Aug 23, 2017 09:48 Asia/Jakarta

Sejak era revolusi industri yang ditandai dengan penggunaan besar-besaran bahan bakar fosil hingga kini, manusia memainkan peran vital dalam proses perubahan iklim dan pemanasan global melalui penyebaran gas rumah kaca. Dewasa ini apa yang kita produksi, konsumsi atau kita buang sama halnya dengan penyebaran gas rumah kaca.

Menurut data yang dirilis oleh World Resources Institute (WRI) dan Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC), salah satu faktor terpenting produksi dan sumber emisi gas rumah kaca dari aktivitas manusia adalah pembangkit listrik.

Pembangkit listrik merupakan faktor utama dan terpenting emisi gas ini dan memiliki 25 persen saham dari penyebaran gas rumah kaca di dunia. Aktivitas mayoritas pembangkit listrik di dunia menggunakan bahan bakar fosil seperti gas alam, batu bara  dan minyak. Selain aktivitas manusia lainnya, pembangkit listrik menempati posisi signifikan di emisi gas rumah kaca di dunia.

Faktor kedua meningkatnya gas rumah kaca adalah deforestasi hutan yang memiliki 20 persen saham di emsi gas ini. Perusakan dan pemusnahan hutan bukan saja menurunkan kapasitas penyerapan karbon dioksida, namun juga menyebabkan penyebaran dalam jumlah besar karbon ini dan metana yang tersimpan di pohon.

Saham ketiga peningkatan gas rumah kaca diduduki oleh alat transportasi yang meraih 13 persen saham di penyebaran gas ini. Kendaraan umum setiap satu kilo meter hanya lima persen lebih rendah dari pesawat dalam memproduksi gas rumah kaca. Namun demikian angka ini tiga kali lipat dari kereta api.

Pengeboran minyak dan gas juga memiliki enam persen saham emisi gas rumah kaca di dunia melalui penyebaran karbon dioksida dan metana. Pengeboran dan penyulingan minyak serta gas alam membutuhkan konsumsi energi yang besar, selain itu juga mendorong penyebaran gas metana dari bawah tanah ke atmosfir bumi. Dampak pemanasan potensial metana 20 kali lebih besar dari karbon dioksida.

Aktivitas pertanian juga memproduksi gas rumah kaca. Pupuk kimia yang memproduksi nitrogen oksida/oksida nitrogen memiliki 6 persen saham penyebaran gas rumah kaca di dunia. Petani modern sangat bergantung pada pupuk kimia dan pestisida yang diproduksi dari minyak mentah serta gas alam. Penggunaan produk ini mengakibatkan tersebarnya nitrogen oksida yang berujung pada pemanasan global. Sementara dampak pemanasan potensial yang ditimbulkan nitrogen oksida 300 kali lipat dari karbon dioksida.

Oksida Nitrogen (NOx) adalah kelompok gas nitrogen yang terdapat di atmosfir yang terdiri dari nitrogen monoksida (NO) dan nitrogen dioksida (NO2). Walaupun ada bentuk oksida nitrogen lainnya, tetapi kedua gas tersebut yang paling banyak diketahui sebagai bahan pencemar udara.

Nitrogen monoksida merupakan gas yang tidak berwarna dan tidak berbau sebaliknya nitrogen dioksida berwarna coklat kemerahan dan berbau tajam. Nitrogen monoksida terdapat di udara dalam jumlah lebih besar daripada NO2. Pembentukan NO dan NO2 merupakan reaksi antara nitrogen dan oksigen diudara sehingga membentuk NO, yang bereaksi lebih lanjut dengan lebih banyak oksigen membentuk NO2.

Oksida nitrogen seperti nitrogen monoksida dan NO2 berbahaya bagi manusia. Penelitian menunjukkan bahwa NO2 empat kali lebih beracun daripada nitrogen monoksida. Selama ini belum pernah dilaporkan terjadinya keracunan NO yang mengakibatkan kematian. Di udara ambien yang normal, NO dapat mengalami oksidasi menjadi NO2 yang bersifat racun. Penelitian terhadap hewan percobaan yang dipajankan nitrogen monoksida dengan dosis yang sangat tinggi, memperlihatkan gejala kelumpuhan sistim syarat dan kekejangan.

Penelitian lain menunjukkan bahwa tikus yang dipajan NO sampai 2500 ppm akan hilang kesadarannya setelah 6-7 menit, tetapi jika kemudian diberi udara segar akan sembuh kembali setelah 4–6 menit. Tetapi jika pemajanan NO pada kadar tersebut berlangsung selama 12 menit, pengaruhnya tidak dapat dihilangkan kembali, dan semua tikus yang diuji akan mati. NO2 bersifat racun terutama terhadap paru.

Sementara itu, peternakan juga memiliki 5 persen saham dalam penyebaran gas rumah kaca di dunia. Hampir separuh emisi gas rumah kaca di dunia didominasi sektor peternakan. Industri semen, antariksa, baja dan sampah juga memiliki andil besar dalam penyebaran gas rumah kaca di dunia. Pertanyaan di sini adalah, negara mana yang memainkan peran signifikan dalam prokdusi gas rumah kaca?

