Iran, 40 Tahun Pasca Revolusi Islam (34)
-
Para penguasa AS selalu memiliki program untuk melawan Revolusi Islam Iran.
Kedutaan Besar Amerika Serikat di Tehran terus memainkan peran sentral dalam campur tangannya di Iran sampai berakhirnya era kekuasaan Shah Reza Pahlevi. Keputusan-keputusan negara disusun dan diarahkan dari markas spionase itu selama era Pahlevi.
Di bulan-bulan terakhir kekuasaan Pahlevi, Duta Besar AS untuk Iran waktu itu, William Healy Sullivan berkesimpulan bahwa para pemimpin oposisi perlu diberikan peran yang lebih besar untuk terlibat dalam urusan Iran. Peran ini harus lebih besar dari kesiapan yang dimiliki Shah. Untuk itu, Shapour Bakhtiar, seorang lulusan Barat menerima penunjukannya sebagai perdana menteri.
Di era pasca kemenangan Revolusi Islam, Kedutaan AS tetap menjadi sarang spionase dan markas komando fitnah sebelum diduduki oleh para aktivis mahasiswa pengikut garis Imam Khomeini ra.
Dokumen yang diperoleh dari sarang spionase itu menunjukkan bahwa Kedutaan AS menaruh perhatian khusus pada isu etnis terutama Kurdistan dan telah mengirim banyak informasi ke Washington tentang potensi memicu kebangkitan etnis di wilayah tersebut.
Mantan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton dalam wawancara terpisah dengan BBC Persian dan VoA Persian pada 26 Oktober 2011, menyinggung permintaan maaf resmi mantan pendahulunya, Madeleine Albright kepada bangsa Iran karena peran Amerika pada kudeta tahun 1953, dan kembali menyampaikan penyesalan atas terjadinya peristiwa itu.
Situasi yang tidak stabil pasca revolusi dimanfaatkan oleh Dinas Intelijen Pusat AS (CIA) untuk menyusup ke daerah-daerah kunci demi mencegah penyebaran lebih luas revolusi. Kedutaan AS membentuk jaringan mata-mata dan spionase dengan tujuan untuk memperlemah kekuatan asli revolusi dan memperkuat kubu liberal.
Jadi, kebijakan AS terhadap Iran sejak kudeta 28 Mordad sampai sekarang adalah intervensi langsung di Iran dengan tujuan politik dan ekonomi demi membentuk sebuah pemerintahan pro-Amerika di Tehran.

Mengenai dokumen campur tangan AS pada kudeta 28 Mordad, majalah Foreign Policy menulis, "Dinas intelijen AS dan Inggris untuk mencapai tujuannya dalam kudeta, menjalankan sebuah proyek yang rumit secara bersamaan. Ia terdiri dari beberapa langkah; menggunakan propaganda untuk melemahkan Mohammad Mossadegh secara politik, mendorong Shah Pahlevi untuk bekerja sama, menyuap anggota parlemen, mengorganisir pasukan keamanan, dan memulai demonstrasi publik."
CIA pada salah satu bagian dari dokumen kudeta menulis, "Tujuan operasi AJAK adalah menggulingkan pemerintahan Mohammad Mossadegh, memulihkan kekuasaan Shah, dan mengganti pemerintahan Mossadegh dengan sebuah pemerintah yang akan mengatur Iran dengan kebijakan konstruktif."
Amerika dan Inggris juga ingin menghadirkan sebuah pemerintah yang membuat Barat bisa mencapai kontrak minyak dengan Iran.
Mantan Presiden AS Barack Obama secara terbuka mengakui peran Washington dalam kudeta 28 Mordad, yang menyebabkan penggulingan pemerintahan nasional Mossadegh dan penguatan pilar-pilar kekuasaan Shah.
Dalam pidatonya di Universitas Al Azhar Kairo pada 2009, Obama kembali menyinggung masalah itu dan ia lagi-lagi mengungkit peran Amerika dalam kudeta di Iran selama pidatonya di Majelis Umum PBB pada tahun 2013.
Obama dalam bukunya "The Audacity of Hope" yang terbit pada tahun 2006 dan ditulis saat ia menjadi senator, menyebut kudeta 28 Mordad sebagai contoh dari campur tangan AS yang melampaui batas dan membuat persekutuan dengan orang kuat.
Meski demikian, doktrin Amerika – pasca kemenangan Revolusi Islam – disusun atas orientasi penggulingan Republik Islam Iran. Tindakan-tindakan agresif AS termasuk operasi Gurun Tabas dan Revolusi Beludru adalah dua gerakan subversif yang telah gagal.
AS melaksanakan banyak skenario untuk menghancurkan Revolusi Islam. Pemerintahan konservatif pimpinan George W. Bush juga mengejar kebijakan perubahan rezim di Iran. Misi ini telah menjadi salah satu tujuan strategis Timur Tengah Bush.
Sebagian pejabat pemerintah AS – kebanyakan dari Departemen Luar Negeri – percaya Republik Islam Iran dapat ditumbangkan melalui kekuatan lunak seperti, Revolusi Beludru, memperkuat anasir-anasir pembangkang di dalam negeri, dan tekanan ekonomi.

Sebagian lain seperti Wakil Presiden AS waktu itu, Dick Cheney berpendapat bahwa tidak ada opsi lain untuk menggulingkan sistem Republik Islam Iran kecuali serangan militer dan penggunaan kekuatan keras.
Dengan berkuasanya kubu Demokrat dan secara khusus pribadi Obama – yang mengusung slogan perubahan dalam kebijakan luar negeri dan internasional AS, – strategi berurusan dengan Iran fokus pada penggunaan kekuatan lunak.
Pendapat para ahli teori Neo-Liberal, terutama Joseph S. Nye, penemu teori soft power, telah mempercepat tren ini. Dia merekomendasikan smart power yaitu kombinasi antara kekuatan keras dan kekuatan lunak.
Upaya untuk menciptakan perpecahan antara pemerintah dan rakyat serta menyediakan kondisi untuk kemunculan Revolusi Beludru di Iran, termasuk bagian dari strategi Washington terhadap Tehran untuk penggulingan rezim secara lunak.
Dengan tampilnya Donald Trump, tindakan bermusuhan AS terhadap Iran telah memasuki fase baru, di mana unsur-unsur utamanya adalah sanksi dan ancaman penggunaan kekuatan militer. Dia membuka kembali era sanksi dengan tujuan untuk merusak perekonomian Iran.
Trump telah memalingkan diri dari sebuah kesepakatan yang sangat penting dan bersejarah dengan menarik diri dari perjanjian nuklir Iran (JCPOA). Dia kemudian menekan negara-negara lain agar mengisolasi Tehran dan merusak perekonomian Republik Islam. (RM)