Jun 22, 2022 20:53 Asia/Jakarta
  • Tentara AS di Afghanistan
    Tentara AS di Afghanistan

Di pertemuan sebelumnya kami telah membahas klaim perang melawan terorisme dan hasilnya. Pada kesempatan kali ini kita akan mengkaji kegagalan strategi AS untuk memanfaatkan Afghanistan sebagai alat.

Setelah tumbangnya Uni Soviet, dan munculnya wacana geoekonomi sebagai tolok ukur kekuatan di abad 21, persaingan akan sumber energi menjadi salah astu isu paling marak di dunia. Sementera itu, Asia Barat, khususnya Teluk Persia dan Laut Kaspia, karena kepemilikan cadangan besar energi, termasuk kawasan penting di dunia. Dua pertiga cadangan minyak dan sepertiga cadangan gas alam dunia dimiliki negara-negara kawasan Teluk Persia. Jika ditambahkan dengan cadangan yang diprediksikan di Laut Kaspia, maka angka tersebut akan menjadi 70 persen minyak dan 40 persen cadangan gas alam dimiliki negara-negara kawasan ini.

Iran sebagai negara di pusat kawasan, kaya akan energi atau "elips energi strategis" atau "Jantung Energi". Dengan demikian Iran sebuah negara penting dari sisi strategis sejak era perang dingin. Motif intervensi AS di dua wilayah kaya energi ini menjadi lebih jelas ketika kita melihat ukuran cadangan Jantung Energi yang berpusat di Iran dan meningkatnya permintaan konsumsi global, terutama dari Amerika Serikat dan sekutunya.

Mengingat kebutuhan minyak mayoritas kekuatan besar terhadap Jantung Energi, Amerika berusaha menemukan alat kontrol yang kuat untuk mengelola urusan dunia dan merealiasikan sistem hegemoninya melalui intervensi di Teluk Persia dan Laut Kaspia serta memperketat blokade terhadap Iran. Sesuai dengan pandangan ini, Amerika senantiasa memperhatikan posisi Afghanistan. Setelah insiden 11 September 2001, Amerika dengan klaim memerangi terorisme, tapi sebenarnya bertujuan memperluas hegemoninya, menarik NATO ke Afghanistan.

Amerika Serikat berupaya melakukan intervensi di kawasan Teluk Persia dan di jantung energi secara umum dengan mengangkat isu-isu seperti perang melawan terorisme, hak asasi manusia, Timur Tengah Raya, senjata pemusnah massal, dan sebagainya. Oleh karena itu, salah satu tujuan terpenting Amerika Serikat dalam menginvasi Afghanistan adalah mendirikan pangkalan militer di negara ini untuk memperketat pengepungan Jantung Energi, Iran, Cina dan Rusia. Amerika Serikat, sebagai hegemon global, berupaya memperluas pengaruhnya di kawasan strategis utama dunia untuk mencapai kepentingan dan tujuan jangka panjangnya. Dengan membuat apa yang disebut Rencana Timur Tengah Raya dan mengaitkannya dengan insiden 11 September, Washington mengubah kedua masalah tersebut menjadi kebijakan resmi pemerintah AS dalam interaksi regional.

Rencana Timur Tengah Raya dengan mengubah kondisi geopolitik Asia Barat dan dengan memperluas domain Timur Tengah ke negara-negara Afrika Utara serta Asia Tengah, selain 22 negara Liga Arab, juga mencakup Turki, Rezim Zionis Israel, Pakistan dan Afghanistan. Amerika mengklaim bahwa negara-negara ini berada di pusat instabilitas dan ketidakpastian strategis, dan negara-negara ini produsen terorisme, radikalisme dan kendala utamabagi hegemoni Amerika Serikat.

Afghanistan juga termasuk negara yang dimasukkan ke dalam rencana Timur Tengah Raya di dalam kebijakan luar negeri Amerika setelah insiden 11 September. Amerika dengan menjalankan langkah ini mengklaim ingin mencabut akar terorisme di Afghanistan, dan dengan menjadikan negara ini sebagai teladan, ingin negara Islam lainnya menjalankan program Washington, tapi justru maraknya radikalisme dan kian kuatnya teroris Daesh (ISIS) di Afghanistan menjadi satu-satunya hadiah bagi 20 tahun intervensi dan pendudukan Kabul oleh Washington.