Sebuah analisa yang dirlis tahun 2007 oleh sekelompok pakar perubahan iklim di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Amerika Serikat menempati posisi puncak dalam produksi gas rumah kaca di dunia. Namun laporan terbaru yang dirilis menunjukkan AS disalip oleh Cina. Mengingat laju ekonomi cepat, Cina dewasa ini mendominasi produksi gas rumah kaca di dunia sebesar seperempat dari total produksi gas ini.

Namun begitu pergantian posisi produsen gas rumah kaca ini merupakan poin penting yang patut direnungkan. Berdasarkan laporan pakar PBB, di Cina diproduksi sejumlah besar baja, namun baja tersebut pada kahirnya diekspor ke Amerika Serikat. Dalam hal ini, Cina sebagai produsen yang dicap sebagai sumber polusi, sedangan konsumen dari produk ini adalah AS.

Menyusul peringatan pakar lingkungan hidup pada Desember 1997, akhirnya disusun protokol Kyoto dan 160 negara sepakat menandatangani kesepakatan tersebut dan komitmen untuk menghentikan proses pemanasan bumi. Protokol Kyoto adalah sebuah amendemen terhadap Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), sebuah persetujuan internasional mengenai pemanasan global. Negara-negara yang meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk mengurangi emisi/pengeluaran karbon dioksida dan lima gas rumah kaca lainnya, atau bekerja sama dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga jumlah atau menambah emisi gas-gas tersebut, yang telah dikaitkan dengan pemanasan global.

Berdasarkan protokol Kyoto, 36 negara industri dunia berkewajiban menjadikan tingkat produksi gas rumah kacanya rata-rata lima persen lebih rendah dari produksi tahun 1990 hingga tahun 2012. Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Protokol Kyoto sebagai hukum lingkungan internasional adalah menyikapi ketidakbersediaan berbagai negara besar untuk bergabung dan meratifikasi Protokol Kyoto. Hingga kini, Salah satu negara besar yang paling signifikan pengaruhnya untuk mewujudkan misi Protokol Kyoto dengan mengurangi emisi dunia adalah Amerika Serikat. Amerika Serikat, selaku penyumbang emisi terbesar dunia, hingga kini belum meratifikasi Protokol Kyoto.

Inilah yang merupakan tantangan terbesar dari Protokol Kyoto, membuat negara penyumbang emisi terbesar dunia seperti Amerika Serikat bersedia meratifikasi Protokol Kyoto dan dengan itu mengurangi tingkat polusinya. Sebenarnya, apa alasan Amerika Serikat hingga kini belum meratifikasi Protokol Kyoto tersebut?

Salah satu alasan utamanya adalah alasan ekonomi. Bush mengatakan, “Protokol Kyoto hanya akan membahayakan kondisi perekonomian dan kondisi perburuhan mereka. Pemaksaan pengurangan emisi akan menyebabkan produktivitas industri Amerika Serikat menurun, karena emisi merupakan produk sampingan dari hasil produksi industri-industri. Dan pengurangan emisi berarti sama dengan mengurangi kegiatan produksi itu sendiri.”

Pengurangan kegiatan produksi tentu akan berdampak buruk pada perekonomian mereka, apalagi Protokol Kyoto mewajibkan Amerika Serikat mengurangi sampai 30%-an dari emisinya, jumlah yang sangat besar yang tentu akan mempengaruhi perekonomian Amerika Serikat. Menurunnya kegiatan perekonomian pada akhirnya akan berdampak pada penurunan kehidupan buruh, yang upahnya berasal dari persentase hasil produksi suatu pabrik.

Penurunan hasil produksi yang diakibatkan penurunan emisi pabrik kemudian akan berdampak pada penurunan upah buruh, yang lantas berdampak pada buruknya standar kehidupan rakyat Amerika secara keseluruhan. Sehingga dapat disimpulkan alasan pertama Amerika Serikat tidak mau meratifikasi Protokol Kyoto adalah karena Protokol Kyoto dinilai akan menghancurkan kehidupan ekonomi dan kehidupan sosial rakyat Amerika Serikat.

Alasan kedua Amerika Serikat dan beberapa negara maju lain tidak mau meratifikasi Protokol Kyoto adalah karena Protokol Kyoto tidak mewajibkan negara berkembang untuk mengurangi emisi, seperti yang diwajibkan Protokol Kyoto pada negara maju. Beberapa negara maju merasa hal itu tidak adil, karena menurut mereka negara berkembang merupakan penyumbang emisi yang cukup besar di dunia. Protokol Kyoto dinilai seakan menutup mata pada emisi dari negara berkembang termasuk di dalamnya Cina, Rusia, India, dan Brazil dan cenderung menyalahkan negara maju atas semua kadar emisi dunia.

Penegasian terhadap emisi negara berkembang pada akhirnya akan membuat usaha negara maju mengurangi emisi mereka pada akhirnya tidak berguna, karena diperkirakan negara berkembang akan menghasilkan tingkat emisi lebih tinggi dibanding negara-negara industri yang dikenai kewajiban mengurangi emisinya pada 2020. Selain itu, jumlah penduduk yang besar dari negara berkembang juga seharusnya mampu mengurangiemisi karbon dunia.