Nov 29, 2017 12:38 Asia/Jakarta

Salah satu korban terbesar perang era modern adalah sumber alam dan lingkungan hidup. Di sejumlah kasus dampak dari krisis ini baru muncul setelah bertahun-tahun pasca perang. Salah satu contoh nyata dalam kasus ini adalah perang yang dikobarkan rezim Zionis Israel di Lebanon selatan dan Jalur Gaza.

Salah satu korban terbesar perang era modern adalah sumber alam dan lingkungan hidup. Di sejumlah kasus dampak dari krisis ini baru muncul setelah bertahun-tahun pasca perang. Salah satu contoh nyata dalam kasus ini adalah perang yang dikobarkan rezim Zionis Israel di Lebanon selatan dan Jalur Gaza.

Lebih dari setengah abad perang dan konfrontasi antara Arab dan rezim Zionis Israel berlangsung dan setiap peperangan terjadi, selain korban besar yang ditimbulkan, lingkungan hidup di kawasan juga mengalami kerugian. Salah satu contoh nyata kerusakan lingkungan hidup selama perang ini dapat disaksikan di agresi Israel ke Lebanon selatan tahun 2006. Perang Israel dan Hizbullah Lebanon berujung pada pembantaian 1500 orang yang mayoritasnya warga sipil serta kehancuran 15000 rumah. Tregadi ini tidak berhenti di sini saja, namun perang ini juga merusak lingkungan hidup dan warisan budaya Lebanon.

Serangan udara Israel ke sebuah pusat pembangkit listrik di 25 km selatan Lebanon mengakibatkan tumpahan minyak terbesar di bagian timur Mideterania. Tercatat 15000 ton, yakni lebih dari 14 juta galon minyak tersebar di laut dan meliputi pantai Lebanon serta Suriah. Tumpahan minyak ini mencemari 75 km pantai Lebanon dan sebagian pantai Suriah serta Turki serta sisanya terbawa air ke tengah laut.

Selain itu, serangan udara Israel tersebut sekitar 25000 ton minyak di lokasi ini terbakar yang mengakibatkan terbentuknya awan beracun di udara serta hujan polusi. Pemboman bandara udara Beirut membakar 40000 ton kerosen. Di sisi lain, penyebaran bahan beracun kilang minyak, pom bensin, pabrik produksi bahan plastik juga merusak lingkungan hidup Lebanon.

Pengeboman Gaza

Serangan udara ini juga mencemari pelabuhan tertua dunia, Phoenicia dengan ribuan ton minyak hitam. Padahal pelabuhan ini selama serangan imperium Roma, perang Salib dan berbagai peperangan lain tidak tersentuh dan tetap selamat, namun kali ini mengalami kerusakan berat akibat keganasan rezim Zionis. Warisan budaya lain Lebanon yang berusia ribuan tahun juga tak luput dari bombardir jet tempur Israel. Rezim Zionis melalui serangan udaranya juga menarget kota kuno Tirus, hutan kuno Sur dan kota Baalbek yang terkenal dengan peninggalan tiang-tiang kuno yang menjulang tinggi.

Aktivis organisasi lingkungan “Lautan Lebanon“, Mohammed al-Sarji, mengumpulkan ribuan foto, yang menunjukkan kerusakan lingkungan akibat perang itu. Al Sarji yang juga memiliki hobby menyelam itu, mendokumentasikan secara rinci sebaran cemaran minyak di sepanjang kawasan pantai Lebanon yang terjadi Juli 2006 lalu.

Cemaran minyak itu, akibat masih berlangsungnya perang dan blokade laut Israel, baru lima minggu kemudian dapat dibersihkan. Dalam kurun waktu lima minggu itulah unsur-unsur berat dari minyak sudah mengendap ke dasar laut. Ombak juga menyebarkan cemaran minyak itu ke arah utara Jiyyeh. Sedikitnya 150 km dari seluruhnya 225 km bentang pantai Lebanon tercemar berat. Cemaran minyak terbawa ombak sampai ke perairan Suriah dan Turki.

