Pesona Iran yang Mendunia (97)
Sheikh Bahauddin Walad bin Hussein bin Ahmad Khatibi adalah ulama, khatib dan arif terkemuka Khorasan abad keenam dan tujuh hijriah.
Aflaki dalam bukunya, “Manaqib al-Arifin” menyebut ayah Bahauddin Walad yang bernama Hussein bin Ahmad Khatibi termasuk tokoh terkemuka di zamannya. Ibunya berasal dari keluarga Khawarezmshahi. Hingga beberapa waktu, keluarga Bahauddin Walad tinggal di Balkh.
Bahauddin Walad salah satu dari murid Sheikh Najmuddin Kubra. Namanya dikenal dengan sebutan Sultan al-Ulama. Beliau dilahirkan tahun 546 Hq atau 1151 M di Balkh, yang saat itu termasuk kota penting di Khorasan raya. Bahauddin melanjutkan profesi keluarganya sebagai pembimbing masyarakat dan memberikan nasehat keagamaan kepada orang lain. Di Balkh, Sheikh Bahauddin memberikan fatwa kepada masyarakat yang memohon bimbingan dan petunjuknya.
Sheikh Bahauddin Walad berkomitmen tinggi terhadap posisinya sebagai pembimbing masyarakat. Beliau mengenakan pakaian ulama, dan setiap perjalanan senantiasa menyempatkan diri untuk memberikan pelajaran di masjid dan sekolah yang ditemuinya. Ia juga mendatangani Khaneghah untuk memenuhi undangan memberikan ceramah keagamaan.
Peneliti sastra Persia, Zerin Kuob menuturkan bahwa Bahauddin Walad mengikuti kebiasaan para penceramah di zaman itu dengan mengunjungi berbagai kota di Khorasan dan Transoxania dan Turkistan serta berbagai tempat lainnya.
Perjalanan Bahauddin Walad ke berbagai kota berlangsung cukup lama. Keterbatasan transportasi publik saat itu membuat waktu yang dibutuhkan untuk mengunjungi suatu tempat ke tempat lain sangat panjang.
Perjalanan Bahauddin kembali ke tanah kelahirannya terkadang membutuhkan waktu bertahun-tahun.Oleh karena itu, keluarga seringkali mendampingi perjalanannya, tapi di lain waktu juga beliau pergi sendirian tanpa mereka.
Sheikh Bahauddin Walad dikenal sebagai penceramah yang memiliki daya tarik besar bagi masyarakat di zamannya. Setiap pelajaran yang disampaikannya dipenuhi oleh orang-orang yang tertarik untuk mendengarkan ceramah beliau. Kedalaman ilmu pengetahuannya menarik banyak orang.
Meskipun demikian, Sheikh Bahauddin juga memiliki musuh yang tidak menyukai kehadirannya. Beliau tidak mengenal tedeng aling-aling dalam menyampaikan kebenaran. Salah satu yang membedakan antara beliau dengan penceramah lain ketika itu adalah ketegasannya.
Zerin Koub mengungkapkan,“Beliau menyampaikan nasihat dengan indah, tapi tanpa tedeng aling-aling. Ia mengkritik ulama yang haus kekuasaan, jaksa yang berat sebelah, bahkan menyerang dan mencaci sesama pengkhutbah lain yang mencari jabatan dengan mendukung penguasa lalim….”
Peneliti sastra Persia ini melanjutkan penjelasannya, ”Di seluruh daerah yang dikunjunginya dari Balkh hingga Termez (sekarang masuk wilayah Uzbekistan yang berdekatan dengan perbatasan Afghanistan), Baxw di Tajikistan hingga Samarkand dan Khawarizm, kedatangannya tidak disambut oleh para hakim pendukung penguasa despotik. Oleh karena itu, mereka mempersulit dan menimbulkan masalah bagi beliau dan murid-muridnya,”.
Sheikh Bahauddin Walad dikenal sebagai khatib yang menyampaikan amar maruf dan nahi munkar. Di berbagai mimbar, beliau mengajak masyarakat untuk menaati syariat Islam, dan menyerukan supaya penguasa Khawarizmshah berlaku adil dan menjauhi perbuatan zalim kepada rakyatnya.
