Konsekuensi dari Kepresidenan Trump (9)
Barack Obama adalah presiden Amerika Serikat dari tahun 2009 hingga 2017 dan Donald Trump adalah presiden dari tahun 2017 hingga 2021.
Masing-masing presiden ini memiliki karakteristik khusus dan unik yang memengaruhi lingkungan kebijakan dalam negeri dan khususnya kebijakan luar negeri Amerika Serikat, tetapi yang pasti adalah bahwa Trump meninggalkan pendekatan untuk melegalkan atau melegitimasi kekuatan Amerika, sementara mantan presiden Amerika Serikat sebelumnya dan Barack Obama terutama berusaha menunjukkan negara ini setidaknya secara penampilan mematuhi tatanan hukum internasional. Berbeda dengan mereka, Trump, dengan meninggalkan berbagai perjanjian dan kesepakatan internasional, ia meninggalkan pendekatan ini dan masalah ini berpengaruh dalam mempercepat penurunan hegemoni Amerika.
Selama kampanye pemilihan, Obama, presiden Amerika Serikat dari kubu Demokrat, berfokus pada pemulihan kekuatan Amerika Serikat di dalam negeri dengan konsenstrasi pada ekonomi, memulihkan aliansi, pendekatan yang kuat dalam menghadapi musuh, mengurangi peran di Irak dan Afghanistan, memodernisasi angkatan bersenjata, menyeimbangkan kembali di kawasan Asia-Pasifik, dan mencoba memasukkan Kongres dalam pengambilan keputusan kebijakan luar negeri yang lebih kuat, penggunaan kekuatan militer, operasionalisasi perang melawan teroris, mengejar inisiatif tentang masalah perubahan iklim dan klaim perlucutan senjata nuklir, dan menurut Amerika, nantinya itu juga akan mengakhiri penyiksaan terhadap teroris. Strategi Obama, alih-alih doktrin pre-emptive war dan unilateral action seperti Bush, umumnya lebih menekankan pada tindakan preventif dan multilateralisme, khususnya diplomasi internasional dan pembangunan koalisi.
Pada 8 November 2016, Trump memenangkan 306 suara elektoral berbanding 232 suara atas Hillary Clinton. Dia menerima lebih sedikit suara rakyat daripada Clinton, dan menjadi presiden kelima yang menjadi presiden tanpa mayoritas suara rakyat. Selisih suara di Amerika hampir 3 juta suara. Kemenangan Trump dan kinerja selanjutnya mengubah struktur strategis Amerika Serikat setelah 70 tahun. Seperti yang terlihat dari tindakan eksekutif Trump selama masa jabatannya, Trump adalah seorang pemimpin yang berada di depan dalam bidah geopolitik. Mengambil jarak dari sekutu, menciptakan perang dagang, menghina promosi demokrasi, mendukung kembalinya penyiksaan, melakukan kejahatan teroris dan nasionalisme xenophobia adalah karakteristik pemerintahannya.
Dalam perbandingan ekonomi kinerja Trump dan Obama, menurut Kantor Anggaran Kongres, defisit anggaran AS selama tiga tahun pertama Trump tumbuh sebesar dua setengah triliun, yang lebih dari tiga tahun terakhir pemerintahan Obama, yang merupakan setara dengan 1,6 triliun dolar Amerika, sekalipun demikian di sebagian besar jajak pendapat memandang Trump lebih baik untuk ekonomi daripada Obama dan Biden. Padahal kesenjangan baru-baru ini menyempit di beberapa jajak pendapat, dan bahkan dengan pandemi Covid-19, Trump memiliki peringkat pengakuan ekonomi 54 persen dalam jajak pendapat Gallup terbaru.
Peringkat ini berada di urutan kedua setelah Clinton, yang memiliki 57 persen persetujuan rakyat pada tahun 1996, di antara para presiden terakhir Amerika. Para ekonom mengatakan peringkat ekonomi Trump yang menguntungkan, dibandingkan dengan masalah lain termasuk kesenjangan sosial, ras, dan kebijakan luar negeri yang kontroversial, mencerminkan reputasinya sebagai pengusaha, meskipun informasi tentang pendapatan, aset, dan pajaknya terbatas. dan pasar saham yang bergejolak telah membantu meningkatkan peringkat persetujuan Trump terhadap perekonomian.
Kebijakan luar negeri Obama dan Trump terjalin dengan intervensi yang telah ada sejak awal berdirinya Amerika Serikat, mulai dari intervensi langsung hingga pembahasan tembok perbatasan. Amerika Serikat terus-menerus terlibat dalam perang pendek, panjang, global, dingin, rahasia, proksi, narkoba, dan teror. Sementara itu, komunitas intelijen Amerika Serikat, seperti lembaga berpengaruh lainnya dalam kebijakan luar negeri seperti Kementerian Luar Negeri atau Pertahanan, paling berperan di belakang layar perkembangan dalam mendukung keputusan politik Washington.
Singkatnya, dapat dikatakan bahwa baik Obama maupun Trump mencoba mengatur sistem imigrasi untuk mencegah kerusakan keamanan nasional Amerika Serikat, tetapi mereka mengambil kebijakan yang berbeda. Kedua pemerintah mengandalkan ide dan persepsi mereka sebelumnya atau pendapat penasihat mereka dari berbagai wilayah ketika membuat keputusan di wilayah global seperti Cina, Eropa, Rusia, atau Republik Islam Iran.
