Iran, 40 Tahun Pasca Revolusi Islam (31)
-
Kudeta 19 Agustus 1953.
Amerika Serikat tidak pernah mengesampingkan tindakan bermusuhan terhadap Iran selama 40 tahun terakhir. Dokumen sejarah mencatat banyak kasus intervensi langsung dan tidak langsung AS dalam urusan internal Iran. Meski begitu, Revolusi Islam mampu menghadapi segala rintangan dan terus mengukir berbagai kemajuan.
Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Sayid Ali Khamenei dalam sebuah pidato mengatakan, "Kami berburuk sangka dengan para pejabat Amerika dan sama sekali tidak percaya pada mereka. Pemerintah AS tidak bisa dipercaya, angkuh, tidak rasional, pelanggar janji, dan sebuah rezim yang dikuasai oleh jaringan Zionisme internasional. Karena Zionisme, mereka terpaksa harus bersikap lunak di hadapan rezim penjajah."
Alasan Ketidakpercayaan pada AS
Sejarah mencatat bahwa lebih dari setengah abad sebelum revolusi, AS selalu menghalangi dan menumpas setiap perjuangan rakyat Iran dalam menuntut hak-hak konstitusionalnya.
Daftar permusuhan AS terhadap Iran antara lain; melakukan kudeta 28 Mordad (19 Agustus 1953), memaksakan undang-undang kapitulasi untuk memperbudak rakyat Iran, operasi militer di Gurun Tabas, merancang kudeta Nojeh, menerapkan sanksi ekonomi dan politik, memprovokasi dan mendukung rezim Saddam dalam agresi ke Iran, menembak jatuh pesawat sipil Iran dengan 290 penumpang, mengorganisir dan mendukung anasir anti-revolusi untuk merusak keamanan dengan target penggulingan sistem, serta melancarkan Iranphobia dan propaganda bohong tentang Revolusi Islam Iran.
AS juga memblokir aset, kekayaan, dan peralatan militer Iran yang sudah dibeli sebelum revolusi, menekan negara-negara regional dan dunia agar tidak melakukan bisnis dengan Iran, membentuk dan mendukung kelompok takfiri dan teroris untuk merusak keamanan kawasan dan melawan Iran, dan mendukung para perusuh di Iran dan anasir anti-revolusi di luar negeri dalam konteks revolusi beludru.

AS Pelaku Kudeta 28 Mordad
Tepat 60 tahun setelah kudeta 28 Mordad, Dinas Intelijen Pusat AS (CIA) pada 19 Agustus 2013 mengakui secara terbuka bahwa mereka berada di balik kudeta penggulingan Perdana Menteri Iran yang terpilih secara demokratis, Mohammad Mossadegh.
Dokumen yang dibuka ke publik ini menyebutkan, "Kudeta militer dilakukan di bawah arahan CIA sebagai tindakan dari pelaksanaan kebijakan luar negeri Amerika Serikat." CIA menggunakan sandi TPAJAX (Operation Ajax) untuk plot penggulingan Mossadegh pada 19 Agustus 1953. Dokumen itu juga menyinggung kehadiran Kepala Divisi CIA untuk Timur Dekat dan Afrika, Kermit Roosevelt Jr di Tehran menjelang kudeta. Roosevelt adalah cucu Presiden Theodore Roosevelt dan sepupu jauh Presiden Franklin Roosevelt.
Dokumen CIA menjelaskan secara detail bagaimana AS dengan bantuan Inggris melakukan kudeta terhadap Mosaddeq. Dinas intelijen AS dan Inggris untuk mencapai tujuannya, menjalankan sebuah proyek yang rumit secara bersamaan. Ia terdiri dari beberapa langkah; menggunakan propaganda untuk melemahkan Mossadegh secara politik, mendorong Shah Pahlevi untuk bekerja sama, menyuap anggota parlemen, mengorganisir pasukan keamanan, dan memulai demonstrasi publik.
