Iran, 40 Tahun Pasca Revolusi Islam (32)
-
Ilustrasi Bendera Nasional Iran dan Presiden AS Donald Trump.
Selama lebih dari setengah abad, Amerika Serikat melakukan banyak upaya untuk menginfiltrasi Iran, di mana salah satunya adalah melancarkan kudeta terhadap pemerintahan demokratis Iran pada 28 Mordad (19 Agustus 1953).
Senator Demokrat, Bernie Sanders dalam wawancara dengan CNN tentang keterlibatan AS dalam kudeta 28 Mordad mengatakan, "Penggulingan Perdana Menteri Mohammad Mossadegh, yang terpilih secara demokratis di Iran adalah bencana. Oleh karena itu, saya tidak berpikir bahwa Amerika memiliki hak secara hukum atau moral untuk menggulingkan pemerintah-pemerintah, dan upaya seperti ini sering kontra-produktif serta memicu banyak ketidakstabilan di berbagai daerah."
Namun, Amerika Serikat tidak pernah mau belajar dari sejarah. Kali ini Donald Trump, Presiden AS telah mengejutkan semua orang. 40 tahun setelah kemenangan revolusi, Trump ingin menunjukkan kepada dunia bahwa dia mampu memaksa bangsa Iran bertekuk lutut.
Dengan retorika, langkah tergesa-gesa, sikap kontroversial, dan gayanya yang aneh, Trump mencoba untuk mengubah proses pengambilan keputusan dan strategi di AS. Dia ingin mengembalikan kredibilitas yang hilang dari AS dengan cara melanggar komitmen negara itu dan menyelamatkan AS dari kegagalan dan kejatuhan moral serta kembali memerintah dunia.
Dalam pidatonya yang kasar tentang Iran dan kesepakatan nuklir (JCPOA), Trump mengumumkan sebuah strategi baru AS dan melecehkan JCPOA. Ini adalah sebuah kesepakatan yang dicapai setelah 13 tahun perundingan yang alot dan kompleks serta dianggap sebagai sebuah model diplomasi dan negosiasi dalam tatatan internasional demi menjaga perdamaian dan keamanan di kawasan dan dunia.
Dia menyebut JCPOA sebagai perjanjian terburuk dalam sejarah Amerika dan sudah sering melecehkan jerih payah komunitas internasional ini. Pada 8 Mei 2018, Trump secara sepihak mengumumkan penarikan AS dari JCPOA sehingga leluasa melanjutakan permusuhan terhadap Iran.
Trump berulang kali menghina rakyat dan Republik Islam Iran selama hampir dua tahun terakhir, dan menyebut bangsa Iran – dengan sejarah dan peradabannya yang besar – sebagai teroris.
Dia bahkan mendistorsikan nama asli Teluk Persia dan menggantikannya dengan nama palsu "Teluk Arab", padahal pemerintah AS sejak dulu mengakui nama Teluk Persia dan bahkan nama ini berkali-kali disebut dalam dokumen dan medali yang diberikan kepada para veteran perang negara itu.

Trump secara terbuka berbicara tentang penggulingan sistem negara Iran, padahal berdasarkan aturan internasional, ia merupakan bentuk intervensi dalam penentuan nasib dan kemerdekaan suatu negara serta bertentangan dengan hukum internasional.
Pemerintah AS menuduh Korps Garda Revolusi Islam Iran (Pasdaran) – salah satu kekuatan Angkatan Bersenjata Iran – mendukung terorisme. Sejarah mencatat bahwa satu-satunya kekuatan yang mampu menghentikan laju dan menghancurkan teroris Daesh dan kelompok takfiri dukungan Barat adalah pasukan Pasdaran Iran.
Menurut berbagai dokumen dan pengakuan para pejabat Washington, pihak yang membentuk, mempersenjatai, dan mendukung terorisme di wilayah Timur Tengah adalah Barat dan Amerika sendiri.
Latar belakang sejarah dan kinerja AS di lembaga-lembaga internasional khususnya Dewan Keamanan PBB, dipenuhi dengan rapor merah dan catatan kelam. Meskipun negara itu mengklaim mengembangkan demokrasi, kebebasan, perdamaian, dan berkontribusi pada tatanan global.
Pada dasarnya, AS terjebak dalam sebuah paradoks serius di kancah internasional, karena selalu bertindak selektif dan tebang pilih.
Negeri Paman Sam akan menutup mata dari apapun selama di sana ada kepentingan dan sejalan dengan kebijakan hegemoniknya. Apapun yang terjadi akan dikesankan sebagai baik dan sah, yaitu membalikkan posisi penindas dan yang tertindas, dan di kasus lain mereka akan mengambil posisi yang berdeda pula.
Pengamat isu-isu internasional, Sayid Hadi Sayid Afqahi dalam menganalisa perilaku Trump, menuturkan, "Statemen-statemen Trump butuh perenungan. Dia berulang kali menekankan bahwa rezim Iran harus diubah dengan cara apapun, di mana salah satu cara yang dipertimbangkan Trump adalah serangan teroris. Dia secara terbuka mengaku bahwa AS bisa membangkitkan kekacauan di dalam Iran."

Para pejabat Washington sudah sering menggunakan frasa "penggulingan" ketika berbicara tentang Iran, bahkan jika ini pun dibantah, tetapi tidak ada keraguan bahwa melemahkan Republik Islam memiliki kepentingan strategis bagi AS. Tujuan Amerika adalah mendorong Iran ke arah krisis.
Seorang pengamat politik terkemuka Amerika, Noam Chomsky mengatakan, "… AS adalah pemicu atas banyak perang dan konflik internasional serta pelaku penggulingan pemerintah lewat kudeta, seperti kudeta 28 Mordad terhadap pemerintahan yang sah Iran. Mendukung kelompok-kelompok teroris dan Daesh adalah contoh lain dari pelanggaran norma oleh AS. Namun, AS justru menuding Iran sebagai pemicu instabilitas di kawasan."
Kebijakan AS untuk melawan sistem independen Republik Islam Iran, tidak berubah selama 40 tahun terakhir dan hanya cara-caranya saja yang berbeda. Selama masa itu, strategi AS fokus pada menciptakan kekhawatiran, pesimisme, dan ketidakpercayaan terhadap Iran, mengesankan peran regional Iran sebagai destruktif, dan merusak hubungan Republik Islam di tengah komunitas internasional.
Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Sayid Ali Khamenei dalam sebuah pertemuan dengan para komandan militer mengatakan, "Salah satu dari titik kekuatan utama sistem ini adalah resistensi di hadapan emosi dan kemarahan kekuatan adidaya."
Menurutnya, salah satu instrumen dari kekuatan agresif untuk menakut-nakuti bangsa dan pemerintah negara lain serta memaksa mereka agar memenuhi kepentingan ilegalnya adalah berbicara emosional dan membesar-besarkan dirinya.
Ayatullah Khamenei menuturkan bahwa Washington telah melakukan berbagai konspirasi terhadap Tehran sejak awal kemenangan Revolusi Islam.
"Jika Republik Islam dan bangsa Iran harus takut terhadap kekuatan lain dan mundur dari hadapan mereka, maka hari ini sudah tidak ada lagi jejak dan tanda dari Iran dan bangsa Iran," tegasnya. (RM)