Iran, 40 Tahun Pasca Revolusi Islam (38)
Sanksi Amerika Serikat telah menjadi bagian utama dari kebijakan agresif negara itu terhadap Iran selama 40 tahun terakhir. Para pejabat Washington terus berusaha menghambat kemajuan Iran sejak kemenangan Revolusi Islam. Sanksi adalah salah satu instrumen mereka untuk mencapai tujuan itu.
Daftar panjang sanksi AS terhadap Iran kembali ke peristiwa pasca pendudukan sarang spionase Amerika (kedutaan negara itu) di Tehran.
Pada 14 November 1979, Presiden AS waktu itu, Jimmy Carter mengeluarkan dekrit yang memerintahkan pemblokiran rekening Iran di Amerika menyusul terbongkarnya skandal spionase mereka di Iran. Selanjutnya, Washington memberlakukan sanksi ekonomi besar-besaran terhadap Tehran pada 1980 dan secara resmi mengumumkan penerapan blokade ekonomi.
Sanksi tersebut menjadi awal kisah dari pasang-surutnya sanksi AS terhadap Iran. Sanksi ini terus diperluas dan diperketat dengan berbagai alasan dan sebagai alat untuk mengancam serta mempertahankan arogansinya terhadap Republik Islam.
Ketika bom meledak di barak militer AS di Beirut, Lebanon pada 1984, pemerintah AS langsung menuding Iran sebagai pelakunya dan dengan alasan ini, mereka memperpanjang daftar sanksinya terhadap Tehran. Pada masa itu, nama Iran masuk dalam daftar negara-negara pendukung terorisme versi Amerika.
Di bidang investasi dan bisnis, Presiden AS waktu itu, Bill Clinton pada 30 April 1995 mengumumkan bahwa ia akan menerapkan larangan komprehensif mengenai investasi dan perdagangan Amerika di Iran. Undang-Undang Sanksi Iran dan Libya 1996 (The Iran and Libya Sanctions Act of 1996 -- ILSA) adalah sebuah tindakan bermusuhan baru yang melarang investasi perusahaan non-Amerika di sektor energi Iran.
Clinton kemudian memberlakukan sanksi yang lebih luas terhadap Iran di bawah kebijakan D'Amato Act.
Tren ini semakin meningkat pada 2001, dan muncul dua kebijakan baru terkait sanksi ekonomi AS terhadap Iran. Pertama, pengenaan sanksi ekonomi terhadap individu dan entitas non-pemerintah, dan kedua, perluasan sanksi secara otomatis.
Sejalan dengan kebijakan itu, Departemen Keuangan AS menjatuhkan sanksi keuangan besar-besaran terhadap Iran, yang mencakup berbagai paket termasuk larangan pengiriman kado senilai lebih dari 100 dolar dan larangan bisnis dengan perusahaan-perusahaan Iran.
Pada 25 Oktober 2007, Departemen Keuangan AS memasukkan nama bank-bank Iran serta sejumlah lembaga dan perusahaan yang berafiliasi dengan Korps Garda Revolusi Islam (Pasdaran) ke daftar sanksi. Dengan memanfaatkan kekuatan lobi-lobi Zionis termasuk AIPAC, Bank Dunia juga melarang negara lain untuk memberikan layanan kepada bank dan lembaga-lembaga tersebut.
Barack Obama selama kampanye pemilu presiden AS, menyatakan kesiapan untuk berunding dengan Iran tanpa pra-syarat. Namun pada 12 Maret 2009, ia ikut memperpanjang situasi darurat nasional terhadap Iran.
Obama menggambarkan Iran sebagai "ancaman yang tidak biasa dan luar biasa" bagi keamanan nasional AS. Dia mengklaim tindakan dan kebijakan pemerintah Iran bertentangan dengan kepentingan AS di Timur Tengah dan merupakan “ancaman yang tidak biasa dan luar biasa” terhadap keamanan nasional dan kebijakan luar negeri AS.
Di penghujung 2011, AS melarang perusahaan dan lembaga keuangan asing dari menjalin hubungan bisnis dengan bank-bank Iran yang terkena sanksi dan juga dengan Bank Sentral Republik Islam. Tidak hanya itu, AS juga meluncurkan program penyitaan aset-aset Iran yang dikaitkan dengan peristiwa di masa lalu.
Pasca serangan teroris 11 September 2001 di New York, Presiden George W. Bush mengesahkan undang-undang yang mengizinkan pemblokiran properti dan aset milik individu dan lembaga yang mendukung terorisme. Sejak UU itu berlaku, sejumlah individu dan entitas di Iran dan luar negeri dimasukkan dalam daftar sanksi Amerika.
