Jul 08, 2021 23:32 Asia/Jakarta
  • Nasib tragis anak-anak Rohingya
    Nasib tragis anak-anak Rohingya

Militer Myanmar, pemerintah dan biksu Budha melakukan kejahatannya terhadap Muslim Rohingya dengan kedok Islamofobia dan dilakukan secara sistematis. Padahal menurut ajaran Budha yang menjadi agama resmi Myanmar, segala bentuk kekerasan, bahkan terhadap hewan dilarang.

Alasan utama kesuksesan pemerintah dan militer Myanmar membantai warga Muslim Rohingya dan mengusir mereka secara ilegal dari Negara Bagian Arakan, tempat tinggal etnis ini, dan juga mereka tidak mendapat respon penghambatan, adalah mereka memanfaatkan Islamofobia sebagai alat.

Militer Myanmar melakukan pembantaian Muslim Rohingya dalam kedok perang kontra terorisme dan kelompok bersenjata radikal seperti Tentara Penyelamat Rohingya Arakan (ARSA) yang dikaitkan dengan kelompok teroris Takfiri Daesh (ISIS) dan al-Qaeda, tanpa khawatir akan respon komunitas internasional atau dunia Islam.

Ini dengan baik menunjukkan bahwa pemerintah dan tentara Myanmar telah berhasil menyelaraskan kebijakan anti-Muslim Rohingya dengan kebijakan Islamofobia di dunia bekerja sama dengan fanatik agama Buddha. Ini adalah saat ketika Muslim Rohingya yang tertindas tidak ada hubungannya dengan ISIS dan kelompok takfiri lainnya, dan pendekatan ISIS terhadap intimidasi dan kekerasan pada dasarnya lebih dekat dengan militer Myanmar.

Dengan demikian, dapat dilihat bahwa ada rencana yang lebih umum bahwa aksi teroris kelompok seperti ISIS, membangkitkan kepekaan pemeluk agama lain, termasuk umat Buddha di Myanmar, dan dengan cara menghasut Islamofobia. Rencana "Islamofobia" telah lama dibuat oleh Amerika Serikat dan Eropa dan disebarkan oleh media Barat. Bahkan, tentara dan pemerintah Myanmar, dengan menyoroti keberadaan arus ekstremis yang mempromosikan mereka sebagai berafiliasi dengan ISIS dan al-Qaeda, telah memberikan alasan yang cukup untuk genosida Rohingya dan tidak membedakan antara orang biasa dan kelompok yang diduga ekstremis.

Pembantaian sadis muslim Rohingya oleh militer Myanmar

Pada saat yang sama, sangat tidak masuk akal bagi pemerintah dan tentara Myanmar untuk melakukan pembunuhan dan pengusiran Rohingya sedemikian rupa, tanpa koordinasi dengan tren umum Islamofobia yang telah terbentuk di seluruh dunia dengan menyoroti arus ekstremis seperti ISIS dan al –Qaida. Tindakan kelompok teroris takfiri ISIS dan al-Qaeda di Irak dan Suriah, dan liputan luas mereka di media Barat, telah menyebabkan opini publik dunia terhadap anti-Islamisme dan Islamofobia. Dengan memanfaatkan kondisi ini, pemerintah Myanmar menggambarkan pembunuhan Muslim Rohingya dalam konteks perang melawan terorisme dan arus ekstremis yang mendukung ISIS dan al-Qaeda, bahkan mereka menipu dunia.

Salah satu alasan utama yang diberikan oleh kelompok ekstrimis Buddhis, tentara, pasukan keamanan dan pemerintah Myanmar, adalah kelompok bersenjata yang, dalam menanggapi kejahatan tentara Myanmar, melancarkan perjuangan bersenjata melawan dominasi Myanmar di Arakan. Kelompok-kelompok ini menganggap diri mereka subdivisi dari apa yang disebut Kekhalifahan Islam Timur al-Qaeda dan ISIS, atau setidaknya pemerintah Myanmar membuat klaim seperti itu tentang kelompok-kelompok tersebut, membenarkan genosida Muslim Rohingya. Tanpa membuat perbedaan antara penduduk sipil yang tertindas dan kelompok-kelompok bersenjata yang dituduhkan ini.