Mohammed al-Sarji menunjukkan foto-foto di sebuah pelabuhan kecil dekat Beirut dan pelabuhan Byblos yang bersejarah, yang diselaputi lapisan tebal minyak kental berwarna hitam. Kapal-kapal nelayan bagaikan dilem oleh lapisan minyak tebal. Batuan dan pasir pantai serta tebing-tebing karang yang berwarna hitam akibat cemaran minyak membentang di sepanjang kawasan pantai Lebanon.

Bisnis perikanan dan pariwisata paling merasakan dampak negatif dari cemaran minyak itu. Kementrian Pariwisata Lebanon menaksir kerugian sekitar tiga milyar Dollar. Juga induk koperasi perikanan Lebanon menaksir kerugian senilai tiga milyar Dollar. Ribuan nelayan tiba-tiba menjadi penganggur.

Setelah perang dinyatakan usai dan blokade laut yang diterapkan Israel dicabut, para aktivis lingkungan Lebanon dibantu organisasi internasional melakukan aksi pembersihan besar-besaran. Sekarang, tiga tahun kemudian kawasan pantai yang tercemar kelihatannya sudah bebas cemaran minyak. Juga jika menyelam ke dasar laut, endapan minyak tidak terlihat lagi. Tapi kenampakan visual itu sebetulnya menipu. Pencemaran yang terjadi telah merusak habitat ikan di kawasan itu.

Garabed Kazanjian, pimpinan Greenpeace di Beirut mengungkapkan hasil pengamatannya, "Dalam dua sampai tiga tahun, populasi ikan di kawasan perairan Lebanon merosot tajam. Beberapa jenis bahkan terancam musnah. Minyak mencemari laut pada bulan Juli, bertepatan dengan musim kawin ikan. Ikan dewasa maupun anaknya banyak yang mati. Bukan hanya dampak langsung, melainkan juga dampak lanjutannya bagi generasi ikan berikutnya. Ditambah lagi, kawasan timur Laut Tengah adalah tempat pemijahan penting banyak jenis ikan. Biasanya ikan-ikan bertelur di kawasan perairan dangkal."

Garabed Kazanjian tidak dapat menyebutkan angkanya secara pasti. Karena hingga kini tidak pernah dilakukan penelitian rinci menyangkut dampak jangka panjang dari cemaran minyak tersebut. Yang jelas, cemaran minyak yang terjadi bulan Juli 2006 itu menimbulkan beban berat bagi ekosistem kawasan Laut Tengah di Lebanon yang sebelumnya juga sudah terancam kerusakan.

Pasukan Lebanon 

Kini Greenpeace bersama dengan koperasi nelayan lokal serta perhimpunan warga menggelar aksi kampanye, untuk menuntut agar kawasan perairan di sekitar pelabuhan Byblos yang bersejarah, dinyatakan sebagai kawasan cagar lautan. Dengan penetapan sebagai kawasan yang dilindungi, diharapkan paling tidak jumlah populasi ikan di kawasan bersangkutan dapat memiliki peluang untuk pulih kembali.

Kejahatan Israel tidak terbatas di perang Lebanon saja. Perang merusak di Jalur Gaza selain mempersulit kehidupan 1,5 juta warga Palestina, juga mengancam lingkungan hidup di daerah ini. Di perang 22 hari tahun 2008, Israel mengakui telah menggunakan fospor putih dan uranium yang diperlemah. Senjata ini telah menciderai warga dan merusak lingkungan hidup di Jalur Gaza. Ketika bom fosfor putih dijatuhkan, bom ini berubah menjadi ratusan peluru halus dan mencakup area sekitar 45 meter serta membakar apa saja di sekitarnya dan mencemari lingkungan.

Menurut laporan  United Nations Office for Humanitarian Affairs (OCHA) untuk wilayah pendudukan Palestina (Occupied Palestinian Territory) serangan Israel yang membabi buta tidak hanya menghancurkan infrastruktur Gaza namun juga menambah parah krisis lingkungan dan perubahan iklim di wilayah Palestina yang telah berlangsung selama bertahun-tahun.

