Sep 06, 2017 10:15 Asia/Jakarta

Salah satu dari dampak polusi udara adalah perubahan iklim yang dewasa ini menjadi perhatian serius dunia. Banyak upaya untuk menanggulangi perubahan iklim dan pemanasan global, salah satunya adalah konferensi perubahan iklim di Paris. Gerakan global untuk menangani perubahan iklim di dunia sampai saat ini masih banyak mendapat ganjalan, khususnya dari negara-negara produsen gas rumah kaca.

Perubahan iklim secara harfiah adalah iklim yang berubah akibat suhu global rata-rata meningkat. Peningkatan emisi gas rumah kaca tersebut di atmosfer, khususnya CO2, telah memerangkap suhu panas di atmosfer bumi. Hal tersebut berdampak pada sistem cuaca global yang menyebabkan segala sesuatu mulai dari curah hujan yang tak terduga hingga gelombang panas yang ekstrim. 

Bumi telah melalui periode pemanasan dan pendinginan yang terkait dengan perubahan iklim berkali-kali. Hal yang saat ini menjadi perhatian utama dan disetujui oleh para ilmuwan adalah bahwa proses pemanasan yang terjadi jauh lebih cepat daripada yang telah dilakukan sebelumnya, dan bahwa pemanasan yang cepat disebabkan oleh peningkatan tingkat emisi buatan manusia.

Dunia ini sudah satu derajat Celsius lebih hangat daripada di masa pra-industri. Ini mungkin tidak terdengar terlalu signifikan tetapi dapat berpotensi menghancurkan planet ini dan juga mata pencaharian jutaan orang di seluruh dunia. Para ilmuwan mengingatkan bahwa kita harus berusaha untuk membatasi kenaikan suhu hingga maksimum dua derajat dibandingkan dengan suhu dasar pada tahun 1990, dan anggapan tersebut disetujui oleh oleh negosiasi iklim internasional.

Ada penyebab alamiah yang berkontribusi terhadap fluktuasi iklim, tetapi praktik industri merupakan penyumbang terbesar di balik pemanasan global. Tuntutan pertumbuhan populasi telah menyebabkan deforestasi, pembakaran bahan bakar fosil, dan pertanian yang meluas. Kegiatan ini semua menghasilkan gas rumah kaca di atmosfer kita - gas seperti karbondioksida, nitrogenoksida dan metana. Gas rumah kaca menahan panas dari matahari dan tidak terpantulkan kembali ke angkasa. Hal ini menyebabkan atmosfer bumi memanas, yang dikenal sebagai efek rumah kaca. Hanya dalam 200 tahun, tingkat karbondioksida di atmosfer kita telah meningkat sebesar 30%.

Efek dari perubahan iklim sudah berdampak pada mata pencaharian masyarakat, serta pada satwa liar dan lingkungan di seluruh dunia. Di Cina, bencana alam telah melanda 24,89 juta hektar tanaman pada tahun 2014, di mana 3,09 juta hektar di antaranya hancur, sementara kekeringan menyebabkan kerugian ekonomi secara langsung hingga 83,6 miliar yuan atau lebih dari 13 miliar dolar. Di Turki, panen yang tertunda di wilayah Laut Hitam pada tahun 2014 mengakibatkan produsen teh Turki mengalami kerugian lebih dari 15% dari pendapatan tahunan mereka, karena suhu dingin ekstrem. 

Secara keseluruhan, bencana alam dalam dekade terakhir telah menelan biaya di seluruh dunia hingga 2,7 triliun dolar. Kebakaran hutan terus mengancam kehidupan spesies yang terancam punah, saat iklim yang berubah-ubah dan pembukaan lahan pertanian memaksa binatang keluar dari kawasan lindung untuk mencari air dan wilayah untuk ditempati. Kerugian yang ditimbulkan akibat perubahan iklim juga turut mempengaruhi Unilever sebagai satu perusahaan. Kami memperkirakan biaya tahunan yang harus dikeluarkan oleh Unilever terkait dengan dampak perubahan iklim sekitar 300 juta dolar per tahun.

Tingkat dari dampak yang ditimbulkan oleh perubahan iklim tergantung pada tingkat kenaikan suhu bumi. Kenaikan satu derajat akan memiliki dampak ekologis yang serius dan diperkirakan kerugian yang ditimbulkan sekitar 68 triliun dolar. Perubahan iklim akan menyebabkan beberapa daerah menjadi basah, dan daerah lainnya menjadi lebih hangat. Permukaan air laut akan naik akibat dari gletser yang mencair, sementara beberapa daerah akan lebih berisiko terkena gelombang panas, kekeringan, banjir, dan bencana alam. Perubahan iklim bisa merusak rantai makanan dan ekosistem, menempatkan seluruh spesies terancam kepunahan.

Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) di laporannya yang diterbitkan beberapa waktu lalu menyoroti dampak dari fenomena perubahan iklim. Di laporannya, IPCC menyebutkan bahwa perubahan iklim dan pemanasan bumi berdampak pada melelehnya bongkahan es di kutub utara, musnahnya habitat karang di samudera dan memicu gelombang besar panas, hujan deras, badai serta banjir.

PCC mengeluarkan laporan dengan kepastian antara 95-100% bahwa pemanasan global terjadi karena ulah manusia. Pemanasan global ini akan berdampak dramatis terhadap cuaca, kenaikan air laut dan berkurangnya volume es di benua Arktika.

Data terbaru IPCC menunjukkan, rata-rata suhu permukaan bumi naik 0,89°C dari periode 1901 hingga 2012. Periode 30 tahun terakhir adalah tiga dekade terpanas bumi sejak 1850. Di belahan bumi bagian Utara, periode 1983-2012 adalah tiga dasawarsa terpanas sejak 1400 tahun yang lalu. Sementara dekade pertama abad 21 (2001-2010) adalah satu dekade terpanas sepanjang sejarah (dengan suhu di permukaan bumi rata-rata yang mencapai 14,47°C).

Menurut laporan IPCC, rata-rata suhu bumi akan naik antara 0,3°C ke 0,7°C pada periode 2016-2035. Sementara pada periode 2081-2100, rata-rata suhu di permukaan bumi akan melampaui masa pra industri atau naik 1,5°C – setara dengan kenaikan 2°C (tergantung pada konsentrasi emisi gas rumah kaca). Anomali suhu bumi terus terjadi.

Suhu permukaan air laut (hingga kedalaman 700 meter) juga terus naik dalam periode 1971 hingga 2010. Demikian juga suhu laut hingga kedalaman di bawah 3000 meter yang terus menghangat sejak 1990-an. Kenaikan suhu di samudra ini adalah bukti utama penyerapan energi matahari oleh lautan yang mencapai 93% antara 1971 and 2010. Menurut IPCC, lautan di bumi akan terus menghangat selama abad 21.

Bank Dunia di laporan terbarunya memperingatkan, jika tidak diambil langkah serius meredam dampak negatif pemanasan bumi, hingga tahun 2030 jumlah warga miskin di dunia akan meningkat 100 juta orang. Menurut riset, dampak tersebut paling banyak terjadi di benua Afrika, karena perubahan iklim di kawasan ini hingga tahun 2030 akan mendorong melambungnya harga bahan makanan. Kondisi ini bagi kawasan yang 60 persen anggaran keluarga dialokasikan untuk membeli makanan, menjadi pulukan mematikan.

Untuk menanggulangi pemanasan global, berbagai upaya telah dilakukan baik di tingkat nasional, regional dan bahkan internasional. Salah satu upaya internasional terbaru adalah konferensi perubahan iklim di Paris yang digelar tahun 2015. Setelah berunding selama dua minggu, sebanyak 195 negara peserta Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim PBB atau COP di Paris, Perancis akhirnya mengeluarkan Kesepakatan Paris (Paris Agreement). Kesepakatan Paris merupakan kesepakatan internasional sebagai komitmen bersama dunia untuk memerangi perubahan iklim.
    
Berdasarkan perjanjian yang disepakati secara bulat itu, semua negara setuju untuk mengurangi emisi gas rumah kaca secepat mungkin. Selain itu, disepakati pula bahwa negara-negara di dunia berkomitmen untuk menjaga ambang batas kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat celcius (2C) dan berupaya menekan hingga 1,5 C.

Ada lima poin penting dalam kesepakatan internasional ini: Pertama, perlu dilakukan upaya mitigasi dengan mengurangi emisi karbon dengan cepat, untuk menjaga ambang batas kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat celcius (2C) dan berupaya menekan hingga 1,5 C. Kedua, sistem penghitungan karbon dan pengurangan emisi harus dilakukan secara transparan.

Ketiga, upaya adaptasi harus dilakukan dengan memperkuat kemampuan-kemampuan negara-negara di dunia untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Keempat, memperkuat upaya pemulihan akibat perubahan iklim, dari kerusakan. Kelima bantuan, termasuk pendanaan bagi negara-negara untuk membangun ekonomi hijau dan berkelanjutan.

Poin penting di sini adalah tanpa kerja sama internasional, upaya memerangi perubahan iklim mustahil diwujudkan. Presiden Republik Islam Iran, Hassan Rouhani di KTT Perubahan Iklim New York baru-baru ini mengatakan, “Jika kita yakin bahwa pemanasan global adalah krisis dunia, maka kita harus mengakui bahwa upaya menanggulanginya membutuhkan kerjasama internasional.”

Rouhani menilai penjegalan terhadap upaya kerjasama internasional di bidang penanganan kendala lingkungan hidup merugikan masyarakat dunia. “Saat ini sejumlah negara masih ada kesulitan menggapai pengalaman dan teknologi negara maju di bidang penanganan kekeringan, kekurangan air dan lingkungan hidup, khususnya polusi di kota-kota besar,” papar Rouhani.