Genosida Muslim Rohingya di Myanmar (20)
Terkait kondisi mengenaskan muslim Rohingya dan genosida yang dialami etnis tertindas dan minoritas di Myanmar serta kejahatan tersebut, ada pertanyaan yang senantiasa membebani benak kita, siapa saja yang bertanggung jawab atas kondisi ini dan genosida yang dialami Muslim Rohingya.
Tentu saja pemerintah Myanmar saat itu sebagai pihak utama yang bertanggung jawab atas kejahatan ini melalui militer, aparat keamanan dan milisi ekstrim Budha di Negara Bagian Arakan. Dan ini tidak ada keraguan di dalamnya. Menurut Pasal 1 dan 2 Rencana Tanggung Jawab Internasional, pelanggaran kewajiban internasional Negara akan mengakibatkan tanggung jawab internasional mereka.
Kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida dilarang menurut hukum pidana internasional dan telah dinyatakan sebagai kejahatan internasional. Oleh karena itu, menurut ketentuan hukum pidana internasional, pemerintah bertanggung jawab atas pelanggaran berat hak asasi manusia, genosida, dan kejahatan internasional. Myanmar telah melakukan kejahatan semacam itu dan harus bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukan.
Pemerintah Myanmar saat itu bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia yang sistematis, genosida dan kejahatan terhadap Muslim Rohingya, dan para pelaku kejahatan tersebut harus diadili dan dihukum di pengadilan internasional, termasuk Pengadilan Kriminal Internasional. Tindakan pemerintah Myanmar pada saat itu merupakan pelanggaran serius dan berat terhadap aturan yang mendasari ketertiban umum internasional. Sehubungan dengan itu, apalagi sekarang pemerintah Myanmar telah digulingkan oleh kudeta militer dan situasi minoritas, terutama Muslim Rohingya, lebih terancam dari sebelumnya, masyarakat internasional memiliki tanggung jawab untuk mengadili para pemberi perintah dan pelaku genosida Rohingya serta melakukan langkah-langkah pencegahan.
Dr. Ahmad Kazem, pakar hukum internasional di Iran terkait pengadilan bagi pemberi perintah dan pelaku pembantaian minoritas Rohingya di Myanmar mengatakan, “Berdasarkan berbagai laporan valid internasional, termasuk laporan Komisaris Tinggi HAM PBB, langkah pemerintah Myanmar saat itu dan militer negara ini terhadap Muslim Rohingya, memiliki unsur materi dan spiritual terkait genosida dan dari sisi ini dapat dikategorikan sebagai pembantaian etnis di mana pemberi instruksi dan pelakunya harus diadili.
Terlepas dari skala kejahatannya, sebelum Juli 2019, ketika jaksa Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) meluncurkan penyelidikan atas genosida di Myanmar, Dewan Keamanan menolak untuk merujuk "situasi Myanmar" kepada jaksa ICC atau tetap tetap seperti kasus serupa sebelumnya membentuk "Pengadilan Pidana Khusus Myanmar" dan memberikan dasar untuk menuntut para pelaku dan pelaku pembunuhan Muslim Rohingya.
Pakar hukum internasional ini menambahkan, meski Myanmar bukan anggota ICC, lembaga ini dengan bersandar pada pengusiran etnis Rohingya ke Bangladesh dan bahwa negara tetangga ini anggota ICC, maka pengadilan internasional ini menetapkan kelayakan wilayahnya untuk menyelidiki kejahatan genosida Muslim Rohingya, serta ini merupakan titik balik untuk melawan pelaku kejahatan internasional. Khususnya kini dengan kudeta militer Myanmar terhadap pemerintah dan pembunuhan demonstran dari warga sipil, esensi militer Myanmar dan kejahatannya semakin terkuak di opini publik, dan diharapkan Dewan Keamanan melalui pendekatan politik mendukung penyidikan ICC di Myanmar.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kegagalan pemerintah Myanmar saat itu untuk mengidentifikasi, menangkap, mengadili, dan menghukum pelaku genosida terhadap etnis-agama minoritas Rohingya dapat memiliki konsekuensi penting bahwa masyarakat internasional tidak hanya berhak untuk intervensi pencegahan tetapi juga wajib untuk tindakan politik menggunakan sanksi ekonomi dan bahkan, jika perlu, intervensi militer di negara tersebut. Tentu saja, penggunaan kekuatan militer memiliki persyaratannya sendiri, dan menurut kaidah harus diterapkan melalui otorisasi PBB dan Dewan Keamanan terhadap negara yang telah melakukan genosida.
