Sepak Terjang Trump terhadap Organisasi Internasional
-
Donald Trump
Sejak Donald Trump menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat pada Januari 2017, publik internasional berada di bawah tekanan kuat kebijakan unilateralismenya.
Trump sejauh ini telah menarik negaranya keluar dari berbagai perjanjian internasional seperti: perjanjian Iklim Paris, JCPOA, Perjanjian Perdagangan Bebas Trans-Pasifik (TPP), dan menyerukan negosiasi ulang sebagai protes atas perjanjian NAFTA. Akhirnya disepakati untuk menandatangani perjanjian perdagangan baru dengan Kanada dan Meksiko. Tidak hanya itu, AS di tangan Trump menargetkan perjanjian kontrol senjata, termasuk Traktat Rudal Angkatan Menengah (INF) dan perjanjian Open Skies.
Pada saat yang sama, Trump melancarkan pendekatan yang didasarkan pada pengabaian, kritik, ancaman, dan akhirnya penarikan dari organisasi dan institusi internasional yang menentang tuntutan dan kepentingan Amerika Serikat maupun sekutunya, terutama rezim Zionis.
Trump memangkas dana Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dan akhirnya mengumumkan keluar dari badan internasional penting ini. Ia juga menarik Amerika Serikat keluar dari Dewan Hak Asasi Manusia PBB, dan memotong bantuan AS untuk Badan Pengungsi Palestina (UNRWA).
Langkah lain AS keluar dari Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB (UNESCO) sejak 31 Desember 2018. Amerika Serikat mengumumkan keputusannya untuk menarik diri dari UNESCO pada Oktober 2017.
Selama ini Amerika Serikat menarik diri dari organisasi internasional yang tidak sejalan dengan kepentingan Washington di kancah dunia. Trump secara terang-terangan berusaha menyalahkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Cina atas situasi bencana yang menimpa Amerika Serikat akibat penyebaran Covid-19. Bahkan Trump memutuskan mengakhiri hubungan negaranya dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang memicu gelombang kritik dari berbagai kalangan, termasuk dari para pejabat tinggi AS sendiri.
Ketua DPR AS Nancy Pelosi mengkritik keputusan Trump keluar dari WHO dan menyebut tindakannya itu sebagai langkah yang tidak masuk akal. Sementara itu WHO menganggap klaim Trump dan para pejabat Amerika terhadap Cina, tidak rasional dan tidak ilmiah.
Langkah terakhir Trump dalam konteks pendekatan agresifnya terhadap lembaga dan organisasi internasional adalah memboikot Mahkamah Pidana Internasional (ICC) yang bertanggung jawab untuk menyelidiki kejahatan perang serta kejahatan kemanusiaan.
Presiden AS Donald Trump pada hari Kamis, (11/6/2020) menandatangani dekrit yang mengesahkan sanksi terhadap Pengadilan Kriminal Internasional. Keputusan Trump ini memberikan wewenang kepada menteri luar negeri AS dengan koordinasi menteri keuangan negaranya untuk menyita aset sejumlah pejabat Mahkamah Pidana Internasional (ICC) yang terlibat dalam penyelidikan kejahatan militer AS di Afghanistan. Keputusan tersebut juga memberikan sanksi perjalanan bagi warga Afghanistan yang terkait dengan kasus kejahatan AS di negara Asia selatan ini.
Gedung Putih juga mengatakan akan memblokir aset para pejabat ICC di Amerika Serikat, dan pembatasan penerbitan visa masuk ke AS dan afiliasinya. Tujuan AS untuk mengintimidasi pejabat pengadilan, termasuk jaksa dan hakim, bahkan stafnya demi mencegah pengadilan menginvestigasi kejahatan yang dilakukan oleh militer AS di Afghanistan dan kekejaman Zionis di Palestina yang didudukinya.