Tiga kelompok gerilya yang mengaku sebagai pasukan jihad di Myanmar sebenarnya adalah kelompok mencurigakan yang tampaknya terlibat konflik bersenjata dengan tentara dan pasukan pemerintah dengan dukungan al-Qaeda. Front Patriotik Rohingya, Organisasi Pembebasan Arakan dan Organisasi Pembebasan Muslim Myanmar adalah kelompok bersenjata paling penting yang mengklaim membela hak-hak Muslim Rohingya. Kelompok-kelompok tersebut telah menyatakan bahwa mereka telah mengangkat senjata melawan tentara Myanmar sebagai tanggapan atas pembunuhan, pengusiran, pemerkosaan dan genosida Muslim Rohingya.

 Ataullah abu Ammar Jununi, pemimpin ARSA

Tidak ada informasi pasti yang tersedia sejauh mana kelompok-kelompok bersenjata ini dapat menyusup ke Muslim Rohingya. Tidak ada alasan yang jelas untuk afiliasi kelompok-kelompok ini dengan al-Qaeda dan ISIS. Ada kecurigaan kuat bahwa kelompok ekstremis ini dibuat dengan mengklaim dukungan bersenjata bagi Muslim Rohingya untuk memberikan alasan bagi tentara Myanmar untuk membunuh dan mengusir Muslim Rohingya.

Mohammad Rouhi, pakar Israel di Iran meyakini, ada bukti yang menunjukkan ketergantungan milisi bersenjata ini yang di luarnya mengaku membela Rohingya dengan poros fitnah Barat-Arab-Ibrani. Salah satu bukti tersebut adalah metode aktivitas militer milisi ini dan kepemilikan senjata buatan Israel. Gerakan murni Islam tidak pernah bersedia menggunakan senjata Israel dalam kondisi apa pun. Serangan milisi ini ke pusat-pusat militer Myanmar dan kehadiran luas penasihat militer Israel di negara ini serta penjualan senjata dan pelatihan militer Myanmar patut untuk direnungkan. Yang lebih penting, metode pembantaian sadis Muslim Rohingya mengingatkan pembantaian massal warga Palestina di kamp Sabra dan Shatila di Lebanon oleh rezim penjajah Israel.

Di antara tersangka kelompok bersenjata ini, aktivitas kelompok yang disebut Tentara Penyelamat Rohingya Arakan (ARSA) telah memberikan alasan propaganda yang baik bagi tentara Myanmar untuk menekan Muslim Rohingya. Kelompok ini didirikan oleh seorang Rohingya yang lahir dari keluarga imigran di Karachi, Pakistan, yang berimigrasi ke Arab Saudi untuk mengajarkan Wahhabisme. Ataullah Abu Ammar Jununi memimpin Tentara Penyelamat Rohingya Arakan (ARSA). Beberapa orang percaya dia memiliki hubungan dekat dengan Arab Saudi dan sebenarnya merupakan bagian dari proyek yang didirikan Arab Saudi dalam kolusi dengan pemerintah Myanmar untuk mengusir Rohingya dan bergabung dengan Riyadh di tanah pertanian negara bagian Arakan. Peran Rohingya Salvation Army dalam menghasut tentara dan umat Buddha fanatik dalam genosida dan pengusiran Rohingya, dan selanjutnya transfer tanah kosong ke perusahaan investasi agroindustri Saudi dan UEA, mengaburkan tujuan di balik layar.

Kelompok-kelompok bersenjata di Negara Bagian Arakan yang mengklaim kemerdekaan dari Myanmar atau mengklaim telah melakukan pemberontakan bersenjata untuk mendukung hak-hak Muslim Rohingya sebenarnya telah bertindak bertentangan dengan klaim mereka, memicu genosida Muslim Rohingya. Afiliasi mereka dengan kelompok teroris takfiri al-Qaeda dan ISIS, dan dukungan di belakang layar untuk Arab Saudi dan Uni Emirat Arab dari kelompok-kelompok ini, memperkuat kecurigaan bahwa mereka milik poros Barat-Ibrani-Arab.

Pembantaian warga Palestina di Kamp Sabra-Shatila oleh Israel

Kelompok bersenjataini pada tahun 2017 menyerang salah satu pangkalan militer Myanmar dan membunuh 26 tentara. Serangan ini menjadi alasan bagi militer melakukan serangan luas terhadap Muslim Rohingya. Akibat serangan ini, terjadi pembantaian paling sadis terhadap Muslim Rohingya serta pengusiran 700 ribu mereka ke Bangladesh. Krisis yang terus berlanjut meski ada kesepakatan antara Myanmar, Bangladesh dan PBB, serta krisis ini sepertinya tidak akan dapat diselesaikan dalam waktu singkat.