CIA pada salah satu bagian dari dokumen kudeta menulis, "Tujuan operasi AJAK adalah menggulingkan pemerintahan Mohammad Mossadegh, memulihkan kekuasaan Shah, dan mengganti pemerintahan Mossadegh dengan sebuah pemerintah yang akan mengatur Iran dengan kebijakan konstruktif." AS dan Inggris juga ingin menghadirkan sebuah pemerintah yang membuat Barat bisa mencapai kontrak minyak dengan Iran.
Roosevelt mengatakan, "Itu adalah kudeta pertama yang sukses oleh CIA terhadap sebuah pemerintahan asing."
Dokumen 28 Mordad menunjukkan bahwa AS tidak akan pernah membiarkan Iran menjadi sebuah negara independen, karena ini akan mencegah upaya memajukan kebijakan hegemoni AS di wilayah Timur Tengah.

Seorang analis politik dan sejarah Iran, Doktor Mohammad Shahedi di sebuah artikelnya menulis, "Penghinaan dan sikap kurang ajar AS terhadap sistem Republik Islam terjadi ketika suku pribumi Amerika belum melupakan tentang pembantaian dan pengusiran mereka oleh AS dari tanah leluhurnya. Rakyat Jepang menderita secara fisik dan mental akibat bom atom Hiroshima dan Nagasaki, dan rakyat Vietnam belum melupakan pembunuhan warga sipil oleh AS."
"Rakyat tertindas Afghanistan dan Irak sampai sekarang belum melupakan pendudukan negara mereka, pembunuhan perempuan dan anak-anak, kekacauan, dan kekerasan dengan alasan memerangi terorisme. Begitu pula dengan rakyat tertindas Palestina, mereka belum melupakan dukungan AS kepada rezim pembunuh anak-anak yang sejauh ini telah membunuh ribuan anak-anak, remaja dan warga sipil Palestina, serta mengusir mereka dari rumah dan tanah airnya," ungkap Doktor Shahedi.
Pakar di Pusat Riset Politik-Militer Rusia, Anatoly Tsyganok mengatakan, kebencian terhadap Amerika Serikat akibat kebijakan arogan di era kepresidenan Donald Trump tumbuh secara signifikan di tingkat global. Menurutnya, pendekatan Trump terhadap negara-negara lain bertentangan dengan prinsip hubungan internasional.
Tsyganok menjelaskan bahwa Washington dengan menerapkan kebijakan sanksi dan tekanan terhadap negara-negara lain agar mendukung kebijakannya, telah membuat atmosfer kebencian terhadap Amerika di tingkat internasional semakin meningkat.
Kebijakan penggulingan rezim sudah menjadi sebuah strategi utama AS untuk menancapkan pengaruhnya, dan kebijakan ini tidak hanya diterapkan untuk Iran. Mantan Presiden AS Barack Obama dalam bukunya "The Audacity of Hope" yang terbit pada tahun 2006 dan ditulis saat ia menjadi senator, menyebut kudeta 28 Mordad sebagai contoh dari campur tangan AS yang melampaui batas dan membuat persekutuan dengan orang kuat.
Mengacu pada ketidakpercayaan panjang Iran pada AS, Obama mengatakan pada sidang Majelis Umum PBB pada September 2013, "Ketidakpercayaan ini memiliki akar yang dalam. Orang-orang Iran telah lama mengeluhkan sejarah intervensi AS dalam urusan mereka, dan peran AS dalam menggulingkan pemerintah Iran."
Pada dasarnya, permusuhan dan intervensi dalam urusan internal Iran merupakan salah satu bagian dari kebijakan pemerintah Amerika terhadap Republik Islam yang tak pernah ada akhirnya.
Operasi Gurun Tabas oleh AS juga merupakan persiapan untuk melancarkan sebuah serangan militer terhadap Iran pada tahun-tahun pertama pasca kemenangan Revolusi Islam. Namun, operasi itu gagal begitu mulai dijalankan. (RM)