Zbigniew Brzezinski, penasihat keamanan nasional untuk pemerintahan Presiden Jimmy Carter saat itu, menekankan bahwa negara mana pun yang dapat mendominasi Afghanistan, Asia Tengah, dan Kaukasus akan berpotensi mengancam posisi AS di Teluk Persia. Dia mengidentifikasi Rusia dan Cina sebagai dua negara kuat yang berbatasan dengan Asia Tengah yang kemungkinan akan membahayakan kepentingan AS di kawasan itu.

Strategi AS di Afghanistan dan Asia Tengah adalah bahwa, meskipun ancaman komunisme telah hilang dengan runtuhnya Uni Soviet; Tetapi tidak boleh dilupakan bahwa Rusia, negara terbesar di dunia, masih didasarkan pada Jantung Energi (Energy Heartland). Saingan Cina lainnya, Amerika Serikat, yang sedang berkembang pesat secara ekonomi, ada di kawasan. Terlepas dari ini, Amerika Serikat sepenuhnya menyadari posisi geostrategis dan geopolitik Iran di lingkungannya dengan Afghanistan dan Asia Tengah. Tujuan AS yang paling penting di Afghanistan dan Asia Tengah setelah insiden 11 September adalah intervensi militer dan pengaruh politik, ekonomi dan keamanan jangka panjang dan konfrontasi dengan kekuatan yang bertentangan dengan kepentingan dan hegemoni AS.

Dalam dua dekade terakhir, Amerika Serikat telah berusaha untuk mencegah aliansi regional antara Rusia dan kawasan, terutama Iran dan Cina. Itu juga berusaha untuk mencegah Cina maju ke Barat dan ke Asia Tengah. Amerika Serikat juga selalu berusaha untuk mencabut Iran dari manfaat akses ke pasar energi kawasan untuk mengurangi posisi strategis dan geopolitik Iran.

 

Kedekatan Afghanistan dengan Asia Tengah telah memungkinkan Amerika Serikat untuk menjadi lebih aktif dalam lingkup pengaruh tradisional saingannya, Rusia, Cina, dan Iran, dengan slogan memerangi terorisme dan memperluas demokrasi. Serta memanfaatkannya sebagai alat untuk mempertahankan dan mengkonsolidasikan hegemoninya atas para pesaingnya. Setelah Perang Dunia II, struktur sistem internasional berubah dari multipolar menjadi bipolar, dengan pembentukan NATO; Ini adalah hasil dari perubahan struktur sistem internasional. Poros pembentukan perjanjian ini adalah oposisi terhadap negara adidaya Soviet dan dunia komunisme pada umumnya.

Dengan runtuhnya Uni Soviet dan bubarnya Pakta Warsawa, yang dibentuk untuk menentang NATO; Terlepas dari prediksi, NATO tidak hanya tidak bubar, tetapi juga meluas secara geografis dan misi, memperluas lingkup pengaruhnya ke negara-negara di kawasan timur, termasuk Ukraina, dan melayani kepentingan Amerika Serikat.

Amerika Serikat selalu memandang Samudra Hindia dan Selat Hormuz sebagai urat nadi pemasok energi yang dibutuhkan oleh industri modern dan selalu berusaha mendominasi wilayah ini untuk mengkonsolidasikan hegemoninya. Intervensi militer AS di Afghanistan, melalui kedekatannya dengan Samudra Hindia dan Teluk Persia, memungkinkan untuk mencegah pengaruh saingan kuatnya, Rusia dan Cina, sementara lebih aktif di perairan Samudra Hindia dan Teluk Persia. Ini terlepas dari kenyataan bahwa dua dekade setelah pendudukan Afghanistan, yang mengakibatkan terbunuhnya ribuan warga sipil Afghanistan, Amerika Serikat belum dapat mencapai tujuannya.

Iran dan Rusia serta Cina yang dipengeruhi kepentingan dan ancaman bersama termasuk Afghanistn, mulai mengembangkan kerja sama mereka, dan keanggotaan Iran di Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO) membenarkan hal ini. Selain itu, digelarnya dua manuver maritim bersama antara Iran, Cina dan Rusia selama dua tahun lalu merupakan pesan jelas bagi pergerakan pengobaran tensi oleh Amerika di Samudra Hindia dan Teluk Persia. Dengan demikian, seiring dengan keluarnya AS dari Afghanistan sejak September 2021, mulai terbentuk sistem politik baru di Asia Barat, di mana Iran sebagai pelopor poros muqwama, Cina dan Rusia memiliki peran utama di pembentukannya.

 

Tags