Propaganda Barat tentang program nuklir damai Iran juga telah memicu gelombang baru sanksi terhadap Tehran.
Tekanan dan propaganda Amerika telah mendorong Dewan Keamanan PBB untuk mensahkan resolusi terhadap program nuklir Iran. Atas dasar klaim-klaim palsu, Dewan Keamanan meloloskan enam resolusi terkait program nuklir Tehran dan nama Iran dimasukkan di bawah Pasal 7 Piagam PBB.
Skenario ini akhirnya terhenti setelah Iran dan Barat mencapai kesepakatan nuklir pada 20 Juli 2015 dan Dewan Keamanan juga mengeluarkan resolusi 2231. Kesepakatan nuklir atau Rencana Aksi Bersama Komprehensif (JCPOA) ini juga memerintahkan penghapusan sanksi-sanksi Uni Eropa terhadap Iran secara bertahap.
Namun, sebelum JCPOA mencapai usia dua tahun, Presiden Donald Trump mulai menyerang kesepakatan nuklir Iran dan menyebutnya sebagai perjanjian terburuk dalam sejarah AS sehingga menemukan alasan baru untuk mengembalikan sanksi terhadap Tehran.
Trump secara sepihak menarik AS keluar dari kesepakatan nuklir pada 8 Mei 2018 dan menandatangani perintah eksekutif untuk mengembalikan sanksi sepihak terhadap Iran. Keputusan ini menunjukkan bahwa perilaku masa lalu dan sekarang Amerika dengan Iran masih tetap sama.
Presiden Iran Hassan Rouhani dalam pidatonya di Sidang Majelis Umum PBB pada September 2018, mengatakan bahwa tidak perlu ada kesempatan berfoto bersama dengan Trump, di mana presiden yang menarik diri dari institusi global adalah karakter yang cacat.
"Melawan multilateralisme bukanlah tanda kekuatan. Sebaliknya itu adalah gejala kelemahan kecerdasan. Yang ingin Iran katakan itu jelas; jangan ada perang, jangan ada sanksi, jangan ada ancaman, jangan ada perundingan; bertindak saja sesuai hukum dan pemenuhan kewajiban," tegasnya.
AS bahkan mendesak negara lain untuk meninggalkan kesepakatan nuklir JCPOA. Lebih berbahaya lagi, AS mengancam semua negara dan organisasi internasional bahwa mereka akan dihukum jika mematuhi resolusi 2231 Dewan Keamanan PBB.
Ini adalah sebuah seruan untuk melanggar aturan internasional dan mengancam negara-negara yang taat hukum dengan sanksi. Ini merupakan kejadian pertama dalam sejarah PBB. Tentu saja pendekatan aneh ini tidak terbatas pada JCPOA, AS juga mengadopsi cara yang sama dalam berurusan dengan Pengadilan Kriminal Internasional.
Selama pidatonya di Sidang Majelis Umum PBB, Presiden Rouhani menyeru para pejabat AS untuk menerima realitas sejarah tentang Iran dan meninggalkan sanksi. “Dunia tidak akan memiliki teman yang lebih baik dari Iran, jika kalian mencita-citakan perdamaian,” ujarnya.
Pada dasarnya, kebijakan AS terkait JCPOA dan penerapan sanksi mengejar satu tujuan yaitu memaksa Iran memberikan konsesi kepada Amerika, tetapi Washington harus belajar dari pengalaman bahwa Iran tidak akan pernah jatuh ke dalam cengkeraman AS.
Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Sayid Ali Khamenei mengatakan, pengalaman Iran mencapai kesepakatan nuklir dengan Kelompok 5+1, termasuk Amerika Serikat, adalah contoh nyata dari tidak dapat dipercayanya musuh.
“JCPOA bisa dianggap sebagai sebuah pengalaman lain dari kesia-siaan perundingan dengan Amerika. JCPOA telah menjadi sebuah contoh dan sebuah pengalaman bagi kita… di depan mereka memberikan janji dan berbicara dengan lembut, tetapi di belakang mereka melakukan konspirasi, merusak, dan menghambat kemajuan pekerjaan-pekerjaan (kita), inilah Amerika dan inilah pengalaman,” kata Ayatullah Khamenei dalam pertemuan dengan ribuan warga Iran dari beberapa provinsi di Tehran pada Agustus 2016 lalu. (RM)