Keterlibatan AS dalam Kejahatan Serangan Kimia di Sardasht
Rakyat Iran tidak akan pernah melupakan kejahatan Amerika Serikat dan beberapa negara Barat dalam mempersenjatai rezim Saddam dengan gas kimia untuk menyerang Iran. Barat juga memilih bungkam terhadap penggunaan senjata kimia selama perang yang dipaksakan atas Iran.
Pada 8 Tir 1366 Hijriyah Syamsiah atau Juni 1988, rezim Saddam membom kota Sardasht di barat Iran menggunakan senjata kimia. Dalam kejahatan ini, 110 orang gugur syahid dan lebih dari 8.000 orang terkena racun mematikan dan terluka.
Senjata kimia rezim Saddam dipasok oleh AS dan negara-negara Eropa serta perusahaan milik para politisi Barat, yang meraup keuntungan dengan membunuh warga sipil. Dalam bisnis yang mengerikan dan anti-kemanusiaan ini, ribuan orang tak berdosa menjadi korban senjata kimia tidak hanya di Sardasht atau Halabcheh (Kurdistan Irak), tetapi juga di banyak daerah lain di mana mereka meluncurkan perang langsung atau melalui proksinya.
Meski Saddam adalah penyebab utama kejahatan ini, tetapi tanpa dukungan politik dan militer atau bantuan bahan kimia dan senjata terlarang kepada rezim Ba’ath Irak, maka ia tidak akan memperoleh senjata kimia dan berani menggunakan senjata terlarang itu.
Dokumen dan bukti menunjukkan bahwa 400 perusahaan asing bekerja sama dengan rezim Ba'ath Irak untuk memasok senjata kimia, tetapi lembaga-lembaga internasional sama sekali tidak mengambil tindakan efektif dalam hal ini.
Serangan kimia Irak terhadap Iran menyebabkan lebih dari 100.000 orang terluka di Iran. Saddam Hussein menggunakan gas beracun tabun, VX (racun saraf), sarin, dan mustard sejak 1984.
Tentara Irak menggunakan senjata kimia untuk pertama kalinya dalam menyerang wilayah selatan Provinsi Khuzestan pada pertengahan 1980-an. Pada masa itu, Irak empat kali menggunakan gas beracun mustard untuk membunuh warga sipil Iran.
Senjata terlarang ini dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan efek yang dirasakan oleh tubuh manusia: senjata yang memengaruhi sistem saraf tubuh, senjata yang memiliki efek komplikasi pada kulit, dan senjata yang menyebabkan gangguan pernapasan.
Alireza Jahangiri, Duta Besar Iran untuk Belanda dan Wakil Tetap Iran untuk Organisasi Pelarangan Senjata Kimia (OPCW) di Den Haag, menyebut Iran sebagai salah satu korban utama senjata kimia dan mengatakan, "Iran tidak hanya menjadi korban dari penggunaan senjata kimia, tetapi juga korban dari kebungkaman global. Kami selalu mengutuk penggunaan senjata kimia oleh siapa pun, di mana saja, dan kapan saja."
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam laporannya menyingkap bantuan negara-negara Barat untuk mendukung program senjata pemusnah massal Saddam.
Laporan PBB menulis, "Irak memasok senjatanya dari 150 perusahaan Jerman, Amerika, dan Inggris. Menurut sejumlah laporan, pemerintah Irak menerima peralatan senjata dari 80 perusahaan Jerman, 24 perusahaan Amerika, dan sekitar 12 perusahaan Inggris, serta beberapa perusahaan Swiss, Jepang, Italia, Prancis, Swedia, Brasil, dan Argentina sejak 1975.
Pada 1980-an, sebuah perusahaan swasta Amerika memperoleh lisensi dari departemen perdagangan untuk mengekspor bahan-bahan biologis dan mikroba ke Irak. Bahan-bahan ini belum diperlemah dan bisa diperbanyak. Di antara bahan itu terdapat bakteri antraks, bakteri kolera, serta kuman beracun yang disebut toksin botulinum."
Phillips Petroleum Company, sebuah anak perusahaan Amerika di Tessenderlo Belgia, mengirim gas beracun mustard dan total 500 ton thiodiglycol (TDG) kepada pemerintah Irak pada Juni 1983. Bahan-bahan ini diserahkan kepada para pejabat Irak melalui sebuah perusahaan Belanda.
Howard Teicher, seorang spesialis urusan Irak di pemerintahan Reagan, bersaksi dalam pernyataan tertulis pada 1995 bahwa Direktur CIA saat itu, William Casey menggunakan sebuah perusahaan Chile, Cardoen untuk mengirim bom curah ke Irak untuk menyerang Iran.
