Iran, 40 Tahun Pasca Revolusi Islam (35)
-
Ilustrasi peristiwa pendudukan sarang spionase AS di Tehran oleh mahasiswa Iran.
Sejak awal kemenangan revolusi, Republik Islam Iran telah menghadapi permusuhan dan konspirasi dari Amerika Serikat, tetapi semua itu bisa dilewati satu demi satu.
Jika membuka kembali catatan sejarah, permusuhan itu dimulai setelah kemenangan revolusi pada Februari 1979 yaitu ketika para perwira Dinas Intelijen Pusat AS (CIA) – dengan memanfaatkan situasi genting pasca revolusi – mencoba menyusup ke daerah-daerah penting di Iran. Mereka berusaha memprovokasi sentimen agama dan mazhab serta menciptakan ancaman keamanan bagi revolusi.
Kedutaan Besar AS di Tehran dengan membentuk jaringan mata-mata, memfokuskan diri untuk menyulut krisis di Iran, memperlemah kekuatan revolusioner, dan menciptakan jarak antara pemimpin dan kaum muda.
Namun, kegiatan spionase Kedubes AS terbongkar setelah mahasiswa revolusioner pengikut Imam Khomeini ra menemukan ratusan dokumen rahasia AS pada 4 November 1979. Washington ternyata memiliki misi untuk memperlemah kelanjutan gerakan revolusioner di Iran. Tetapi, skenario ini berhasil digagalkan dengan menduduki Kedubes AS.
Pemerintah AS menuduh Iran telah melakukan penyanderaan di kedutaan sebagai upaya untuk menutupi skandal sarang spionase. Amerika kemudian menyusun rencana operasi militer di Republik Islam.
Melalui rencana yang dikoordinasikan dengan beberapa negara tetangga Iran, AS mengerahkan beberapa pesawat militer ke daerah terpencil di timur Iran pada malam hari, 25 April 1980. Operasi Eagle Claw memanfaatkan bandara tua di Gurun Tabas. Namun, badai pasir yang datang tiba-tiba membuat armada tempur AS bertabrakan di udara dan menghancurkan beberapa di antaranya sehingga operasi ini gagal.

Setelah bangkai pesawat dan helikopter militer AS di Gurun Tabas diketahui oleh otoritas Iran, Presiden AS waktu itu, Jimmy Carter mengakui kegagalan operasi rahasia itu.
Setelah gagal di Gurun Tabas, AS merancang dua skenario lain untuk menutupi kegagalan tersebut. Skenario pertama, merencanakan sebuah kudeta di Pangkalan Udara Nojeh di kota Hamedan.
Kudeta dengan sandi Neqab (topeng) merupakan sebuah upaya kolektif yang melibatkan CIA, rezim Ba'ath Irak, negara-negara di selatan Teluk Persia, dan sejumlah tentara anti-Revolusi Islam.
Skenario jahat ini juga bocor sebelum dilaksanakan. Orang-orang yang terlibat ditangkap dan konspirasi Amerika kembali terkuak ke publik.
Skenario kedua AS merencanakan sebuah serangan militer besar-besaran ke Iran, yang akhirnya dilakukan oleh rezim Ba'ath Irak. Agresi Saddam terhadap Iran dilakukan dengan lampu hijau dari Washington.
Jadi, pasca kemenangan Revolusi Islam, badan-badan intelijen AS secara aktif terlibat dalam menyusun konspirasi dan melaksanakan kudeta untuk menggulingkan pemerintahan demokratis di Iran.
Perang dan konspirasi yang diluncurkan Amerika dan rezim-rezim bonekanya di kawasan, tidak membawa hasil apapun kecuali kematian jutaan orang, kekacauan, dan kehancuran.
Mendukung rezim Saddam dalam agresi ke Iran, serangan ke Afghanistan pasca peristiwa 11 September dengan dalih memerangi terorisme, dan kemudian invasi ke Irak pada 2003 dengan alasan menghancurkan senjata kimia Saddam, adalah sekelumit dari kisah kekejaman AS di kawasan.

Ambisi perang AS tidak berakhir di situ. Intervensi mereka berlanjut selama satu dekade terakhir dengan mendukung Daesh dan kelompok teroris lainnya di Irak dan Suriah. Gedung Putih juga mendukung agresi Arab Saudi ke Yaman dengan tujuan menggulingkan pemerintahan yang sah dan memecah negara-negara kawasan.
Dengan catatan kelam seperti itu, sebuah kewajaran jika Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran Ayatullah Sayid Ali Khamenei menyebut kebijakan prioritas AS adalah mengobarkan perang dan mendukung para penindas.
Realitas pahit ini tidak dapat dipisahkan dari politik Negeri Paman Sam, yang menjadi sumber perang, malapetaka, dan pembunuhan bangsa-bangsa tertindas.
Harlan K. Ullman, mantan perwira Angkatan Laut AS dalam bukunya "Anatomy of Failure: Why America Loses Every War It Starts" bercerita tentang Perang Vietnam dan Perang Irak Kedua. Dia mengatakan, "Dalam sejarah AS, setiap kali tentara dikirim ke medan perang untuk tujuan yang tidak adil, maka kita akan kalah dalam perang itu."
Ullman di bagian lain bukunya itu menulis, "Ini adalah tragedi bahwa AS telah memulai banyak perang dan intervensi militer dengan berbagai alasan, yang kemudian terbukti alasan itu benar-benar keliru. AS harus meninggalkan pola pikir abad ke-20 jika ingin mencegah kekalahannya di masa mendatang."
Perilaku, sikap, dan kebijakan luar negeri Amerika selama beberapa tahun dan dekade terakhir menunjukkan bahwa para politisi Washington selalu berusaha menyusup ke dalam revolusi dan merusak keamanan Republik Islam Iran.
“Amerika sedang mencari kesempatan untuk memaksakan kehendaknya atas bangsa Iran, dan esensi Amerika saat ini adalah sama dengan esensi Amerika era Reagan, dan sama sekali tidak ada perbedaan antara Demokrat dan Republik,” kata Ayatullah Khamenei pada satu kesempatan.
Ungkapan ini pada dasarnya menjelaskan tentang tujuan AS di tingkat regional dan internasional, yang menjadi penyebab utama atas banyak masalah dan persoalan bangsa-bangsa regional dan dunia. (RM)