Konsekuensi dari Kepresidenan Trump (7)
Para presiden Amerika Serikat, baik dari partai Republik maupun Demokrat di era modern, selalu memiliki pandangan yang berbeda mulai dari kerja sama, hingga kompetisi, bahkan konfrontasi terhadap Cina, dan tumbuhnya kekuatan politik dan ekonomi negara ini.
Sebelum runtuhnya Uni Soviet, Cina dianggap sebagai kekuatan yang lemah di dunia bipolar, dan tidak diperhitungkan dalam kalkulasi dua kekuatan Barat dan Timur. Tetapi setelah runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991, dan upaya pembentukan dunia unipolar oleh Washington, Amerika mengkhawatirkan kemunculan Cina sebagai kekuatan baru dunia, dan selalu berusaha untuk menjegal kemajuannya.
Selama tiga dekade terakhir, berbagai pandangan tentang cara menghadapi Cina telah terbentuk di Amerika Serikat. Yang paling penting dari semua pandangan ini mengenai upaya meredam Cina. Pandangan ini percaya bahwa di masa depan, Cina mungkin memiliki kekuatan yang sama, atau bahkan lebih tinggi dari AS dari sisi pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah Amerika dalam beberapa tahun melakukan berbagai cara untuk melemahkan Cina di berbagai bidang.
Pemerintahan Trump mengambil prosedur yang sama, terutama dalam aspek konfrontatifnya. Selama kampanye kepresidenan, Donald Trump mempresentasikan kebijakannya yang agresif terhadap Cina dari perspektif nasionalisme ekonomi.
Dari sudut pandang Trump, Amerika harus menciptakan hambatan perdagangan terhadap produksi barang-barang Cina, seperti menaikkan tarif bea cukai untuk barang-barang impor Cina. Di mata Trump, jika Cina mendapat manfaat dan keuntungan bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia, maka pekerja Amerika akan kehilangan pekerjaan.
Di antara para presiden Amerika, Trump menunjukkan pendekatan yang paling tidak ramah terhadap Cina, bahkan menganggap pendekatan perdagangan Cina opensif. Dia percaya bahwa Amerika terlalu memberikan banyak ruang kepada kekuatan ekonomi baru dengan memberi mereka lebih banyak pasar global. Tampaknya, pendekatan Trump ini berasal dari pandangan dagangnya tentang perdagangan luar negeri sebagai permainan dengan hasil menang dan kalah.
Sumbu lain dari kebijakan Trump terhadap Cina mengenai dukungannya terhadap Taiwan sebagai negara yang terpisah dari Cina dan menentang kebijakan Satu Cina, meskipun setelah pembentukan kabinet, dia mengikuti kebijakan Satu Cina dengan cara pragmatis seperti presiden Amerika lainnya.
Di satu sisi, ini menunjukkan pemahaman baru Trump tentang struktur sistem internasional dan perimbangan kekuatan regional dan global. Tentu saja, peran kementerian luar negeri cukup efektif dalam menyesuaikan kebijakannya, terutama di era Rex Tillerson.
Dari sudut pandang Rex Tillerson, Menlu AS saat itu,"Tujuan hubungan AS-Cina bukanlah konflik atau konfrontasi, tetapi kerja sama yang saling menguntungkan dan menghormati pertimbangan bersama." Pasalnya, selama masa jabatan Mike Pompeo di Departemen Luar Negeri AS, konfrontasi antara AS dan Cina meningkat tajam.
Faktor terpenting dalam hubungan Amerika dan Cina di era Trump adalah masalah ekonomi. Kedua negara ini memiliki volume pertukaran perdagangan terbesar satu sama lain sejak tahun 1979, dan volume perdagangan kedua negara selalu meningkat, kecuali pada fase-fase khusus atau krisis ekonomi, sehingga ekspor Cina ke Amerika selama tahun 2009 hingga 2018 Sekitar 1,5 kali, dan impor Cina dari Amerika meningkat 1,7 kali selama periode yang sama.
Sebelum dimulainya perang dagang AS melawan Cina, ekspor Cina ke Amerika sama senilai 540 miliar dolar, dan impor China dari Amerika sebesar 120 miliar dolar. Sementara itu, pada tahun 2019, akibat dimulainya perang perdagangan dan tarif antara kedua negara, ekspor dan impor Cina ke dan dari Amerika Serikat masing-masing turun menjadi 419,98 miliar .
Selama era Trump, Amerika memulai perang dagang dengan menekankan ketidakadilan hubungan dagangnya dengan Cina. Kritik Trump terfokus pada dua masalah. Pertama mengenai defisit neraca perdagangan lebih dari 300 miliar dolar dalam perdagangan dengan Cina. Kedua masalah transfer teknologi dan institusi produksi teknologi yang tidak adil dari Amerika ke Cina. Untuk tujuan ini, Cina mengambil alih beberapa perusahaan teknologi Amerika dan non-Amerika yang beroperasi di bidang industri utama seperti industri semikonduktor dan robotika dengan membeli sahamnya yang memicu kritik keras Trump.