PBB termasuk badan-badan internasional yang dapat bertindak untuk melindungi hak-hak korban genosida jika mereka tidak mampu atau tidak mau mengadili para pelaku pembunuhan di negara-negara yang dilanda krisis seperti Myanmar. PBB memiliki mekanisme yang efektif untuk menekan militer Myanmar untuk menegakkan hak asasi manusia minoritas Muslim Rohingya. Menurut Pasal 39 Piagamnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Dewan Keamanan berwenang untuk berurusan secara hukum dengan negara-negara yang mengancam perdamaian dan keamanan dunia. Jika diperlukan bahkan PBB dapat menangguhkan keanggotaan berbagai negara, memberi sanksi ekonomi dan politik serta menyeret pelaku genosida dan kejahatan anti-kemanusiaan ke pengadilan internasional serta mengedilinya di pengadikan khusus.
Sesuai dengan Pasal 7 Piagam PBB, ketika Dewan Keamanan menentukan bahwa sebuah negara anggota PBB melakukan langkah yang merusak perdamaian dan keamanan serta membahayakan keamanan dan perdamaian global, maka lembaga ini dapat bertindak serta mengorganisir pengadilan internasional untuk mengadili pelaku kejahatan internasional.
Dewan Keamanan telah menggunakan kekuatan hukum yang sama sehubungan dengan kejahatan yang dilakukan di bekas Yugoslavia dan Rwanda, dan telah membentuk pengadilan pidana khusus untuk mengadili para pelaku kejahatan internasional. Hal yang sama diharapkan untuk Myanmar.
Majelis Umum PBB, sesuai dengan tanggung jawabnya yang melekat sebagai penjaga perdamaian dan keamanan dunia, bertanggung jawab untuk memasuki krisis yang terjadi di beberapa negara dalam bentuk kejahatan internasional seperti genosida dan pembersihan etnis-agama terhadap minoritas. Dapat dikatakan bahwa peran utama Majelis Umum PBB sebagian besar ditujukan untuk perdamaian dan keamanan internasional, termasuk pencegahan genosida, dan dapat mempertimbangkan setiap masalah atau hal yang sesuai dengan Piagam PBB.
Pada saat yang sama, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa memiliki kekuasaan untuk mempertimbangkan setiap masalah yang dirujuk oleh anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa sesuai dengan paragraf kedua Pasal 35 Piagam. Oleh karena itu, Majelis Umum berwenang untuk campur tangan dalam hal-hal yang mengancam perdamaian dan keamanan dunia. Genosida di Myanmar adalah salah satu isu penting yang diharapkan Majelis Umum untuk mengambil pendekatan yang aktif dan praktis.
Organisasi Kerjasama Islam (OKI) juga ditugaskan untuk mengejar genosida Rohingya di Myanmar berdasarkan ketentuan "Piagam Kerjasama" yang diadopsi pada 14 Maret 2008 di Dakar, ibukota Senegal. Karena dalam pengenalan Piagam Organisasi Kerjasama Islam, membantu minoritas dan komunitas Islam di luar negara-negara Islam untuk menjaga martabat mereka, identitas budaya dan agama adalah salah satu cita-cita dasar yang efektif dalam pembentukan organisasi ini. Tujuan-tujuan ini ditekankan dalam Pasal 2 Piagam Organisasi Kerjasama Islam.
Di sisi lain, menurut paragraf 3 dan 4 Piagam Organisasi Kerjasama Islam, tujuan-tujuan seperti: upaya untuk menghapus diskriminasi rasial dan kolonialisme dalam bentuk apa pun dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional dengan cara yang berdasarkan keadilan akan dikejar oleh organisasi ini. Mengingat genosida umat Islam di Myanmar mengancam perdamaian dan keamanan internasional, Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dari 57 negara Islam, seharusnya melindungi hak asasi manusia Muslim Rohingya dan menempatkan dalam agendanya setiap tindakan sah yang dianggap perlu.
Akhirnya, "doktrin tanggung jawab untuk melindungi" dapat diangkat sehubungan dengan genosida Muslim Rohingya di Myanmar dan pengusiran mereka dari Negara Bagian Arakan. Dari sudut pandang doktrin tanggung jawab perlindungan, pemerintah suatu negara bertanggung jawab, dan jika pemerintah tidak memenuhi tanggung jawabnya untuk melindungi warga negaranya, maka yang akan diminta adalah tanggung jawab masyarakat internasional untuk melindungi hak-hak korban.
Berdasaran doktrin ini, komunitas internasional, khususnya di kondisi saat ini dan mengingat kudeta militer dan tidak ada pemerintahan sah di Myanmar, bertanggung jawab menghidupkan hak mendasar minoritas Rohingya melalui berbagai langkah termasuk langkah diplomatik, represi politik, menerapkan sanksi efektif ekonomi dan bahkan sebagai solusi terakhir, melakukan intervensi militer, sehingga mampu mengakhiri genosida Muslim Rohingya di Myanmar serta mempersiapkan kepulangan lebih dari satu juta pengungsi Rohingya dari kamp-kamp mereka di Bangladesh atau seluruh negara lain.