Ancaman Trump: Mengapa Washington Mengikuti Hukum Rimba di Ranah Internasional?
https://parstoday.ir/id/news/world-i181472-ancaman_trump_mengapa_washington_mengikuti_hukum_rimba_di_ranah_internasional
Pars Today - Trump dengan dalih pemberantasan narkotika mengancam akan menyerang sejumlah negara.
(last modified 2025-12-03T06:39:10+00:00 )
Des 03, 2025 13:37 Asia/Jakarta
  • Presiden AS Donald Trump
    Presiden AS Donald Trump

Pars Today - Trump dengan dalih pemberantasan narkotika mengancam akan menyerang sejumlah negara.

Menurut laporan Pars Today, Donald Trump, Presiden Amerika Serikat, menyusul meningkatnya ketegangan antara Washington dan Caracas dengan alasan memerangi narkotika, kembali membela serangan-serangannya dan mengancam negara-negara lain dengan mengatakan, "Setiap negara yang menyelundupkan narkotika ke Amerika Serikat akan menjadi sasaran serangan."

Trump pada hari Selasa (02/12/2025) dalam rapat kabinet menambahkan bahwa segera akan dilakukan serangan darat terhadap kartel-kartel dan setiap negara yang dicurigai menyelundupkan narkotika ke Amerika Serikat.

Ia menegaskan, “Siapa pun yang melakukan hal ini dan menjualnya ke negara kami akan diserang, bukan hanya Venezuela.”

Dalam kelanjutan ancaman sebelumnya, Trump menyatakan, “Kami juga akan memulai serangan darat, operasi darat jauh lebih mudah dan kami mengetahui jalur yang mereka lalui, kami memiliki semua informasi tentang mereka, kami tahu di mana mereka tinggal, kami tahu di mana orang-orang jahat tinggal dan kami akan segera memulai hal ini. Siapa pun yang menyelundupkan narkotika dan menjualnya ke negara kami berada dalam ancaman serangan.”

Ancaman baru Trump mengenai serangan terhadap negara-negara lain, kali ini dengan dalih penyelundupan narkotika, dan sebelumnya terhadap Iran dengan alasan yang tidak berdasar terkait upaya memperoleh senjata nuklir, kembali memunculkan pertanyaan di benak opini publik dunia. Mengapa Washington di ranah internasional lebih memilih hukum rimba daripada mematuhi hukum dan aturan internasional?

Sebagai kekuatan militer dan ekonomi utama dunia, Amerika Serikat senantiasa berusaha menulis ulang aturan permainan demi kepentingannya. Perilaku ini tidak hanya terlihat pada masa Trump, tetapi juga pada pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Namun, gaya bicara Trump yang lugas dan penuh ancaman membuat kenyataan ini semakin jelas.

Salah satu alasan utama pendekatan tersebut adalah posisi unik Amerika Serikat dalam sistem internasional. Dengan jaringan luas pangkalan militer dan kini melalui kebijakan “perdamaian lewat kekuatan” yang diusung Trump, Washington mengklaim memiliki kemampuan menekan negara lain.

Kekuatan keras ini membuatnya kurang memperhatikan aturan hukum yang mengikat. Ketika sebuah negara tahu memiliki instrumen militer dan ekonomi yang cukup untuk memaksakan kehendaknya, motivasi untuk mematuhi prinsip bersama dan kesepakatan internasional menjadi minim. Inilah logika hukum rimba: kekuatan menggantikan hak.

Selain itu, kebijakan luar negeri Amerika Serikat sangat dipengaruhi oleh kepentingan domestik dan lobi-lobi kuat. Kompleks militer-industri, perusahaan minyak dan energi, serta kelompok penekan politik semuanya berperan dalam membentuk keputusan Washington.

Ancaman serangan atau penerapan sanksi bukan hanya alat untuk tujuan geopolitik, tetapi juga sarana memenuhi kepentingan ekonomi kelompok-kelompok tersebut. Dengan demikian, hukum rimba di sini berarti mendahulukan kepentingan khusus atas prinsip moral dan hukum.

Hal penting lainnya adalah lemahnya lembaga internasional menghadapi kekuatan Amerika Serikat. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Dewan Keamanan berulang kali menunjukkan ketidakmampuan menghadapi tindakan sepihak Washington. Hak veto dan pengaruh politik Amerika Serikat praktis melumpuhkan lembaga-lembaga tersebut. Ketika mekanisme hukum dan kolektif kehilangan efektivitas, sistem internasional bergerak menuju anarki dan dominasi kekuatan.

Ancaman Trump juga mencerminkan budaya politik khas Amerika Serikat yang dibangun atas dasar pengecualian, unilateralitas, dan superioritas. Para pemimpin Amerika sering menggambarkan negara mereka sebagai “bangsa terpilih” yang berhak bertindak demi menjaga ketertiban dunia.

Pandangan ini menjadi landasan pembenaran intervensi militer. Dalam kerangka demikian, keyakinan pada supremasi kekuatan dan hukum rimba bukanlah penyimpangan, melainkan bagian dari identitas politik Amerika.

Namun, konsekuensi dari pendekatan ini, khususnya yang semakin intensif dijalankan Washington pada masa jabatan kedua Trump, sangat berbahaya bagi dunia. Ketidakpercayaan terhadap aturan internasional meningkat, perlombaan senjata semakin tajam, dan negara-negara terdorong membentuk aliansi baru serta kebijakan lebih agresif demi mempertahankan diri.

Pada akhirnya, keamanan global sangat terancam dan krisis regional meluas. Ancaman baru Trump untuk menyerang negara lain adalah contoh nyata dari siklus cacat ini, di mana kekuatan menggantikan hukum sebagai faktor utama penentu hubungan internasional.

Kesimpulannya, Amerika Serikat karena kekuatan militer yang besar, kepentingan ekonomi domestik, kelemahan lembaga internasional, serta budaya politik eksklusif, dan singkatnya dengan menganggap dirinya sebagai superpower yang mampu mendikte kehendaknya kepada negara lain, pada praktiknya menganut dan mengikuti hukum rimba di ranah global.

Ancaman terang-terangan Trump hanya menyingkap tabir dan memperjelas kenyataan yang telah lama ada. Selama struktur internasional tidak mampu membatasi kekuatan Amerika Serikat, logika dominasi ini akan terus berlanjut dan dunia tetap menghadapi bahaya akibat anarki dan unilateralitas.(sl)