Iran, 40 Tahun Pasca Revolusi Islam (27)
-
AS telah melancarkan permusuhan terhadap Iran selama 40 tahun terakhir.
Dewasa ini diskursus Revolusi Islam telah melintasi perbatasan dan mendapat tempat di hati bangsa-bangsa. Diskursus ini mendorong persatuan umat Islam dan perlawanan terhadap arogansi global.
Tidak seperti kebanyakan revolusi lain di dunia, Revolusi Islam tidak pernah mengkhianati nilai-nilai dan cita-cita awalnya, dan dengan gerakan evolusinya telah menjadi simbol gerakan menuntut kebenaran di kancah politik dan sosial.
Kemenangan Revolusi Islam Iran telah mematahkan sistem monopoli dalam hubungan internasional dan dengan kapasitas yang dimilikinya, Republik Islam Iran memainkan peran yang efektif dan berkelanjutan dalam isu-isu seperti, memerangi arogansi kekuatan-kekuatan dunia.
Basis sistem Republik Islam berpijak pada nilai-nilai agama dan penolakan terhadap kebijakan unilateral kekuatan dunia serta penentuan nasib bangsa-bangsa dengan tangan mereka sendiri. Dengan prinsip ini dan melalui strategi dan metode inovatif, Republik Islam mengubah ancaman menjadi peluang. Relitas ini mencerminkan kekuatan lunak Revolusi Islam Iran, yang sukses memperkuat spirit perlawanan anti-hegemoni di tengah bangsa-bangsa tertindas.
Samuel Huntington, pencetus teori Benturan Peradaban (Clash of Civilizations) menuturkan, "Islam yang menganggap dirinya sebagai rival Barat adalah sebuah bahaya utama bagi tatanan global Amerika."
Statemen para pejabat AS dari masa lalu hingga sekarang merupakan sebuah bukti nyata dalam hal ini. Misalnya saja, mantan Wakil Menlu AS untuk Urusan Timur Tengah, Martin Indyk pernah berkata, "Revolusi Islam harus diberi hukuman berat sehingga menjadi pelajaran bagi negara-negara yang ingin bergerak independen dan melepaskan diri dari hegemoni AS."

Namun, terlepas dari semua permusuhan ini, Revolusi Islam tetap menang dan kerkibar. Revolusi ini menghadirkan independensi bagi Iran dan menghidupkan semangat kemerdekaan untuk dipersembahkan kepada dunia. Revolusi Islam memberikan sebuah keteladanan untuk hidup mandiri bagi bangsa-bangsa tertindas.
Oleh sebab itu, AS menjalankan berbagai jenis konspirasi, sanksi, dan tuduhan palsu terhadap Iran selama empat dekade terakhir, dan bahkan mengambil langkah spesifik di wilayah Asia Barat dengan maksud mengisolasi Iran dan membangun citra buruk tentang Tehran.
Sejak dulu dan pasca pendudukan Kedutaan Besar AS (sarang spionase) di Tehran oleh mahasiswa Iran, Washington meluncurkan kampanye politik besar-besaran dan intervensi militer. Mereka mengerahkan armada tempurnya ke Teluk Persia dan mengumumkan kesiapan untuk menyerang Iran kapan pun, tetapi semua skenario ini gagal.
Di antara tindakan konfrontatif dan agresif AS terhadap Iran pasca kemenangan Revolusi Islam adalah operasi militer di Gurun Tabas, pelaksanaan kudeta, upaya mengisolasi Iran di arena internasional, dan memasukkan Iran dalam daftar poros kejahatan. Namun semua upaya ini sia-sia dan tidak berbuah hasil.
"Permusuhan AS terhadap Iran memiliki akar yang dalam. Iran tidak dapat dimaafkan karena menggulingkan diktator yang dipasang oleh Washington melalui kudeta militer tahun 1953, kudeta yang menghancurkan sistem parlementer Iran… Dunia lebih kompleks dari yang fenomena bisa dijelaskan dengan mudah, tetapi saya pikir akar masalahnya bersumber dari ini," ujar intelektual Amerika, Noam Chomsky.
Menurutnya, AS dan Israel tidak dapat mentolerir Iran sebagai kekuatan independen dan itulah sebabnya, Washington dan sekutunya telah "menyiksa" rakyat Iran selama beberapa dekade terakhir.
Sekarang, ucapan, perilaku, dan pemikiran yang sama sedang diulang kembali oleh para pejabat Washington saat ini.
Kesalahan strategis terbesar AS adalah membandingkan Republik Islam Iran dengan rezim-rezim yang lemah dan boneka. Mereka berpikir dapat mengancam atau memaksa Tehran untuk menyerah seperti di masa lalu. Namun, realitas empat dekade terakhir mencatat pengaruh Revolusi Islam telah melampaui batas-batas geografi Iran. Pengaruh Revolusi Islam mendorong kebangkitan bangsa-bangsa lain untuk menuntut keadilan dan melawan penindasan.
Imam Khomeini ra dalam surat wasiatnya menulis, "Tidak perlu diragukan bahwa Revolusi Islam Iran berbeda dengan semua revolusi lain, baik dalam kemunculannya, kualitas perlawanan, maupun dalam motivasi revolusi dan kebangkitan."

Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Sayid Ali Khamenei menuturkan Revolusi Islam terus eksis karena berbicara tentang kebenaran.
"Pesan revolusi adalah pesan kebenaran. Ini ciri khas kebenaran, ini adalah sebuah pohon yang suci, baik, dan tunas yang sehat yang tumbuh di tanah subur. Akarnya kuat, ranting dan daunnya juga menjulang tinggi, ia selalu memberikan buah dan selalu berbuah di setiap musim. Jadi, perkataan yang benar akan selalu abadi," ungkapnya.
Republik Islam Iran selama empat dekade terakhir berdiri tegak membela kebenaran dan musuh tidak dapat menampar bangsa ini, tetapi bangsa ini yang akan menampar mereka.
Para pejabat AS baik dulu dan sekarang akan melakukan apapun untuk merongrong Iran, tetapi mereka harus tahu siapa pun yang menyerang bangsa Iran, pasti ini akan merugikan mereka sendiri.
"Permusuhan mengakar AS dengan bangsa Iran telah membuat mereka salah perhitungan dan mengulangi kesalahan-kesalahan di masa lalu," tegas Ayatullah Khamenei.
Seorang analis politik Iran, Naser Hadiyan mengulas tentang alasan permusuhan Amerika terhadap Iran dan intensifitas permusuhan ini di era pemerintahan Trump.
"Tekanan ini karena rezim Zionis, Trump mengejar kebijakan perubahan rezim di Iran. Di sini, ada enam gerakan yang mengejar politik perubahan rezim Iran sebagai prioritas kebijakan AS yaitu: rezim Zionis, lobi-lobi Israel, Arab Saudi, lobi-lobi Saudi, kelompok munafik, dan kubu konservatif baru," ujar Hadiyan.
"Kelompok-kelompok itu selama periode berbeda presiden AS, berusaha memperkenalkan Iran sebagai ancaman utama bagi komunitas internasional, tetapi Trump berkesimpulan bahwa esensi sistem di Iran sebagai sumber masalah, bukan perilaku tertentu. Dia kini berada di bawah tekanan Israel lebih dari sebelumnya untuk mengejar kebijakan perubahan rezim di Iran," tambahnya.
Banyak pengamat internasional percaya bahwa kebijakan luar negeri Amerika sekarang fokus pada kontrontasi dengan Iran. Namun, pengalaman 40 tahun lalu menunjukkan bahwa konfrontasi ini akan gagal dan AS harus kembali menelan rasa malu. (RM)