Feb 14, 2018 15:00 Asia/Jakarta

Di pembahasan sebelumnya kami telah paparkan berbagai faktor yang dapat membantu penyelamatan lingkungan hidup. Namun menurut para pakar salah satu faktor utama yang merusak lingkungan hidup adalah penyebaran pola konsumsi yang keliru di tengah umat manusia. Dengan demikian wajar jika salah satu upaya untuk melestarikan lingkungan hidup adalah mengubah pola konsumsi keliru di tengah masyarakat.

Pola konsumsi merupakan suatu susunan akan kebutuhan seseorang terhadap barang dan jasa yang akan dikonsumsi dan tergantung berdasarkan pendapatan dalam jangka waktu tertentu. Perlu diketahui bahwa pola konsumsi seseorang berbeda dengan orang yang lainnya. Hal ini tergantung dari besarnya pendapatan seseorang tersebut untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya. Seseorang juga akan menyusun kebutuhan konsumsinya berdasarkan prioritas yang pokok kemudian sekunder. Seperti misalnya kebutuhan pokok adalah kebutuhan untuk makan, pendidikan, dan kesehatan. 

Sedangkan yang termasuk ke dalam kebutuhan sekunder adalah hiburan dan rekreasi. Sehingga ketika pendapatan seseorang tersebut mengalami penurunan, maka orang tersebut akan memangkas kebutuhan sekundernya kemudian memprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pokok terlebih dahulu. Hal ini akan menekan kebiasaan melakukan pola konsumsi yang berlebihan. Karena pada dasarnya perilaku konsumtif akan menimbulkan efek negatif yang tidak baik bagi tingkat perekonomian seseorang. Maka dari itu, seseorang harus menerapkan pola konsumsi yang rasional dalam pemenuhan kebutuhannya.

Amazon

Berbagai bukti yang ada menunjukkan bahwa sebelum revolusi industri, di kebanyakan masyakarat dunia, konsumsi produk-produk yang tidak perlu, khususnya barang mewah dinilai buruk. Namun sejak awal abad ke-20 dan seiring dengan memingkatkan produksi dan munculnya fenomena seperti pemasaran, iklan, kredit dan menyebarkan modalitas, konsumerisme semakin melonjak di seluruh masyarakat khususnya di negara-negara industri.

Dengan demikian sejak saat itu, negara-negara tersebut fokus pada menciptakan produk baru sehingga produknya mampu terjual dan menurut Galbraith, pakar ekonomi dari Kanada, telah tiba saatnya era kedaulatan konsumen. Karena jika sebelumnya konsumen dengan pendapatan dan permintaannya yang menentukan produsen memproduksi barang tertentu. Tapi di era produksi massal, justru pihak lain yang menciptakan kebutuhan para konsumen dan mereka secara tak sadar mengkonsumsi produk yang diiklankan kepada mereka, padahal produk tersebut tidak penting bagi mereka.

Berlanjutnya pola konsumsi seperti ini yang membuat dunia di akhir abad 20 mengalami kendala serius kerusakan lingkungan, musnahnya sumber alam, pemanasan global, penyebaran gas rumah kaca dan bocornya lapisan ozon. Fenomena ini bukan saja menyerang kota-kota besar, bahkan kota kecil dan terkadang hutan serta laut juga diserang dan lingkungannya terancam kehancuran. Kemajuan industri meski memberi bantuan besar kepada umat manusia, tapi juga menimbulkan kerusakan parah terhadap lingkungan hidup yang bukan saja mengancam manusia, bahkan flora dan fauna.

Menurut United Nations Environment Programme (UNEP), organisasi bentukan PBB yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan peringatan World Environment Day (Peringatan Hari Lingkungan Hidup), perilaku konsumsi akan memberikan dampak yang sangat besar pada proses produksi hingga limbah yang dihasilkan. Apalagi dengan jumlah penduduk dunia yang telah mencapai angka 7 miliar dan terus bertambah. Bertambahnya jumlah penduduk secara langsung akan meningkatkan jumlah limbah yang jika tidak dikendalikan akan menimbulkan masalah lingkungan yang besar.

Limbah makanan tidak hanya berdampak secara finansial saja namun juga berdampak buruk bagi lingkungan. Semakin banyak limbah berarti semakin besar pemborosan dalam berbagai hal semisal: Pemborosan sumber daya alam dalam proses produksi seperti penggunaan air, Pemborosan bahan kimia semisal pupuk dan pestisida,Pemborosan bahan bakar dalam transportasi dan pendistribusian.

Semakin banyak limbah makanan yang terbuang juga akan menghasilkan metana yang semakin banyak dalam proses pembusukannya. Padahal metana merupakan salah satu gas rumah kaca yang berkontribusi besar terhadap pemanasan global. Sangat disayangkan saat ini, proses konsumerisme masih terus berlanjut. Saat ini yang menunjukkan kepribadian, karakter dan identitas seseorang adalah pola konsumsi, barang dan kebiasaan seseorang.