Bahauddin Walad menyampaikan ceramah di banyak tempat. Beliau memiliki murid dari berbagai kalangan. Orang-orang Balkh menaruh kepercayaan besar dan rasa hormat yang tinggi kepada Sheikh Bahauddin. Kitab Manaqib Al-Arifin menjelaskan, "Sultan Al-Ulama dalam berbagai nasihatnya mencaci para filsuf yang meyakini akal sebagai satu-satunya jalan mencapai hakikat,".
Sebagaimana para sufi lainnya, Sheikh Bahauddin menilai akal terbatas seperti kaki kayu yang rapuh. Pemikiran beliau ini memberikan pengaruh besar terhadap puteranya, Maulana Jalaluddin Mohammad Maulavi yang lebih dikenal dengan sebutan Rumi.
Bahauddin bersama keluarga dan sejumlah muridnya meninggalkan Balkh menuju Mekah untuk menunaikan ibadah haji melalui Baghdad. Kafilah peziarah Balkh meninggalkan tempat tinggalnya menuju Nishabur dibarengi kekhawatiran keluarga dan pengikutnya mengenai kemungkinan serangan pasukan Moghul terhadap mereka.
Beliau bersama putranya Maulana Jalaluddin Rumi yang masih kecil, bertemu dengan Sheikh Fariduddin Attar di Nishabur. Ketika melihat Maulana, Attar mengatakan bahwa putera Bahauddin Walad bukan anak biasa, tapi akan menjadi orang yang terkemuka.
Dalam perjalanan menuju Mekah, rombongan Bahauddin Walad singgah di Baghdad. Seperti yang diceritakan Jami, ketika kafilah Bahauddin Walad tiba di Baghdad, orang-orang bertanya, "Siapakah orang-orang ini? Dari mana mereka berasal? Ke mana mereka akan pergi?" Sultan al-Ulama menjawab, "Kami datang dari Tuhan. Kami akan kembali kepada-Nya. Kami tidak memiliki kekuatan kecuali dari Tuhan."
Di Baghdad, beliau disambut oleh Sheikh Shihab al-Din Suhrawardi dan Khalifah Baghdad. Ketika Khalifah Baghdad ingin memberi tiga ribu dinar emas kepada Sheikh Bahauddin Walad, beliau menolaknya dengan menyatakan, "Ini tidak sah dan meragukan".
Khalifah Baghdad secara pribadi ingin menyambutnya dan menjadikannya sebagai tamu di istana, tapi beliau menolaknya. Menurut Bahauddin, tidak pantas bagi seorang sufi untuk tinggal di istana dan menerima emas yang telah dikirim.
Mengenai karya Sheikh Bahauddin Walad berjudul Ma`ârif, adalah sejenis buku harian mengenai ceramah dan pengalaman mistisnya. Karya ini ditulis dalam bahasa Persia dan diedit oleh Forûzânfar dalam dua jilid.
Pada volume pertama terdapat 268 bagian.Tapi hanya sembilan belas bagian pertama yang telah diterbitkan dalam terjemahan bahasa Inggris, oleh A.J. Arberry pada tahun 1964. Franklin Lewis menerjemahkan seluruh teks beberapa tahun yang lalu, dan baru-baru ini merevisi terjemahan itu dengan bantuan seorang cendekiawan Iran, Hassan Lahouti.
Maulana Jalaluddin Rumi menceritakan apa yang dia ingat dari khotbah dan ceramah ayahnya. Rumi mendapat banyak manfaat dari pekerjaan ayahnya, yang merupakan pembicara publik yang hebat. Beliau adalah ayah, guru, dan pembimbing spiritualnya. Setelah kematian ayahnya, Rumi hidup tanpa seorang pembimbing spiritual selama satu tahun. Kemudian Sayyid Burhan al-Din Muhaqqiq Tirmizi menjadi pembimbing spiritualnya.
Sultan al-Ulama meninggal dunia di usia lebih dari delapan puluh lima tahun. Ketika dua tahun berada di Konya, beliau tiba-tiba sakit di musim dingin tahun 1231. Pada pagi hari ketiga, tepatnya 12 Januari 1231 M, Sheikh Bahauddin menutup mata untuk selamanya. Hari berikutnya, beliau dimakamkan dalam acara yang sangat besar ketika itu. Pemakamannya dihadiri Sultan Ala al-Din Kay Qobad, semua komandan, ulama, dan tokoh terkemuka Konya serta masyarakat di daerah itu.(PH)