Penyelidikan Kongres tahun 1994 juga menemukan bahwa lusinan agen biologis, termasuk berbagai jenis antraks telah dikirim ke Irak oleh perusahaan-perusahaan AS di bawah lisensi dari departemen perdagangan.
Pada 1988, perusahaan Dow Chemical menjual pestisida senilai 1,5 juta dolar ke Irak meskipun ada kecurigaan bahan beracun itu akan digunakan untuk serangan kimia.
Juru bicara kelompok pembela pencari suaka Pro-Asyl Jerman, Heiko Kauffman mengatakan tidak ada negara seperti Jerman yang telah membantu Irak dalam pembangunan fasilitas dan gudang produksi senjata kimia.
Charles-Philippe David dalam bukunya, "La Guerre du Golfe: l'illusion de la Victoire?" menulis, "Perusahaan Jerman Karl Kolb di kompleks Samara memiliki enam pabrik produksi senjata kimia yang disebut Ahmed, Mohammad, Isa, Aani, Madia dan Qazi. Pabrik pertama dibangun tahun 1983 dan yang terakhir pada 1986."
Pabrik-pabrik di kompleks Samarra digunakan untuk memproduksi dan menimbun tiga senyawa gas mematikan yaitu gas mustard, tabun, dan asam sianida. Para ilmuwan Jerman memperkirakan kapasitas produksi kompleks Samarra ribuan ton per tahun. Ini juga dikonfirmasi dalam laporan 1984 yang diterbitkan oleh Dinas Intelijen Pusat AS (CIA).
Laporan itu mengatakan bahwa pabrik-pabrik di Sammara memproduksi gas saraf yang mematikan.
Sebuah perusahaan Belgia telah membangun 17 pangkalan udara dan beberapa pangkalan militer di Irak selama empat tahun.
Televisi ABC Amerika dalam sebuah dokumenter "A Line in the Sand" pada 11 September 1990, mengakui bahwa pemerintah Barat termasuk AS, Inggris, dan Jerman merupakan para pendukung utama rezim Saddam dan bahkan dalam menyediakan bahan dan teknologi untuk produksi senjata kimia.
Meski Irak telah menggunakan hampir 300 senjata kimia untuk menyerang Iran selama perang yang dipaksakan, namun baik Barat maupun Dewan Keamanan PBB tidak pernah secara tegas mengutuk kejahatan ini atau membawa kasus ini ke Dewan.
Tim pertama pencari fakta PBB yang terdiri dari empat ahli senjata kimia dari Swedia, Australia, Spanyol, dan Swiss dikirim ke Iran atas permintaan resmi Tehran pada Maret 1984. Mereka mengkonfirmasi penggunaan gas mustard dan tabun terhadap para pejuang Iran. Namun, Dewan Keamanan hanya mengeluarkan sebuah pernyataan yang meminta kedua pihak yang bertikai untuk mematuhi Protokol Jenewa 1925, tanpa menyebut Irak sebagai pengguna senjata kimia.
Pakar hukum internasional Universitas Tehran, Abbasali Kadkhodaei menuturkan, "Dalam serangan ini, bom-bom kimia senjaga menargetkan warga sipil ketimbang personil militer. Dalam 378 kasus serangan kimia Saddam selama delapan tahun perang yang dipaksakan atas Iran, warga sipil di daerah-daerah seperti Baneh, Marivan, Sardasht, Piranshahr, Somar, dan… Di Irak, orang-orang Halabcheh, Faw, Kepulauan Majnun dan... telah menjadi korban serangan kimia Saddam. Berdasarkan data yang ada, lebih dari 50.000 orang gugur dan terluka dalam serangan itu."
Tim ahli PBB yang telah mengunjungi Iran, kemudian melaporkan jumlah warga Iran korban serangan kimia dan menyebut serangan itu sebagai "mengerikan." Temuan PBB tentang penggunaan senjata kimia Irak dari tahun 1984-1985 menunjukkan bahwa serangan ini berlanjut pada skala yang lebih luas dari tahun-tahun sebelumnya.
Pada Maret 1988, Irak juga menggunakan senjata kimia di Halabche yang merupakan wilayah Kurdi. Menurut laporan, 5.000 orang tewas akibat keracunan gas sarin dan mustard di Halabcheh.
AS dan sekutunya bukan hanya tidak marah atas serangan kimia yang dilakukan rezim Saddam, tetapi mereka bahkan menggunakan pengaruhnya di Dewan Keamanan untuk mencegah kecaman terhadap Irak di PBB. (RM)