Tentu saja, bukan sekali ini saja pemerintah Amerika Serikat melancarkan aksi tekanan terhadap pihak lain yang dianggap bertentangan dengan kepentingan Gedung Putih. Amerika Serikat menginvasi Afghanistan pada tahun 2001 dengan dalih terorisme. Selama 19 tahun pendudukan, pasukan Amerika telah melakukan banyak kejahatan terhadap rakyat Afghanistan dan pembunuhan warga sipil tak berdosa, sehingga para pelakunya harus dibawa ke pengadilan.
Kasus pembunuhan warga sipil Afghanistan di Kandahar dan tubuh mereka dibakar pada 11 Maret 2012, serangan udara AS terhadap Rumah Sakit Dokter Lintas Batas di Kunduz pada 2015, penyiksaan tahanan di penjara rahasia Afghanistan, termasuk penjara Bagram oleh agen CIA adalah sebagian kecil kejahatan yang dilakukan AS di Afghanistan yang menyulut kritik luas dari organisasi-organisasi hak asasi manusia.
Tapi masalahnya, Amerika Serikat selalu menganggap dirinya sebagai entitas yang berbeda dengan negara lain, dan menganggap militernya kebal dari tindakan hukum internasional apapun. Pada saat Mahkamah Pidana Internasional (ICC) berusaha untuk menyelidiki kejahatan perang di Afghanistan yang dilakukan oleh militer AS, Trump justru menjegalnya dengan mengeluarkan perintah eksekutif untuk menekan ICC.
Meskipun menghadapi tekanan kuat dari AS, tapi Mahkamah Pidana Internasional dan jaksa penuntutnya tetap melanjutkan penyelidikan. Pada tanggal 5 Maret 2020, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) sepakat untuk meluncurkan investigasi terhadap kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan di Afghanistan, khususnya tindakan agen CIA.
Mahkamah Pidana Internasional menyelidiki kejahatan yang dilakukan tentara AS di Afghanistan sejak 1 Mei 2003. Dengan demikian, kinerja pasukan AS di Afghanistan akan berada di bawah kaca pembesar Mahkamah Pidana Internasional. Keputusan untuk meluncurkan penyelidikan kejahatan perang di Afghanistan dibuat setelah kesepakatan dicapai antara Amerika Serikat dan Taliban.
Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mereaksi langkah AS menjatuhkan sanksi terhadap sejumlah pejabatnya dengan menyatakan bahwa tindakan ini merupakan campur tangan terhadap kedaulatan hukum dan proses peradilan.
ICC dalam sebuah statemen hari Sabtu (13/6/2020) menyatakan langkah Presiden AS Donald Trump adalah sebuah bentuk arogansi terhadap lembaga internasional ini dan kami mengecamnya.
Pernyataan itu menegaskan serangan terhadap ICC merupakan serangan terhadap kepentingan para korban kejahatan yang keji, di mana banyak dari mereka memandang ICC sebagai harapan terakhir mereka untuk meraih keadilan.
Sebelumnya, Jaksa ICC Fatou Bensouda mengatakan bahwa pihaknya mengantongi bukti dan informasi yang menunjukkan tentara Amerika telah melakukan penyiksaan, pembunuhan, pemerkosaan, dan pelanggaran martabat manusia di Afghanistan.
Instruksi Trump memberi wewenang kepada menlu Amerika, melalui konsultasi dengan menteri keuangan, untuk memblokir aset staf ICC yang terlibat dalam penyidikan kejahatan perang AS di Afghanistan.
Menlu AS Mike Pompeo dalam sebuah jumpa pers mengatakan, ICC tidak berhak menyelidiki militer kami di Afghanistan dan kami bukan anggota statuta Roma. Sementara itu, Menteri Pertahanan AS Mark Esper mengatakan, upaya ICC untuk menyelidiki miilter Amerika tidak selaras dengan hukum internasional.
Dengan cara-cara seperti itu, Washington berusaha mencegah dimulainya penyidikan ICC terkait kejahatan militer Amerika di Afghanistan. Tentu saja, pamerintah Trump mengambil pendekatan arogan dan ancaman terhadap negara dan organisasi internasional demi menyembunyikan kejahatannya.(PH)