Meraih Hikmah Bulan Ramadan (4)
Bulan Ramadan adalah bulan di mana setiap orang berusaha melewati orang lain dalam menaati dan mengabdi kepada Allah. Bulan di mana para hamba berusaha lebih dahulu dalam mengerjakan amal saleh, dan “setiap amal saleh itu ada dua bagian, separuhnya adalah ibadah dan separuhnya lagi adalah doa”. Ini adalah ucapan dari Al-Quran bertutur, Nabi Muhammad Saw.
Berdasarkan ucapan yang mencerahkan ini, dapat dikatakan bahwa tidak ada satu pun ibadah yang merupakan amal saleh kecuali disertai dengan doa, atau setidak-tidaknya dapat dikatakan bahwa ibadah apa pun hanya akan menjadi amal saleh yang sempurna jika disertai dengan sebuah doa. Jika tidak, maka tidak sempurna dan demikian pula hasilnya.
Berdoa dan memohon kepada Allah adalah sarana untuk berlomba-lomba dalam ibadah dan penghambaan. Diriwayatkan dari Rasulullah Saw, Dua orang akan masuk surga dengan perbuatan yang sama, tetapi salah satu dari mereka menganggap yang lain lebih unggul darinya. Dia berkata, Ya Allah! Mengapa Engkau mengunggulkan dia ketika kami berdua melakukan hal yang sama? Allah Swt mengatakan, Dia memohon kepada saya, sementara Anda tidak memohon. Dia berdoa dan kamu tidak berdoa .....
Kita semua telah membuat dosa dan kesalahan dalam hidup kita dan sejak saat ini kita tidak akan selamat dari kekeliruan dan kesalahan. Namun, sebesar apapun dosa tersebut, jangan sampai membuat kita putus asa akan rahmat dan ampunan Allah. Tuhan telah berjanji kepada kita yang berdosa untuk bersabar, toleran dan mengampun. Allah Swt telah berfirman dalam surat al-Zumar ayat 53, “قُلْ یا عِبادِیَ الَّذینَ أَسْرَفُوا عَلى أَنْفُسِهِمْ لا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللهِ إِنَّ اللهَ یَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمیعاً إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحیمُ”.
Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’.
Jika seorang hamba melakukan dosa karena ketidaktahuan, kemudian menyadari kesalahannya dan memutuskan untuk memperbaiki perilakunya, Allah akan memberinya kabar gembira tentang pengampunan-Nya. Dalam sebuah hadis Nabi Muhammad Saw, Allah Swt berfirman, “Jika hamba-hamba-Ku, yang telah membelakangi-Ku, tahu betapa Aku menunggu mereka dan Aku merindukan mereka kembali, mereka akan mati dalam kegembiraan.”
Dalam agama Islam, berputus asa dari rahmat Allah adalah dosa terburuk dan terbesar. Bagaimana bisa seseorang berputus asa dari rahmat Allah. Karena rahmat-Nya lebih besar dari murka-Nya, dan yang nama Rahman dan Rahim adalah awal dari semua surah Al-Qur'an. Kata Rahman dan Rahim beserta turunannya diulang sekitar 450 kali dalam Al-Qur’an. Adanya semua ini menekankan kemurahan dan pengampunan Allah, yang memberi keberanian kepada hamba yang berdosa untuk kembali kepada Allah dan meminta pengampunan-Nya terlepas dari segala dosa mereka.
Pada prinsipnya, adakah selain Allah yang memiliki kuasa untuk mengampuni dosa-dosa kita?
Selain rahmat dan ampunan Allah, apakah kita memiliki tempat berteduh untuk menjauhi api dan siksaan yang telah kita persiapkan untuk diri kita sendiri akibat dosa-dosa kita?
Sudah barang tentu tidak ada perlindungan bagi kita kecuali dari-Nya. Jadi bagaimana kita bisa berputus asa dari rahmat dan pengampunan-Nya ketika ini adalah satu-satunya jalan ke depan bagi kita? Allah Swt tidak akan pernah menutup satu-satunya jalan ini bagi kita. Namun mari kita ingat kata-kata Imam Ridha as yang mengatakan, “Seseorang yang bertobat dan meminta pengampunan dari Tuhannya, tetapi pada saat yang sama tidak berhenti berbuat dosa dan tidak berhenti melakukan dosa, sebenarnya dia mengolok-olok dirinya sendiri.”
Hamba yang paling saleh adalah yang paling memohon dari-Nya. Mereka yang mengenal bahwa Allah dengan baik bahwa rahmat dan anugerah Allah tidak terbatas, sehingga mereka tidak akan pernah bosan meminta kepada-Nya. Untuk mengenal Allah, kita tidak perlu masuk sekolah teologi, cukup membuka mata terhadap tanda-tanda Tuhan yang ada dan membuka telinga terhadap suara-suara dari ayat-ayat Allah. Mari kita dengarkan suara jatuhnya air terjun dan tiupan angin serta kicauan burung dan bukalah pikiran dan hati kita terhadap semua hal yang kita lihat dan dengar.