Kevin Drew, Editor U.S.News tentang kebijakan luar negeri Amerika di era Trump, percaya, "Langkah intervensionis Trump hanya meningkatkan kekhawatiran global tentang Amerika Serikat, terutama setelah Trump memerintahkan pembunuhan komandan Iran Qasem Soleimani melalui serangan pesawat tak berawak di Baghdad. Langkah Trump ini langsung menuai kecaman dari para penentang Amerika Serikat dan kekhawatiran sekutunya. Reaksi di Asia Barat segera terjadi. Parlemen Irak menuntut pengusiran pasukan Amerika dari negara itu, dan Iran memperingatkan bahwa mereka akan mengambil tindakan pembalasan terhadap Amerika Serikat."
Di bidang kebijakan luar negeri Amerika, logika pemerintahan Obama adalah kelanjutan dari klaim demokrasi liberal bersama dengan multilateralisme dan internasionalisme di tingkat dunia dan meningkatkan kerja sama dengan sekutu, tetapi pandangan Trump adalah populis, anti-institusional, anti-internasionalis, anti-globalisasi dan mengurangi beban kewajiban luar negeri Amerika Serikat.
Obama sangat antusias dan cenderung ke arah kerja sama internasional dan perjanjian perdagangan bebas, tetapi Trump telah mengadopsi pendekatan nasionalis dan menentang perjanjian internasional serta telah menarik diri dari banyak perjanjian internasional. Mengklaim mendukung nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia adalah salah satu agenda utama Obama, sementara Trump tidak percaya akan hal itu dan sangat mengobarkan keistimewaan Amerika dan gagasan America First.
Mengenai topik sikap terhadap warga negara non-Amerika, Obama memiliki gaya non-ofensif dalam literatur pidato dan perilakunya, tetapi Trump menggunakan gelar dan penghinaan terburuk terhadap imigran, Afrika, Latin, dan Muslim. Pendekatan ini sangat menonjol selama tahun 2020 dalam ketegangan dan keresahan anti-rasisme dari lembaga politik dan terciptanya gerakan anti-diskriminasi dan anti-perbudakan setelah pembunuhan George Floyd. Obama mendukung perjanjian NAFTA dan mengambil langkah-langkah untuk memperkuatnya, tetapi Trump mengubah arah umumnya dengan memperbarui negosiasi dan judul perdagangan bebas dihapus darinya. Mengenai isu kegiatan damai Republik Islam Iran, Obama mencapai kesepahaman dan dialog, sedangkan Trump menarik diri dari JCPOA.
Dalam pendekatan teoretis untuk pengambilan keputusan, Trump, tidak seperti Obama, sejak awal dala, struktur individualistis membuat semua keputusan dan dengan konsultasi minimal dengan pemerintah atau penasihat keamanan nasional. Pendekatan ini disimpulkan dari seringnya pergantian pemerintahan, militer, dan penasihat Trump, yang diusir dari Gedung Putih atau mengundurkan diri karena tidak mau bekerja dengan Trump. Oleh karena itu, dibandingkan dengan sistem pengambilan keputusan Obama, di mana teori struktur-agen lebih dominan, sifat pekerjaan Trump adalah pengambilan keputusan individual.
Hasilnya adalah kinerja Trump berbalik melawan tindakan Obama dari sudut pandang teoretis dan eksekutif. Dengan menolak internasionalisme untuk mempromosikan nasionalisme, Trump telah mencoba menciptakan pemisahan antara misionisme historis Amerika Serikat dan situasi saat ini, dan berhasil ke arah tersebut. Buktinya adalah kemarahan, kebencian, dan ketidaksepakatan yang diungkapkan oleh Demokrat dan para ahli teorinya terhadap tindakan Trump. Trump paling tidak setuju dengan Nancy Pelosi, pemimpin minoritas Demokrat di Kongres, dan perbedaan ini telah meluas ke batas kekerasan dan amoralitas di kancah politik negara. Perbedaan antara kedua partai setelah protes rasial dan penyebaran COVID-19 menjadi jauh lebih luas, yang menunjukkan dalamnya kesenjangan struktural politik di Amerika.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa pada era Trump, mayoritas Demokrat yang dipimpin oleh Nancy Pelosi merupakan musuh nomor satu Trump dalam struktur politik yang terlihat dari perilaku politik mereka. Partai Republik juga terbagi menjadi dua spektrum radikal dan konservatif, beberapa di antaranya mendukung tindakan Trump dan beberapa menentangnya, tetapi perpecahan dan perbedaan ini akhirnya lebih merugikan Trump mulai 6 Januari 2021, setelah serangan terhadap Kongres. Karena mereka mengklaim bahwa tindakan Trump menghancurkan struktur republik yang ditujukan ke Amerika Serikat.
Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa kebijakan dalam dan luar negeri Trump memiliki perbedaan yang signifikan dengan kebijakan pemerintahan Obama dari berbagai aspek teoretis dan operasional, baik dalam dimensi domestik maupun luar negeri.(sl)