Kondisi lingkungan ini terungkap dalam laporan resmi Palestinian Central Bureau of Statistics (PCBS) yang diterbitkan seiring dengan perayaan Hari Lingkungan Hidup Dunia. Menurut PCBS, lingkungan Palestina saat ini menghadapi berbagai ancaman. Kelangkaan sumber daya alam, kekeringan, pencemaran air, kerusakan lahan, hilangnya keanekaragaman hayati dan polusi udara menjadi masalah utama.

Menurut laporan Palestinian Water Authority (PWA) bulan Oktober 2013, air hujan, menjadi sumber air tanah dan air permukaan utama di Palestina. Curah hujan tahunan di wilayah ini hanya mencapai 450 mm/tahun di Tepi Barat dan 327 mm/tahun di Jalur Gaza. Israel menguasai seluruh akses air bersih terutama Sungai Yordan sehingga ketersediaan air permukaan di wilayah Palestina sangat bergantung pada luberan (runoff) air sungai yang saat ini tidak banyak bisa digunakan. Sementara 95% air tanah yang dipompa di Jalur Gaza adalah air payau, air yang memiliki kandungan garam lebih tinggi dari air tawar.

Kondisi ini diperburuk oleh perampasan akses air oleh Israel. Warga Palestina hanya bisa menggunakan 15% air yang ada di wilayah ini sementara Israel menyedot 85% sumber air yang ada di sana. Ekspolitasi dan pembangunan sumber air yang dilakukan oleh Israel, menurut PCBS, juga dilakukan tanpa memerhitungkan hak-hak rakyat Palestina. Israel melarang pengeboran sumber air untuk pertanian dan menghancurkan fasilitas air dan irigasi yang ada. Akibatnya, konsumsi air per kapita warga di wilayah pendudukan untuk kebutuhan rumah tangga tak lebih dari 76,4 liter/penduduk/hari pada 2012 di Tepi Barat dan 90 liter/penduduk/hari di Jalur Gaza.

Anak-anak Gaza

Serangan militer Israel dipastikan memerparah kondisi kekurangan air di wilayah Palestina. Pasca serangan militer Israel 15 Juli, lembaga kemanusiaan International Committee of the Red Cross (ICRC) melaporkan telah terjadi kerusakan di sistem penyaluran air sehingga akses air bersih untuk ratusan ribu penduduk Gaza terputus. Laporan ini memerparah data PCBS bulan lalu yang menyatakan sekitar 40% pasokan air hilang akibat masalah teknis seperti rusaknya fasilitas instalasi air.

Menurut PCBS, krisis perubahan iklim juga melanda Palestina, mengubah karakteristik cuaca dan musim di wilayah tersebut. Pada musim dingin dan musim semi, kekeringan selalu melanda. Sementara pada musim panas suhu terus meningkat dan curah hujan turun. Fenomena ini menimbulkan dampak ekonomi, sosial, kesehatan dan lingkungan yang memengaruhi kualitas pembangunan di wilayah pendudukan.

Pelanggaran dan agresi militer Israel menurut PCBS menjadi sumber utama kerusakan keanekagaraman hayati yang menjadi sumber kestabilan ekosistem ini. Tepi Barat dan Jalur Gaza tercatat memiliki 2.076 spesies tanaman dimana 90 spesies saat ini terancam punah dan 636 spesies masuk dalam kategori yang sangat langka.

Sumber resmi dari pemerintah Palestina menyebutkan, selama 2013, lebih dari 800 hektar lahan milik warga Palestina telah dirampas oleh pemerintah Zionis Israel dan lebih dari 15.000 tanaman pertanian dihancurkan. Hingga akhir 2013, sebanyak 482 pemukiman dan markas militer telah dibangun di wilayah pendudukan di Tepi Barat. Kekejaman ini menurut PCBS semakin memerparah kerusakan lingkungan dan keanekaragaman hayati di wilayah Palestina.

Tags