Kemudian dengan sepenuh hati, sebagaimana Imam Maksum mengucap syukur atas nikmat Allah dalam doa Iftitah, kita juga bersyukur dan mengucapkan:
الْحَمْدُ لِلّهِ الْفاشِی فِی الْخَلْقِ أَمْرُهُ وَ حَمْدُهُ، الظَّاهِرِ بِالْکرَمِ مَجْدُهُ، الْباسِطِ بِالْجُودِ یدَهُ، الَّذِی لَاتَنْقُصُ خَزائِنُهُ، وَ لَا تَزِیدُهُ کثْرَةُ الْعَطاءِ إِلّا جُوداً وَ کرَماً إِنَّهُ هُوَ الْعَزِیزُ الْوَهَّابُ.
Segala puji bagi Allah yang tertebar di antara makhluk perintah dan pujian-Nya, yang tampak dengan kemurahan keagungan-Nya, yang menjulurkan tangan-Nya dengan kedermawanan, yang tak pernah berkurang simpanan-Nya dan tidak menambah-Nya banyaknya pemberian kecuali kedermawanan dan kemurahan hati. Sesungguhnya Ia adalah Maha Mulia, Maha Penganugrah.
Puji dan syukur kepada Allah segala urusannya terlihat dan jelas di semua keberadaan. Kata al-Fasyi pada bagian doa Iftitah ini artinya disingkapkan. Cukup dengan membuka mata kita terhadap tanda-tanda Allah yang diciptakan di dunia. Seperti yang dikatakan Imam Ali as, yang berada di puncak keimanan, “Saya tidak melihat apapun kecuali bahwa saya melihat Allah bersamanya, di dalamnya, sebelumnya dan setelahnya.” Sebaliknya, ketika kita berkata kepada orang yang tidak beriman, lihatlah matahari! Dia menutup matanya dan berkata, Saya tidak mau! Kita berkata, Dengarkan kebenaran, lalu menilai! Dia berkata lagi, Saya tidak mau! Tidak diragukan lagi, orang seperti ini tidak beriman, bukan karena iman baginya belum terbukti, tetapi karena dia tidak mau beriman.
Dalam doa mulia Iftitah, kita memuji Allah yang kekayaan-Nya tidak akan berkurang dan pengampunannya yang melimpah menambah kedermawanan dan kemurahan hatinya.
وَ لَا تَزِیدُهُ کثْرَةُ الْعَطاءِ إِلّا جُودا
Dan tidak menambah-Nya banyaknya pemberian kecuali kedermawanan dan kemurahan hati.
Mungkin akan lebih bisa dipahami jika dikatakan, “Segala puji bagi Allah yang melimpahkan semakin banyak, hartanya tidak berkurang”, karena harta Allah tidak terbatas. Namun mengapa Imam as mengatakan, Semakin banyak Allah memberi, semakin bertambah rahmat dan karunia-Nya? Mungkin jawaban atas pertanyaan ini dapat ditemukan dalam kata-kata Imam Ali as, di mana dia berkata, Setiap wadah menjadi sempit sesuai dengan jumlah yang dimasukkan, kecuali wadah ilmu, yang meluas.
کُلُّ وِعَاءٍ یَضِیقُ بِمَا جُعِلَ فِیهِ إِلاَّ وِعَاءَ الْعِلْمِ، فَإِنَّهُ یَتَّسِعُ بِهِ
Semua wadah akan menyempit ketika dimasukkan sesuatu, kecuali wadah ilmu, karena ia akan menjadi luas dengan ditambahkan ilmu.
Untuk lebih memahami hal ini, bayangkan sebuah wadah dengan kapasitas sepuluh liter, misalnya dengan menuangkan susu lima liter, sebagian kapasitasnya akan terisi, dan setelah itu kapasitas wadah hanya lima liter, tetapi sains dan pengetahuan tidak seperti itu. Seorang siswa yang memiliki kemampuan untuk memahami sepuluh hal, dengan memahami sepuluh hal ini, bukan hanya kapasitas pikirannya tidak akan berkurang, tetapi ia juga akan menemukan kapasitas untuk memahami lebih banyak hal.
Karunia dan ampunan Allah juga seperti ini, jika Allah memberikan ilmu, rahmat dan cinta, keberadaan manusia bukan hanya tidak akan mengurangi kapasitasnya untuk menerima, tetapi orang tersebut akan menemukan kapasitas untuk menerima lebih banyak dan Allah akan memberinya lebih sesuai dengan kemampuannya. Maka apapun yang diberikan oleh Allah, maka akan ditambahkan rahmat dan karunia-Nya.
Di malam-malam di mana doa terkabul, kita juga mengangkat tangan ke langit dan menyampaikan, Ya Allah! Hiasi kami dengan ilmu, kemampuan dan kesabaran. Muliakan kami dengan takwa dan beri kami kesehatan.