek pencucian uang. Para pemimpin kelompok G-7 menyebut pembentukan lembaga seperti ini untuk menyamakan ketentuan bank dan memerangi praktek pencucian uang.
Tahun 2001 dan pasca insiden 11 September, apa yang diklaim sebagai perang melawan sokongan finansial terorisme menjadi agenda kerja lembaga ini. Pengawasan terhadap kinerja jaringan perbankan di tingkat global dan berbagai negara merupakan tugas utama FATF.
Meski dengan keputusan FATF ini transaksi finansial Iran akan menghadapi pembatasan besar dan akan mendapat pengawasan ketat, namun keputusan ini tidak terlalu berpengaruh secara praktis, karena kini mayoritas bank Barat terlepas dari mekanisme interaksi Iran dan FATF mengingat sanksi Amerika, enggan melakukan transaksi finansial dan perbankan yang berkaitan dengan Iran.
Langkah FATF diambil mengingat hegemoni dan pengaruh Amerika Serikat terhadap Eropa dan dampak dari represi Washington.
Petinggi pemerintah Donald Trump berulang kali menuntut Iran bergabung dengan FATF. Di antaranya adalah Menlu Mike Pompeo pada 12 Februari 2020 meminta Iran bergabung dengan Konvensi PendanaanTerorisme dan Konvensi Palermo. Namun begitu Pompeo mengungkapkan kepuasannya setelah FATF mencantumkan Iran di list hitamnya.
Pompeo hari Jumat di statemennya menyatakan, pemerintah Iran harus menghadapi dampak dari berlanjutnya sikap tidak tunduk terhadap norma-norma internasional khususnya langkah negara ini tidak meratifikasi Konvensi Palermo dan Pendanaan Terorisme.
Sebelumnya empat senator Amerika di suratnya kepada FATF mengklaim bahwa Iran setelah dua tahun dari penangguhan langkah penangguhan belum mengubah kebijakannya dan secepatnya harus dicantumkan di list hitam FATF.
Iran berulang kali menekankan bahwa AS dan sekutu regionalnya banyak melakukan upaya untuk mencantumkan Iran di list hitam FATF dengan tujuan menempatkan Tehran di kondisi terjepit. Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif beberapa waktu lalu mengatakan, tiga rezim sponsor terorisme termasuk AS, Arab Saudi dan Israel ingin mencantumkan Iran di list hitam FATF.
Sikap petinggi Amerika yang menyambut pencantuman Iran di list hitam FATF mengindikasikan bahwa Washington memanfaatkan lembaga ini sebagai alat untuk menerapkan sanksi kepada negara-negara yang tidak tunduk terhadap kebijakannya termasuk Republik Islam Iran.
Sebaliknya Iran menilai langkah FATF ini sepenuhnya politik dan bias. Juru bicara Kemenlu Iran, Sayid Abbas Mousavi seraya menjelaskan bahwa Republik Islam Iran lebih dari dua tahun melaksanakan seluruh ketentuan terkait pencucian uang dan pendanaan terorisme mengatakan, "Arab Saudi sebagai bank sentral terorisme dan Israel sebagai pendukung utama organisasi-organisasi teroris di seluruh dunia, tidak pernah dilawan aksi destruktif mereka. Namun Iran yang terus menjalankan ketentuan lembaga ini malah dicantumkan ke list hitam." (MF)