Pengaduan atas Pompeo agar Menghentikan Penjualan Senjata ke UEA
Amerika Serikat telah memiliki kontrak penjualan senjata besar-besaran dengan negara-negara selatan Teluk Persia, terutama Uni Emirat Arab, selama pemerintahan Donald Trump. Sekalipun demikian, dalam beberapa pekan terakhir, pemerintahan Trump telah melihat penentangan terhadap penjualan senjata ke negara selatan Teluk Persia.
Sebuah kelompok independen di New York, yang disebut Pusat Kebijakan Luar Negeri New York (New York Center For Foreign Policy Affairs), menggugat Menteri Luar Negeri Mike Pompeo di pengadilan Federal pada Rabu (30/12/2020) untuk menghentikan kontrak $ 23 miliar penjualan senjata canggih dan peralatan militer ke Uni Emirat Arab. Kelompok tersebut telah meminta pengadilan untuk memerintahkan Pompeo dan Departemen Luar Negeri untuk membatalkan perjanjian tersebut karena proses dalam menyetujui kesepakatan penjualan senjata dengan UEA telah melanggar prosedur pemerintah AS.
Petisi tersebut mencerminkan meningkatnya penolakan di Amerika Serikat, baik dari organisasi hak asasi manusia dan anti-perang. Sebelumnya, 29 organisasi dan lembaga pengawas senjata serta hak asasi manusia menandatangani surat protes terhadap penjualan rudal, jet tempur dan UAV senilai $ 23 miliar ke Uni Emirat Arab, dan mendesak Kongres AS untuk menangguhkan kesepakatan tersebut.
"Penjualan senjata ke UEA, salah satu negara yang terlibat dalam konflik di Yaman dan Libya, akan terus merugikan warga sipil dan memperburuk krisis kemanusiaan," ungkap surat itu.
Gedung Putih dan Republikan, terutama di Senat, di mana mereka memiliki mayoritas, terus bersikeras menjual senjata ke sejumlah kerajaan Arab. Pada pertengahan Desember 2020, senator Republik dengan tidak menyetujui rencana dari kubu Demokrat dan seorang senator Republik yang disampaikan ke Senat, di mana rencana itu menuntut pembatalan penjualan senjata canggih senilai 23 miliar ke UEA, justru menyetujui kesepakatan senjata dengan negara ini. Presentasi rencana ini disambut dengan reaksi negatif dari Trump, yang mengancam akan memveto rencana tersebut jika disetujui.
"Harapannya adalah penjualan akan berhenti sama sekali. Tapi jika ini tidak memungkinkan dalam jangka pendek, ini mengirimkan pesan penting kepada pemerintah Biden bahwa ada berbagai organisasi yang menentang pengiriman senjata ini," kata Seth Binder, seorang akademisi dan pendukung langkah ini.
LSM hak asasi manusia dan anti-perang sangat menentang peningkatan penjualan senjata AS ke UEA, mengingat kehadirannya yang terus berlanjut dalam perang Yaman dalam koalisi dengan Arab Saudi dan tindakan tidak manusiawi dan kriminal terhadap rakyat Yaman. UEA, di sisi lain, telah memainkan peran kunci dalam perang saudara Libya dengan dukungan luas untuk pasukan Khalifah Haftar, yang menyebut dirinya komandan Tentara Nasional Libya, dan sejauh ini telah mengirimkan senjata jutaan dolar untuk membantu Libya.
UEA sedang mencoba untuk memantapkan dirinya sebagai pemain regional dan mencapai tujuan regionalnya dengan dukungan pendapatan minyak dan perdagangannya. Salah satu alasan UEA tampil sebagai negara Arab pertama di bawah Trump yang menormalisasi hubungan dengan rezim Zionis adalah keinginan mereka untuk memperoleh senjata Amerika yang sangat canggih, terutama pesawat tempur F-35 generasi kelima.
Meskipun pemerintahan Trump ingin menjadikan kesepakatan senjata besar ini sebagai hadiah untuk UEA dan untuk kepentingan kompleks industri militer AS, sekarang, kurang dari sebulan sebelum berakhirnya pemerintahan Donald Trump, ada penolakan kuat dari organisasi dan lembaga pengendalian senjata dan hak asasi manusia dengan kesepakatan besar ini, agar tidak mengaburkan prospek penjualan senjata selama masa kepresidenan Presiden terpilih AS Joe Biden.