Jan 25, 2019 15:39 Asia/Jakarta
  • 25 Januari 2019.
    25 Januari 2019.

990 tahun yang lalu, tanggal 18 Jumadil Awal 450 HQ, Abu al-Abbas Ahamd bin Ali bin Ahmad yang lebih dikenal dengan Ibnu al-Kufi, Najjasyi dan Syaikh Najjasyi.

Najjasyi lahir pada 372 HQ di kota Kufah. Beliau termasuk murid terkenal Sayid Murtadha Alam al-Huda yang meriwayatkan hadis dari Syaikh Murid dan Tal’akbari. Penguasaan Najjasyi atas ilmu Hadis dan Rijal sangat luar biasa dan paling terkenal di masanya.

 

Kelebihannya dalam dua ilmu ini ditambah penguasaannya atas sejarah dan nasab membuatnya dipercaya oleh ulama besar lainnya. Rijal an-Najjasyi, Akhbar Bani Sunan dan Fadhl al-Kufah merupakan sebagian dari karya tulis ulama besar ini.

 

Pelaksanaan Pemilu  Presiden Pertama di Iran
 

39 tahun yang lalu, tanggal 5 Bahman 1358 HS, dilaksanakan pemilu presiden pertama di Iran.


Menyusul pengunduran diri pemerintahan sementara dengan alasan pendudukan Kedutaan Besar (sarang mata-mata) Amerika di Tehran oleh para mahasiswa "Pengikut Garis Imam", Imam Khomeini ra memerintahkan Dewan Revolusi menjalankan roda pemerintahan. Beberapa waktu setelah itu Dewan Revolusi menyelenggarakan pemilu presiden pertama pada 5 Bahman 1358 Hs.

Dalam pilpres ini, Abolhassan Bani Sadr, setelah tinggal selama 15 tahun di Perancis kembali ke Iran dan dengan menyatakan kesetiaannya kepada Revolusi Islam, rakyat dan Imam Khomeini ra, ia berhasil terpilih sebagai presiden Iran dengan mengantongi 76 persen suara. Sebagai presiden pertama Iran dan panglima tertinggi militer membuat Bani Sadr kehilangan identitas aslinya. Dengan kekuasaan yang dimilikinya Bani Sadr menjadikan dirinya poros kekuatan negara dan mulai sibuk menumpas siapa saja yang menentangnya.

Kondisi ini terus berlanjut dan lambat laun akhirnya ia mulai melawan para revolusioner dan nilai-nilai Revolusi Islam. Beberapa waktu setelah dimulainya Perang Pertahanan Suci, gesekan yang ada ini ternyata tidak juga berakhir, sekalipun Imam Khomeini ra telah berusaha menjadi penengah.

Selama itu pula, para pendukung Bani Sadr mulai menebar kekacauan dan berusaha menciptakan instabilitas nasional. Sementara di sisi lain, Bani Sadr berusaha mengusir para penentangnya dari pusat kekuasaan demi memperkokoh posisinya.

Kerjasama Bani Sadr dengan Kelompok Munafikin Khalq (MKO), menyebarkan aksi-aksi kekerasan, lambat dalam mempertahankan daerah-daerah perbatasan Iran dan tidak berusaha melawan agresi rezim Baath Irak dalam Perang 8 Tahun memunculkan rencana mosi tidak percaya atas kelayakan Bani Sadr di parlemen. Draf ini akhirnya disetujui oleh parlemen.

Sementara itu, Imam Khomeini ra pada 20 Khordad 1360 Hs mencabut kembali mandatnya yang menetapkan Bani Sadr sebagai Panglima Tertinggi Militer. Akhirnya, Parlemen Iran dalam voting yang dilakukan menyepakati draf ketidaklayakan politik Bani Sadr dan Imam Khomeini ra pada 1 Tir 1360 Hs. Sejak saat itu, Bani Sadr semakiin dekat kelompok teroris MKO yang berujung pada gugur syahidnya para pejabat tinggi Iran. Bani Sadr meninggalkan Iran dengan berdandan sebagai seorang wanita bersama pemimpin kelompok teroris MKO melarikan diri dari Iran menuju Perancis.

Setelah kejadian itu, rakyat Iran kembali menuju tempat-tempat pemungutan suara dalam pemilu presiden dan dengan suara mayoritas Mohammad Ali Rajai terpilih sebagai presiden Iran kedua.

Hamas menang dalam pemilu

13 tahun yang lalu, tanggal 25 Januari 2006, Gerakan perlawanan Islam Palestina(HAMAS), berhasil meraih kemenangan dalam pemilu Palestina, meski baru pertama kali tampil sebagai peserta pemilu.

 

Dalam pemilu ini, kendati media-media massa Barat dan rezim Zionis Israel gencar melontarkan propaganda gelap anti-Hamas, namun gerakan perjuangan Palestina ini mampu menguasai 76 kursi parlemen dari 132 kursi yang diperebutkan. Dengan kemenangan tersebut, Ismail Haniyah terpilih sebagai perdana menteri Pemerintah Otorita Palestina. Haniyeh juga mengumumkan rencananya untuk membentuk pemerintah persatuan nasional Palestina, yang akan diikuti juga oleh Organisasi Pembebasan Palestina.

Namun rezim Zionis Israel dan sejumlah negara-negara Barat, khususnya AS terus berupaya menumbangkan pemerintah demokratis Hamas, dengan beragam tekanan ekonomi, politik, militer, dan propaganda, lantaran Hamas tidak mengakui eksistensi rezim Zionis Israel. Tentu saja, upaya destruktif rezim Zionis dan Barat ini, bertentangan nyata dengan slogan demokrasi dan HAM yang selalu mereka promosikan. Barat, khususnya AS, justru lebih memilih kepentingan haram Tel Aviv dan mengabaikan penderitaan rakyat Palestina.

 

Tags