Setelah sekitar satu setengah tahun ketegangan dalam hubungan perdagangan Cina-AS dari Juli 2018 hingga Januari 2020, perjanjian ekonomi dan perdagangan antara AS dan Cina ditandatangani di Washington dan mulai berlaku pada 14 Februari 2020; Berdasarkan perjanjian tersebut, Amerika Serikat akan mengurangi sebagian atau menangguhkan tarif berdasarkan pasal 301 Undang-Undang Perdagangan tahun 1974.
Faktanya, AS menetapkan tarif sebesar 15 persen senilai sekitar 180 miliar dolar impor AS dari Cina. AS juga mengumumkan pembelakuan tarif 25 persen yang dikenakan pada impor AS dari Cina senilai 250 miliar dolar. Amerika Serikat menunda pembatalan tarif bea cukai baru ini ke tahap selanjutnya dari perjanjian perdagangan antara kedua negara. Di sisi lain, Cina ingin mempertahankan tarif yang dikenakannya pada impor Amerika.
Menurut perjanjian Washington, Chna harus meningkatkan impor barang dan jasa Amerika menjadi setidaknya 330 miliar dolar dalam waktu 2 tahun. Artinya, setidaknya 200 miliar dolar lebih banyak dari tingkat ekspor AS ke Cina pada 2017.
Cina seharusnya menerapkan langkah-langkah yang diperlukan untuk meningkatkan impor di Amerika dalam 4 kelompok produk. Pada saat yang sama, Cina berkomitmen pada reformasi struktural dalam sistem ekonomi dan perdagangan, hak kekayaan intelektual, rahasia dagang, merek dagang, kebijakan pertanian, kebijakan devisa, layanan keuangan, dan transfer teknologi. Kebijakan ketat Trump terhadap Cina juga memengaruhi hubungan dengan Eropa.
Faktanya, perang dagang yang dimulai dengan kebijakan Trump memberikan peluang yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi Cina dan Uni Eropa untuk lebih dekat dalam hal koordinasi untuk mendukung undang-undang perdagangan internasional dan multilateralisme melawan unilateralisme Trump. Dari sudut pandang ini, banyak kritik terhadap pendekatan Trump terhadap Cina di Amerika.
Secara keseluruhan, dalam strategi makro Amerika Serikat, seperti pendahulunya, Trump mengikuti pelestarian hegemoni Amerika Serikat dan bereaksi terhadap pembentukan pemerintahan yang kuat menghadapi pesaing seperti Cina. Dalam menghadapi China, Trump berusaha menyeimbangkan dan meredam Cina secara sepihak dengan meningkatkan kekuatan dan kemampuan militernya, terutama di kawasan Asia Pasifik dan Laut Cina Selatan, serta memulai perang dagang dan tarif dalam dimensi ekonomi.
Anne Osborn Krueger, Dierektur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) dalam sebuah artikel untuk analisis database Project Syndicate berjudul "Strategi Amerika Serikat yang Gagal terhadap Cina" mengatakan, "Strategi reaksioner Amerika Serikat ditujukan untuk meram pertumbuhan pertumbuhan Cina telah gagal dalam pemerintahan Trump, dan kelanjutannya juga akan gagal di era pemerintahan Biden. Jika AS ingin berhasil bersaing dengan Cina, maka Amerika harus mengganti strategi defensifnya dengan strategi ofensif.
Meskipun Trump mampu menjaga jarak antara kekuatan militer Amerika Serikat dengan Cina sampai batas tertentu di bidang militer. Tetapi di bidang ekonomi, dia tampaknya gagal menjegal kelanjutan pertumbuhan Cina maupun memperlambat laju pertumbuhannya. Bukti statistik menunjukkan kegagalan kebijakan Trump dalam menghambat kelanjutan pertumbuhan ekonomi Cina, terutama pada masa epidemi Covid-19. Terlepas dari upaya Trump, Beijing berhasil menggantikan impor produk yang dibutuhkannya dari Amerika dengan mengimpor produk pertanian dari Brasil dan negara lain. Oleh karena itu, dalam perang dagang antara kedua negara, untuk setiap penurunan empat miliar dolar ekspor Cina ke Amerika, hanya sekitar 11 miliar dolar ekspor Amerika ke Cina yang menurun.
Selain apa yang telah disebutkan tersebut, kebijakan sepihak Trump merusak tatanan internasional Amerika. Bahkan mengurangi kepercayaan sekutu utama dan lama Amerika. Isu ini berdampak negatif terhadap kemampuan Amerika menghadapi Cina, terutama di bidang ekonomi dan perdagangan. Faktanya, meskipun selama era Trump, pusat-pusat think thank Amerika telah menampilkan Cina sebagai ancaman bagi Amerika lebih dari era lainnya, namun Amerika belum dapat mengambil tindakan serius terhadap Cina dalam praktiknya.(PH)