Di dunia modern saat ini, yang membedakan seseorang adalah pakaian yang mereka kenakan, rekreasi, merk smartphone yang dimiliki, laptop serta kosmetik yang dipakai. Padahal sebelumnya tolok ukur kepribadian seseorang adalah perilaku dan akhlak, keluarga, pekerjaan dan ideologi. Victor Lebow,analis Amerika terkait hal ini menulis, "Perekonomian kami menuntut kita menjadikan pola konsumsi sebagai gaya hidup. Mendorong kita mencari kepuasan jiwa dengan berbelanja."

Perubahan struktur produksi dan modifikasi pola konsumsi adalah faktor kunci dalam memerangi kerusakan lingkungan. Inisiatif seperti Agenda 21, yang dipromosikan oleh PBB, menyoroti kebutuhan untuk mengevaluasi hubungan antara faktor-faktor produksi dan konsumsi, inovasi dan demografi, dan lingkungan hidup, dalam pencapaian pembangunan berkelanjutan. Dalam konteks ini, studi pekerjaan kami secara mendalam faktor-faktor tersebut un-derlying kegiatan ekonomi rumah tangga, dalam kelompok perwakilan dari negara-negara Uni Eropa dan Amerika Serikat.

Gaya hidup

Dalam kerangka model input-output, Analisis Dekomposisi Struktural dianggap untuk mengidentifikasi berat bahwa pertumbuhan permintaan, perubahan pola konsumsi, perubahan dalam distribusi pendapatan, substitusi input, dan perubahan intensitas energi semua memiliki pada evolusi CO2emissions. Pekerjaan secara khusus bertujuan untuk mengidentifikasi pola-pola umum dan perilaku yang berbeda di antara sektor-sektor produktif dalam lingkungan sosial Eropa. 

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan permintaan, dan karena itu dalam produksi, sebagian besar menyerap efek terbatas teknologi dan efisiensi perbaikan dan perubahan baru jadi diamati pada pola konsumsi. Menurut laporan yang ada, pola konsumsi saat ini menunjukkan rata-rata seseorang membutuhkan 7,2 hektar tanah untuk memenuhi kebutuhannya, padahal kondisi tanah yang ada di dunia hanya mampu memenuhi kebutuhan seseorang dengan 1,2 hektar lahan, mengingat populasi dunia saat ini.

Dengan demikian untuk saat ini bumi mengalami defisit 30 persen untuk memenuhi kebutuhan penduduk. Dan kekurangan ini sebesar 6 hektar untuk setiap satu orang. Tentunya seiring dengan laju pertumbuhan populasi dunia, angka ini setiap tahunnya bertambah dan jurang antara kebutuhan dan sumber alam serta kapasitas dunia dalam menjamin kebutuhan sumber daya bagi manusia.

Oleh karena itu, mengingat laju pertumbuhan penduduk dunia, sepertinya solusi tunggal adalah mengubah dan memodifikasi pola konsumsi dan optimalisasi. Dengan demikian, dewasa ini isu perbaikan pola konsumsi dan pentingnya perhatian atas hal tersebut menjadi sorotan dunia. Dalam hal ini juga digalang berbagai kesepakatan internasional demi mencapai teladan pola konsumsi dan produksi yang tepat.

Perbaikan pola konsumsi bukan hanya tugas pemerintah, tapi setiap individu juga memiliki kewajiban untuk melakukannya. Para pakar banyak memberikan arahan untuk memperbaiki pola konsumsi. Mereka mengusulkan memanfaatkan kertas secara bijak untuk mengurangi penebangan pohon dan membantu produksi oksigen lebih besar. Penggunaan listrik secara tepat juga termasuk saran yang dianjurkan oleh para ahli.

Sampah

Salah satu kendala dari pola konsumsi keliru adalah limbah makanan. Sampah makanan adalah makanan yang terbuang dan menjadi sampah. Definisi sampah dapat dilihat dari berbagai sisi sehingga berbagai lembaga dan organisasi dapat menggunakan definisi yang berbeda-beda mengenai sampah makanan ataupun makanan yang terbuang. Sampah makanan dapat dilihat dari jenisnya, dari bagaimana sampah terbentuk, dan dari mana asalnya.

Sebagian makanan dapat terbuang pada tahap tertentu dalam proses pengolahannya hingga selesai dikonsumsi oleh manusia. Berdasarkan Institution of Mechanical Engineers, setidaknya pada tahun 2013 setengah dari total makanan yang diproduksi manusia terbuang menjadi sampah. Di negara miskin dan berkembang, sebagian besar makanan terbuang dalam proses produksi dan pengolahannya karena proses yang belum efisien. Sedangkan di negara maju, makanan terbuang lebih banyak dari sisi konsumsinya dan setiap individu dapat membuang sekitar 100 kg makanan per tahun.

Sampah makanan dapat ditangani dengan berbagai cara sehingga tidak merusak lingkungan hidup. Salah satunya adalah dengan mengubahnya menjadi pupuk kompos atau makanan ternak dan didaur ulang. Limbah minyak goreng sisa restoran umumnya ada dalam jumlah besar, terutama yang menjalankan proses memasak secara deep frying. Limbah tersebut tidak dapat digunakan kembali secara langsung, namun dapat diolah untuk dijadikan biodiesel dan sabun, juga lipid untuk nutrisi tambahan pakan ternak, kosmetik, dan deterjen. Sampah makanan seperti biji salak dapat diolah menjadi bahan kerajinan. Kulit buah manggis juga dapat diolah menjadi makanan.

Tags