Rasisme di Tubuh Keluarga Kerajaan Inggris
(last modified Tue, 09 Mar 2021 17:43:12 GMT )
Mar 10, 2021 00:43 Asia/Jakarta
  • Pangeran Harry dan Meghan Markle
    Pangeran Harry dan Meghan Markle

Di tengah semua klaim negara-negara Barat tentang kesetaraan ras dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, pada praktiknya kebijakan-kebijakan diskriminatif dalam beragam bentuknya termasuk di bidang sosial dan budaya, banyak ditemukan di negara-negara itu.

Pengakuan terbaru Meghan Markle, mantan artis Amerika Serikat yang menjadi anggota keluarga kerajaan Inggris yang menyebut keluarga Istana Buckingham pembohong dan rasis, salah satu bukti praktik semacam ini.

Meghan Markle dan Pangeran Harry yang pada Januari 2020 memutuskan mundur dari tugas mereka sebagai anggota senior keluarga kerajaan Inggris dan pindah ke AS, baru-baru ini hadir dalam acara talk show Oprah Winfrey, dan mengungkap hubungan serta perilaku keluarga kerajaan Inggris.

Dalam wawancara itu Meghan Markle mengatakan, saat mengandung Archie, anak laki-lakinya yang sekarang berumur satu tahun, pihak keluarga kerajaan Inggris menolak memberi gelar pangeran kepada anak itu karena kemungkinan warna kulitnya yang hitam.

Meghan Markle, 39 tahun yang lahir dari seorang ibu kulit hitam dan ayah kulit putih, dalam wawancara dengan Oprah Winfrey yang ditayangkan CBS News menuturkan, mereka tidak ingin Archie bergelar pangeran.

Meski ini adalah pertama kalinya menantu keluarga kerajaan Inggris secara resmi berbicara soal rasisme di tubuh keluarga kerajaan, namun masalah rasisme di Inggris terutama di Istana Buckingham, bukan barang baru.

Sebagaimana diketahui para pangeran harus mematuhi aturan ketat kerajaan dalam hal pernikahan dan kehidupan sehari-hari. Beberapa dari mereka melanggar aturan itu, dan memberontak. Seperti yang dialami Pangeran Edward VIII yang terpaksa turun takhta karena menikahi seorang wanita Amerika yang bercerai dua kali, karena hal ini ditentang keluarga kerajaan Inggris.

Meghan Markle dan Pangeran Harry

 

Dalam beberapa dekade terakhir, Istana Buckingham mengaku meninggalkan tradisi kuno mereka dan mulai memasuki dunia modern, namun kasus pernikahan Pangeran Harry, cucu Ratu Elizabeth II kembali menunjukkan dominasi tradisi kuno atas privasi para pangeran.

Para aktivis sosial Inggris menilai alasan mundurnya Pangeran Harry dan Meghan Markle dari keluarga kerajaan Inggris dan hijrah ke Amerika adalah sikap rasis dan tekanan keluarga kerajaan.

Mantan Ketua Dewan Rakyat Britania Raya, John Bercow mengatakan, "Saya percaya Meghan Markle adalah korban rasisme nyata dan pelanggaran norma sosial. Ia menjadi sasaran rasisme, diskriminasi gender, dan pelecehan".

Rasisme dan diskriminasi bukan hanya sudah tertanam dalam di tubuh kerajaan Inggris saja, tapi juga di tengah masyarakat negara itu. Rakhia Ismail, perempuan Muslim berhijab pertama Inggris yang terpilih sebagai wali kota Islington terpaksa mengundurkan diri karena diskriminasi ras dan Islamfobia.

Laporan-laporan tentang kekerasan dan diskriminasi polisi Inggris terhadap kulit hitam dan minoritas agama, menambah rentetan praktik rasis di negara itu. Data resmi pemerintah Inggris menyebutkan, jumlah warga kulit hitam dan minoritas agama Inggris yang diinterogasi dan mengalami pelecehan oleh polisi di jalan-jalan kota London berkali lipat dari warga kulit putih.

Jurnalis Prancis, Samuel Etienne mengatakan, rasisme di Inggris sudah sistematik dan terorganisir, hal itu bisa ditemukan dalam percakapan dan reaksi yang muncul saat menyikapi orang asing. Rasisme juga dengan jelas tampak di dunia pendidikan, tempat kerja, pusat kesehatan, dan dari tingginya jumlah etnis Inggris yang terinfeksi COVID-19.

Testimoni Meghan Markel kembali menunjukkan kelanjutan rasisme yang tertanam kuat di tengah keluarga kerajaan Inggris. Meghan berkata, banyak penghuni Istana Buckingham yang bukan hanya mencemaskan warna kulit anaknya, Archie, bahkan mendesak untuk mencegah hak waris kerajaan jatuh ke tangannya dan menolak menjaga keamanannya. (HS)